Connect with us

Feature

Suara Lembutnya, Membuat Pria Jatuh Cinta

Published

on

Ayu Laras. (foto: Nanang S)

JAYAKARTA NEWS – Tahukah Anda, suara merdu wanita bisa membuat pria terhuyung-huyung mabuk kepayang? Itulah fenomena Ayu Laras. Kalau ia melantunkan tembang campur sari, banyak pria, baik yang sudah beristri, yang duda, yang jomblo menatap takjub dengan mulut melongo.

Selain kualitas vokal yang jernih, gaya lenggang dan lenggok Ayu juga luwes. Goyang kepala, goyang pinggul, sampai gerak tari dan lambaian tangannya bak sihir maut yang menyedot perhatian penonton. Tak heran jika Ayu terbilang salah satu artis campursari ngetop di wilayah Bekasi, Jakarta dan kota-kota penyangga Ibu Kota lainnya.

Selain dikenal sebagai penyanyi campursari, ia juga acap ditanggap dalam pergelaran wayang kulit, sebagai pelantun lagu-lagu campursari. Biasanya di sekuel “Limbukan” atau “goro-goro”.  Di luar itu ia lebih sering mengisi hiburan musik panggung acara hajatan warga, seperti pernikahan, sunatan hingga  event-event besar lain.

Wanita dengan tinggi 155 cm dan berat proporsional itu, sesungguhnya adalah putri Jawa asli. Ia lahir di Sukowati, Sragen – Jawa Tengah pada 19 September 1974. Saat lahir, ia diberi nama Pujiwati oleh kedua orang tuanya. “Hingga suatu saat, seorang dalang memberiku nama panggung Ayu Laras. Eh… kok ya cocok. Sejak memakai nama Ayu Laras, semua yang terkait dunia kesenian terasa lancar. Job lancar, otomatis rezeki juga alhamdulillah lancar,” ujarnya sambil tersenyum manis.

Sejak itu pula, nama Ayu Laras menjadi nama panggung Pujiwati. Pak dalang si pemberi nama, paham betul karakter pesinden yang diberinya anugerah nama. Selain memang berparas ayu, suaranya pun “laras”. Laras adalah bahasa Jawa memiliki arti lurus, meresap, nyanyian merdu, harmoni, dan mempesona. Arti yang mana pun yang dipasangkan dengan paras Pujiwati yang ayu, memang klop. Pendek kata, pak dalang tidak keliru memberinya nama Ayu Laras.

Saat diwawancara, Ayu Laras mengaku sejak kecil bercita-cita jadi penari. Sejak kecil pula, di kampungnya di Sragen sana, ia acap menari di acara-acara kampung. Pendek kata, ia senang menari dan senang melihat orang lain menari. “Tapi embuh mas…. ke sininya kok malah suka musik,” ujar Ayu.

Begitulah, tanpa diketahuinya, tahu-tahu minatnya bergeser dari menari ke musik. Anehnya, bukan jenis musik tradisional Jawa (gending) yang ia sukai, melainkan musik dangdut. Ia tidak memainkan instrumen musik, melainkan sebagai biduan. Tahun 2005 ia mulai menyanyi dangdut. Lima tahun berikutnya merambah jenis musik campursari yang ketika itu memang booming bersamaan munculnya Didi Kempot, Manthous, dan lain-lain.

Ia masih ingat dua lagu campursari yang pertama kali ia bawakan saat memulai debutnya. Dua lagu itu adalah “Langgam Wuyung” dan “Resepsi”. Langgam Wuyung, lagu campursari berbasis nada pelog pada instrumen gamelan. Orang Jawa sering menyebutnya “laras pelog”. Ini terbilang lagu campursari dengan tingkat kesulitan tinggi, tetapi syahdu didengar. Wuyung artinya “rindu berat”.

Sedangkan langgam Resepsi, tak kalah syahdu. Lagu campursari dengan lirik pembuka yang sangat terkenal, “yen pinuju… angrawuhi… ing malam resepsikakung-putri… ngagem busono edi peni….” (ketika menghadiri malam resepsi, pria-wanita mengenakan busana indah) itu pun menjadi semacam “lagu wajib” di setiap hajat pernikahan.

Namun ketika ditanya, apakah kedua lagu itu merupakan lagu favorit Ayu? Ia menjawab bukan. Lagu kesukaannya adalah langgam “Kencono Katon Wingko”.  Judul ini diambil dari pelatah Jawa, “kencono katon wingko, wingko katon kencono”. Kencono artinya emas, katon artinya terlihat, wingko artinya pecahan genting. Sebuah peribahasa yang kurang lebih artinya, “emas tampak sebagai pecahan genting, sebaliknya pecahan genting tampak sebagai emas.”

Rupanya, lirik lagu itu begitu menyentuh hati Ayu Laras. Ia bahkan mengatakan, “lagu itu pas banget dengan kisah hidup saya,” ujar ibu dua anak: Adriansyah Singgih Putrayana dan Damar Galih Dwiyana itu.

Lagu “Kencono Katon Wingko” ciptaan S. Darmanto ini menggambarkan percintaan yang kandas. Cinta yang di awal serba indah, tutur kata di awal yang serba puja-puji, berhasil memikat hati. Namun, saat cinta dibalas cinta dan bakti setulus hati, mendadak semua berubah. Setiap hari adanya hanya hinaan dan sikap meremehkan. Sekalipun sudah mencoba untuk bertahan dalam derita hati, tapi toh sia-sia, sebab cintanya sudah sirna. Emas pun tampak bagai sekeping pecahan genting.

Bisa ditebak, kurang lebih begitulah kegetiran hidup yang pernah dialami Ayu Laras. Cinta tulusnya pada seorang pria, telah berbalas tuba dan menyisakan nestapa. “Demi bertahan hidup dan menafkahi dua anak, saya melakoni profesi ini dengan segala risiko dan tantangan. Mulai dari pandangan negatif sebagian masyarakat terhadap status penyanyi. Belum lagi pengalaman undangan job dibatalkan sepihak. Pernah juga mengalami bayaran tidak sesuai yang dijanjikan… Sudah kenyang mas…,” urai Ayu Laras dalam senyum getir.

Lulusan LPK AISI Solo jurusan Sekretaris ini juga mengaku punya banyak pengalaman suka-duka sebagai penyanyi campursari. “Kalau yang biasa-biasa saja yaaa paling pada minta foto bareng. Selfie…. Tapi ada juga yang ‘nembak’ ha… ha… ha…. Ngajak menjalin hububungan serius,” kata Ayu Laras disusul tawa manisnya.

Menyikapi rayuan para pria, ia menanggapinya biasa saja. “Pintar-pintar kitalah dalam menanggapi, supaya laki-laki itu tidak sakit hati, tetapi tetap bisa bersilaturahmi. Intinya ya menolak secara halus,” ujar Ayu bijak.

Ayu Laras (kanan) sebagai pesinden yang spesialis membawakan lagu-lagu campursari dalam pergelaran wayang kulit. (foto: Nanang S)

Saat ditanya apakah tidak ada niatan untuk kembali merajut kasih dengan pria idaman? Ditanya begitu, Ayu Laras tersipu. Wanita berzodiak virgo itu mengaku jujur, mendambakan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Sebagai wanita, ia mengaku ingin mengarungi rumah tangga hingga akhir hayat. Di sisi lain, ia juga bertekad menjadikan dua buah hatinya menuai sukses dalam kehidupannya kelak. “Tapi sepertinya Tuhan masih menghendaki saya berjuang seorang diri. Jadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anak,” ujar Ayu berusaha tegar hati.

Tentu tidak mudah membesarkan dua anak dengan profesi penyanyi campursari. Tidak jarang, hari Sabtu dan Minggu, di saat anak-anaknya libur sekolah, ia justru menerima job nyanyi. Demi nafkah, ia pun mengorbankan waktu tidak bisa menikmati kebersamaan bersama anak-anak. Ia pasrah, dan berharap kedua putranya memahami keadaan. Sebab, bukankah acara-acara nikahan lazimnya memang diselenggarakan Sabtu atau Minggu?

Seperti yang baru-baru ini ia lakukan, ia menyanyi di pentas bersama Grup Campursari New Jasa di acara pernikahan Nur Yullia Quratu Aini dan Dhany Haries Nurhamdany, warga Komplek PU Sapta Taruna, Sumur Batu, Bekasi. Selama menunaikan tugas-panggung, Ayu Laras tampak sangat profesional. Penampilan prima, mempesona penonton. Semua masalah, ia tinggal di rumah.

Secara santai ia bilang, apa yang tengah dijalaninya ibarat mengarungi pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Ia terus melangkah menatap masa depan dengan menggenggam moto “welas asih kepada sesama”. (Nanang S)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *