Connect with us

Kolom

Sosok Ideal Walikota Medan ke Depan

Published

on

Oleh Dr. OK. Edy Ikhsan, SH. MA
Dr. OK. Edy Ikhsan, SH. MA

JIKA tak ada halangan, tahun 2020 yang akan datang, Medan menggelar pemilihan Walikota dan Wakilnya, serentak bersama-sama dengan ratusan Kabupaten/Kota di Indonesia. Putaran pemilihan kepemimpinan administrasi pemerintahan adalah bagian dari proses demokrasi yang sedang berjalan untuk menuju Indonesia yang lebih baik.

Di tengah pesimisme publik terhadap proses rekruitmen dan kualitas pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi yang berbiaya mahal ini, mestilah kita tetap merasa bersyukur dan optimis terhadap kondisi dan arah yang sedang kita jalani bersama sebagai bagian dari menjadi masyarakat madani seutuhnya. Mungkin masih akan lama lagi kita merasakan nikmatnya hidup dalam sebuah kepemimpinan yang amanah. Namun, sikap optimistis untuk maju sambil menata dan memelihara modal sosial yang telah ada, adalah sebuah keniscayaan dalam mewujudkan masyarakat yang beradab, toleran dan bertanggungjawab.

Tantangan Awal

Sejak Daniel Baron Mackay diangkat menjadi Burgermeester (Walikota) pertama Medan pada tanggal 24 April 1918, kota yang dijuluki Parijs van Sumatra ini mengalami tantangan peradaban yang tidak ringan. Pada awal sekali, visi kolonial untuk membangun sebuah kota modern yang berada di tengah ekspansi perkebunan asing langsung berhadapan dengan keberadaan Kesultanan sebagai daerah swapraja.

Tidak mudah untuk menata dualisme kepemimpinan di atas wilayah yang berhimpitan. Kelak kita mengetahui dalam catatan sejarah, mengingat perkembangan kebutuhan kota, Kesultanan Deli dan Orang-Orang Besarnya melalui akte tertanggal 30 November 1918 telah menyerahkan atau menghadiahkan tanah-tanah yang dikuasainya kepada pemerintahan Kota Medan (Gemeente Medan) kecuali: 1. Tanah-tanah yang terhitung masuk kampung Sultan (Kota Matsum) dan Kampung Sungai Kera Percut, di sebelah Timur Laut Sungai Kera; 2. Tanah-tanah yang dipakai oleh Gubernemen dan 3. Tanah-tanah yang dipakai oleh Deli Spoorweg Maatschappij.

Tahun 1946, kota ini mengalami kemungkinan terjadinya disintegrasi etnik. Pembakaran, pembunuhan dan penjarahan yang mengepung Kesultanan-Kesultanan di Sumatera timur dan sanak familinya, dengan apa orang luar menyebutnya sebagai Revolusi Sosial, berhasil disudahi dengan “mengalahnya” orang-orang Melayu dan sikap civil disobedience yang ditunjukkan mereka terhadap penyerangan tersebut.

Lima puluh tahun kemudian sejak peristiwa berdarah tersebut, Medan kembali menjadi titik panas terpenting dalam peralihan sebuah era: dari era orde baru ke era reformasi. Kota ini membuka pergolakan pembalikan era tersebut pada tahun 1998, dengan berbagai peristiwa penjarahan toko-toko yang berbau etnis. Namun, sekali lagi, Medan dengan masyarakatnya yang sangat plural mampu mengatasi rintangan tersebut dengan atau tanpa keterlibatan pemerintah di dalamnya.

Pluralisme dan Arena Sosial

Pluralisme suku, agama dan ras adalah kekayaan Medan sebagai sebuah kota. Di luar kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang, kota Medan menyediakan ruang yang lapang bagi bersemainya akulturasi, asimilasai dan difusi budaya. Tesis Edward Brunner tentang kecendrungan konflik akibat tensi atau pergesekan budaya di Medan tidak terlalu menunjukkan signifikansinya. Hal ini lebih disebabkan karena tidak adanya budaya dominan di kota nomor tiga terbesar di Indonesia ini.

Jadilah Medan, menjadi social arena seperti yang dikatakan Brian Z. Tamanaha (ahli hukum Washington University) satu arena dimana ditemukan berbagai macam ragam nilai, norma dan kebiasaan yang bersitukar, bercampur dan sesekali bersitegang dalam penerapannya.

Tidaklah mudah bagi siapa pun yang memimpin kota Medan untuk memelihara keberagaman ini. Peningkatan persentase etnis pendatang dan tenggelamnya suku asli yang mendiami Medan sebelum kedatangan kolonial Belanda, selalu memungkinkan terjadinya turbulensi kebudayaan.

Walaupun sampai hari ini, kita masih berhasil mengelola konflik-konflik mikro yang ada, tidak ada jaminan di masa yang akan datang, Medan tidak mengalami ancaman konflik yang lebih besar dari apa yang telah dialaminya di tahun 1946 dan 1998.

Beberapa Ancaman

Kesenjangan ekonomi kaya dan miskin akibat dominasi lapangan-lapangan ekonomi oleh satu atau dua kelompok tertentu adalah ancaman pertama yang akan menghantui kepemimpinan Medan di masa yang akan datang. Akses atau ruang bagi rakyat yang tak beruntung untuk mempertahankan hidupnya akibat ekspansi modal besar pada gilirannya akan memicu kecemburuan dan dendam yang laten.

Kesan penegasian dan peminggiran pasar-pasar tradisional sebagai bagian dari kekayaan sejarah masyarakat dan memanjakan pertumbuhan plaza dan mall tidak akan menguntungkan bagi siapa pun yang akan memimpin kota ini.

Walikota dan jajaran pemerintahan terkait wajib memberikan apresiasi dan keberpihakan yang kongkrit untuk menyelamatkan pasar-pasar tradisional. Kapitalisasi lahan-lahan kota yang semakin menyempit dengan membuka kesempatan kepada masuknya modal, mesti disiasati dengan tidak menghimpit penderitaan rakyat kecil yang membutuhkan makan untuk hidup. Kasus pedagang buku di Titi Gantung/lapangan Merdeka adalah saksi hidup bagaimana sejarah dinegasikan untuk kepentingan bisnis yang lebih besar.

Ketidakberpihakan terhadap rakyat kecil adalah fakta lumpuhnya wakil-wakil rakyat yang mendapatkan kepercayaan untuk membela kepentingan-kepentingan asasi mereka. Walikota akan berhadapan dengan masih berkeliarannya politisi demagog (politisi penipu, seolah-olah berjuang untuk rakyat, padahal semua itu dilakukannya untuk kepentingan dirinya sendiri).

Memang betullah apa yang dikatakan oleh Jiang Ching, seorang aktris opera Cina: “Seks itu nikmat, tapi kekuasaan jauh lebih nikmat.” Ini adalah ancaman struktural yang tidak bisa diselesaikan dalam satu dua dekade. Status dan peran sebagai wakil rakyat direndahkan derajatnya menjadi mata pencaharian dan terobsesi untuk mengganti semua biaya yang telah dikeluarkannya ketika berkampanye. Alih-alih menemukan politisi seperti Syahrir, Hatta, Roeslan Abdul Gani dan lain-lain, kita malah bertemu dengan politisi demagog yang ditakutkan oleh Aristotles. Olle Tornquist bilang: “Di sini demokrasi formal terbentuk, tapi secara substansial yang terjadi adalah demokrasi penjahat.”

Ancaman berikutnya datang dari masih kuatnya dominasi kelompok yang membawa simbol-simbol premanisme dalam aktualisasi di lapangan.

Disertasi Murianto Amin di Universitas Indonesia (2013) walaupun menunjukkan adanya pergeseran pola strategi kelompok kepemudaan yang ditelitinya dalam memainkan dan mengelola eksistensinya, namun tidak menjamin bahwa pergeseran strategi tersebut akan berwujud kepada kondisi yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan. Ini lebih disebabkan karena tidak sinkronnya antara visi kelompok dengan cara bagaimana mereka mengaplikasikannya di lapangan.

Walikota Seperti Apa?

Sosok pemimpin Medan di masa yang akan datang mestilah sosok yang bersahaja. Bukan kamuflase. Dia mesti secara total memegang janjinya untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyatnya yang plural.

Dia tidak rakus dan tidak berkawan atau terbujuk dengan janji atau takut akan ancaman dan tekanan politisi demagog. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mendengar suara dan jeritan hati kesengsaraan rakyatnya, bukan pemimpin yang asyik dengan simbol-simbol kekuasaan dan hedonisme.

Pemimpin yang berani, adalah pemimpin yang mengatakan TIDAK (untuk korupsi, kolusi, nepotisme).

Kekuasaan adalah amanah mesti menjadi tagline kepemimpinannya. Tak takut dilengserkan dan ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya. Pemimpin seperti ini mesti ditemukan untuk menyelamatkan Medan dari stereotype kota preman, stink city, kota tanpa hutan kota, icon SUMUT (Semua Urusan Musti Uang Tunai), “kalau bisa dipersulit, buat apa dipermudah”, dan seterusnya.

Jika ingin melihat sebuah perubahan yang lebih berarti dalam bingkai demokrasi yang sesungguhnya, inilah saatnya bagi masyarakat Medan untuk bersikap dan menunjukkan partisipasinya.

Mulailah dengan mendialogkannnya dalam simpul-simpul terkecil (keluarga, tetangga, kelompok berfokus) dan menggulirkannya ke jaringan yang lebih luas. Posisi tawar masyarakat untuk mendialogkan kerinduan akan sebuah kota yang nyaman harus dimulai dengan keberanian menolak pemimpin yang memiliki track record buruk di masa lalunya.

Sekurang-kurangnya tiga wadah terpenting civil society yakni organisasi non pemerintah, media dan instititusi pendidikan di wilayah ini bersatu padu untuk membantu kekurangtahuan masyarakat akan kredibilitas calon-calon walikota dan wakilnya. Saya menengarai dalam tempo tiga bulan saja, jika jaringan-jaringan ini terbentuk, kita akan mendapatkan calon walikota yang diidamkan. Pemimpin yang diperoleh dengan cara ini akan jauh lebih bisa dinasihati, diawasi atau sampai titik tertentu ditarik mandatnya jika menyimpang dari komitmen awal.

Sekarang terpulanglah kepada masyarakat Medan. Apakah mau beribadah untuk menemukan pemimpin yang sejati, jangan ada lagi sikap pesimistis terhadap berjalannya demokrasi di Indonesia, hilangkan pemikiran: “tak ada untungnya buatku, dia jadi walikota atau tidak.”

Untuk walikota dan wakilnya yang akan datang, renungkanlah pantun Melayu berikut:

“Apalah tanda batang selasih, buahnya kecil berbiji-biji. Apalah tanda orang terpilih, berkorban dengan setulus hati.” ***

Dr. OK. Edy Ikhsan, SH. MA  adalah akademisi dan aktivis

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *