Connect with us

Feature

Saparan Bekakak, Tiga Jam yang Sarat Makna

Published

on

SELAMA  kurang lebih tiga jam, antara pukul 15.00 hingga pukul 18.00, tiga ruas jalan utama di Yogyakarta ditutup total. Ada prosesi perayaan Saparan yang melibatkan ribuan penduduk Kelurahan Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara pengunjung memadati jalan-jalan yang dilalui peserta pawai sejak siang hari usai Sembahyang Jumat, 3 November 2017.
Tercatat ada 39 peserta pawai Saparan Bekakak kali ini. Peserta pertama adalah rombongan kereta kuda (andong) yang ditumpangi Camat Gamping beserta staf, perangkat desa, BPD dan PKK. Di belakangnya berturut-turut bregodo prajurit Mangkubumi, bregodo prajurit Wirosuto Putra, bregodo prajurit Ambarsari Putri, rombongan kasepuhan dan kepala desa Ambarketawang, sepasang pengantin bekakak yang ditandu (Bekakak I), bregodo prajurit songsong Wirosuto, bregodo prajurit Wiromanggolo, bregodo prajurit Wirotani, bregodo prajurit Bayu Maruto, rombongan edan-edanan ibu-ibu, Bekakak II, bregodo prajurit Ambarketawang, bregodo prajurit Kalimajing Puspo Murti, bregodo prajurit Manunggal Roso Tamtomo. Selebihnya ada 24 lagi peserta pawai tamu dan penggembira seperti Reog Singo Barong, gunungan, kuda, andong hias, ogoh ogoh (7 jenis), tari gedrug, jathilan dan uwuk uwuk.
Ramainya perayaan Saparan Bekakak di Gamping ini menarik banyak wisatawan datang. Seminggu sebelum pelaksanaan upacara tradisional ini juga berlangsung pasar malam di Lapangan Ambarketawang. Pawainya sendiri berjalan dari Balai Desa Ambarketawang menuju Jalan Wates km 5, Ring Road Barat, Desa Tegalrejo dan berakhir di Gunung Gamping.


Camat Gamping Abu Bakar S.Sos, MSi mengatakan, upacara penyembelihan bekakak merupakan budaya turun menurun yang dilaksanakan setiap tahun oleh pemerintah bersama masyarakat pada bulan Sapar berdasarkan kalender Jawa. Selain menggerakkan ekonomi kerakyatan, perayaan ini juga menjadi hiburan bagi masyarakat. “Ada nilai kegotong-royongan antar warga. Masyarakat melihat acara ini sebagai tontonan yan punya nilai lebih. Biar anak cucu kita juga tahu sejarahnya,” tuturnya.
Upacara Tradisional Saparan Bekakak ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan Gunung Gamping dan berdirinya Kraton Yogyakarta. Di kawasan Gunung Gamping inilah dulu kala Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I bertempat tinggal dan mulai membangun Kraton Yogyakarta. Selama tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang sebagai kraton sementara, Sultan HB I sering bertapa di Gunung Gamping. Dari sinilah Sultan HB I mendapatkan ‘dhawuh’ atau petunjuk agar membangun Kraton di Hutan Beringan, Desa Pacethokan, bekas Pesanggrahan Ayogya.
Dalam masa tinggal di Gunung Gamping ini, Sultan HB I mempunyai abdi dalem yang sangat setia bernama Ki Wirosuto dan Ki Wirojombo. Keduanya bersama isteri gugur terkubur di dalam gua bersama reruntuhan Gunung Gamping. Hanya sepasang burung gemak yang keluar dari reruntuhan gua, seolah memberikan kabar duka itu. Sejak itu pulalah konon diadakan upacara Saparan dengan penyembelihan bekakak untuk menghormati gugurnya Ki Wirosuto dan Ki Wirojombo, sekaligus sebagai pengganti tumbal agar para penambang batu gamping dan masyarakat sekitar aman dan selamat.
Bekakak sendiri merupakan patung yang dibuat dari tepung beras dipahat menyerupai sepasang pengantin. Di dalamnya ada sirop merah yang menggambarkan darah. Sehingga ketika disembelih, seolah ada darah yang mengalir dari tubuh bekakak.***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *