Connect with us

Kuliner

Sate Sapi di Sentral Perak

Published

on

Kedai sate sapi Pak Cipto di Jl Kotagede, Yogyakarta. Foto: Roso Daras

PERNAH makan sate sapi? Sebagian penikmat sate menyebut, sate sapi “kurang nendang”. Sebagian yang mulai berpikir mengenai kolesterol atau darah tinggi, sate sapi justru menjadi pilihan pertama, dibanding sate kambing. Maaf, sate ayam, sate kelinci, sate ular dan sate-sate lain tidak dibahas di sini.

Adalah Pasar Beringharjo Yogyakarta yang terkenal dengan penjual sate sapi. Pendek kata, gerobak sate madura tidak laku di sini. Sebab, dari dekade ke dekade, penjual sate sapilah yang menguasai trotoar sekitar Malioboro, khususnya dekat lokasi pasar Beringharjo yang legendaris itu.

Sejak kapan persianya sate sapi Pasar Beringharjo bercokol, debatable…. Hampir semua penjual menjawab, “Sampun dangu,” yang artinya “sudah lama.”. Tahun 70-an sudah ada, tahun 80-an masih ada, hingga hari ini, masih bercokol. Jadi, Anda bisa bayangkan, kiranya mereka adalah pedagang sate api turun-temurun.

Sayang, yang dibahas di sini bukan tentang sate sapi Pasar Beringharjo, melainkan sate sapi Pak Cipto di sentral kerajinan perak, Kotagede, Yogyakarta. Cukup terkenal bagi yang sudah kenal, tapi bahkan orang yang tinggal di Kota Gudeg sendiri, belum semua tahu ihwal nikmatnya sate api dan lontong sayur Pak Cipto, Kotagede.

Mengapa soal sate sapi harus mengutamakan kedai Pak Cipto? Pertama, sate sapi Beringharjo, adanya (dan enaknya) dimakan pagi-pagi. Sementara, banyak alternatif lain buat sarapan selain sate sapi. Sarapan gudeg tentu jauh lebih recomended dibanding sarapan sate sapi, bukan?

Kedua, karena jualannya pagi sampai siang, maka ketika hasrat makan sate sapi muncul, mereka tidak ada lagi di dekat Pasar Beringharjo. Ketiga, penjual sate sapi di sekitar Beringharjo, umumya perempuan desa paruh baya, bahkan beberapa di antaranya sudah lanjut usia. Mereka tidak memiliki gerobak atau angkringan, tetapi jualan sambil duduk di trotoar. Keempat, rasanya tidak standar. Satu penjual sate sapi dengan penjual lainnya, bisa beda rasa. Entah karena bumbu, tingkat kematangan saat membakar, atau karena lebih banyak lemak daripada dagingnya. Kelima, tidak menyediakan aneka minuman.

Kursi-meja makan kayu yang klasik, menambah nikmat menyantap sate sapi di sini. Foto: Roso Daras

Beda dengan kedai sate sapi Pak Cipto di Kotagede. Selain bukanya justru sore hingga dinihari, di sini juga terseia tempat duduk yang klasik. Sambil menunggu sate dibakar, Anda bisa memesan wedang jahe, teh panas-kental-manis, jeruk panas, atau wedang tape yang segar. Dijamin, aneka minuman itu bisa menahan air liur Anda ketika asap bakaran sate sapi pak Cipto menyambar-nyambar hidung…. Apalagi setelah selesai dibakar, ternyata disajikan untuk pengunjung di meja sebelah…..

Di sate sapi pak Cipto, juga berbeda dengan sajian sate sapi Beringharjo. Di sini, sepuluh tusuk sate sapi seporsi, akan disajikan dengan sepiring lontong sayur. Bagi sahabat-cabe, silakan tambahkan sambal sesuai level Anda. Kebayang kan, sate sapi bumbu yang gurih-manis, dipadu dengan lontong punel dengan kuah sayur kare yang gurih.

Melihat ukuran porsi lontong sayur, dijamin Anda akan merasa kurang. Teman bilang, “Wah, ini mah hanya cukup untuk lambung kiri…. lambung kanan bagaimana?” Ya, porsi lontong sayurnya memang tergolong mini. Tapi disarankan, jangan menambah seporsi lagi lontong sayur. Mengapa? Supaya Anda bisa menikmati gigitan sate sapi yang masih tersisa.

Bagi sebagian orang, sebut saja orang Yogya, awalnya sate sapi memang hanya menjadi semacam kudapan. Dulu, tahun 80-an, banyak kita saksikan ibu-ibu, remaja putri, yang naik becak sambil asyik menikmati sate sapi. Itu artinya, menikmati sate sapi tanpa tambahan lontong sayur, dijamin akan mendatangkan sensasi rasa tersendiri.

Kapan kita ke sana? ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *