Connect with us

Kabar

Prof Mudzakir Kritisi Putusan Pengadilan Mantan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti

Published

on

Lembaga kajian MMD Initiative Jakarta menggelar eksaminasi atas putusan pengadilan mantan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Rabu (2/5),

Lembaga kajian MMD Initiative Jakarta menggelar eksaminasi atas putusan pengadilan mantan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Rabu (2/5),

Perbincangan vonis Pengadilan Tinggi Bengkulu, yang memperberat hukuman Gubernur Bengkulu (non aktif) Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari, terus bergulir di masyarakat Bengkulu.

Semula, Pengadilan Tipikor Bengkulu memvonis 8 tahun penjara dan dicabut hak politiknya 3 tahun (tuntutan Jaksa 10 tahun). Oleh pengadilan banding, hukuman diperberat menjadi 9 tahun penjara dan dicabut hak politiknya selama 5 tahun.

Bekas Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti divonis Pengadilan Tinggi Bengkulu 9 tahun penjara. Eksaminasi alias uji publik putusan tersebut dirasa patut dilakukan. Sebab, banyak putusan hakim yang kurang tepat di berbagai level peradilan.

Putusan tersebut lantas dibandingkan dengan kasus serupa, yang rata-rata dihukum sekitaran 5 tahun, seperti mantan Bupati Bogor Yasin, yang hanya divonis 5 tahun penjara. Sementara Ridwan Mukti, yang dinilai hanya ‘turut serta’ kena 9 tahun.

Untuk mengingatkan, Lily Martiani Maddari, istri Ridwan Mukti, Juni 2017 terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terkait dugaan suap fee proyek sebesar Rp1 miliar dari salah seorang kontraktor yang mengerjakan proyek jalan di wilayah Kabupaten Rejang Lebong.

Namun, dalam OTT KPK itu, Gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti, tidak berada di lokasi kejadian. Dia sedang memimpin rapat di kantor Pemprov Bengkulu. Di pengadilan, Ridwan Mukti selalu membantah bahwa itu atas sepengetahuannya. Senin 30 April lalu, Ridwan Mukti mengajukan kasasi.

Lembaga kajian MMD Initiative Jakarta mencoba melakukan eksaminasi atas putusan tersebut pada Rabu (2/5), dengan mengundang pakar hukum pidana Mudzakir dan mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marjuki, serta dihadiri pula Rujito, penasehat hukum Ridwan Mukti.

KPK TAK BISA TENTUKAN SUBYEK HUKUM

Mudzakir menyatakan, ada yang perlu dikritisi terutama mengenai subjek hukum. Dikatakan Mudzakir, dalam Pasal 12 huruf a UU Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor,  subjek yang melakukan  memiliki syarat khusus, yakni harus penyelenggara negara alias pegawai negeri.

Masalahnya, pelaku utama adalah sang istri Gubernur yang hanya ibu rumah tangga. Sayangnya, kata Mudzakkir, dalam kontruksi dakwaan, seolah-olah pelaku utamanya adalah Ridwan bersama-sama dengan istrinya.

“Ini tiba-tiba kasusnya dibalik. Suaminya bersama-sama dengan istrinya. Kalau bersama-sama, dua-duanya harus pegawai negeri. Memang yang menerima hadiah istri Gubernur. Dia bertindak sendiri dan bukan untuk dan atas nama Gubernur. Ini fakta di persidangan dan ada itu,” kata Mudzakkir.

Dengan bukti ini artinya penyidik KPK tak bisa menentukan subjek hukum. Meskipun dalam pasal 11 A ada menyebut orang lain yang berhubungan, tetapi fakta hukum dalam persidangan, yang menerima, dan yang melakukan komunikasi aktif adalah istrinya.

“Artinya istrinya ini, adalah pelaku utama. Itu masuk suap pada umumnya. Bukan suap Khusus. Ini masuk UU 11 Tahun 1980,” terangnya.

Selain itu, jika dilihat syarat objektif, Ridwan tidak ada di lokasi saat terjadinya OTT suap. Hal lain juga yang perlu dikritisi, pada pasal 12 UU yang sama, dalam masalah keturutsertaan, disebutkan memberi hadiah agar mendapat sesuatu atau menggerakkan orang berbuat sesuatu. Masalahnya, terbukti bahwa yang memberi adalah pemenang lelang.

“Sudah sah menang lelang. Jadi menggerakkan untuk apa? Dalam putusannya juga tidak menunjukkan uang suap itu untuk menggerakkan apa. Kalau itu, memberi sesuatu karena sudah dimenangkan itu namanya ucapan terimakasih. Itu masuk dalam pasal 5 ayat dua huruf B. Ini berbeda lagi. Tapi dikenakannya pasal 12 huruf A. Kalau itu suap, berarti gubernur bisa semaunya sendiri membatalkan pemenang itu. Padahal tidak kan,” terangnya.

Sementara itu, bekas Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengungkapkan, penegakan hukum harus dilakukan sesuai dengan prinsip hukum materiil dan formil. “Terutama formil, seperti pembuktian. Karena itu, aparat hukum harus objektif. Tidak boleh ada tekanan. Tidak boleh dengan gregetan karena tidak suka dan marah kepada seseorang. Eksaminasi hari ini, upaya masyakarat sipil memberi catatan kritis penegakan hukum yang fair dan adil,” sebutnya.

Kata Suparman, prinsip objektif dan imparsialitas hakim mutlak dalam penegakan hukum. Secara materiil, hakim dalam pembuktian juga tidak boleh ragu-ragu. “Apakah hakim memeriksa, mengadili dan memutus dengan fair? Bisa dilihat itu. Dilihat putusannya.Lembaga hukum itu alergi, kalau KY memeriksa putusan hukum. Untuk mengetahui ada pelanggaran etika ya lihat pertimbangannya,” ujarnya. Karenanya, dia mengimbau agar putusan hakim sesuai dan objektif di semua level peradilan. Dia tidak ingin ada review putusan hakim dari lembaga luar negeri dan hasilnya memalukan.

Senada, Eks Ketua MK Mahfud MD menyatakan, dari hasil eksaminasi putusan ini, dia berharap hakim lebih berhati-hati dalam mengambil putusan hukum ke depannya. “Harus objektif dan tanpa tekanan. Jangan emosional. Harus juga melihat HAM terdakwa,” sarannya.

DASAR PUTUSAN TAK MASUK AKAL

Tim pengacara hukum Ridwan Mukti, Rudjito mengaku sudah nengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Memori kasasi tersebut sudah didaftarkan pihaknya ke MA. “Sudah kami ajukan Senin (30/04) kemarin,” ujar Rudjito.

Rudjito mengungkapkan, pihaknya mengajukan kasasi karena merasa putusan Pengadilan Tipikor Bengkulu dan Pengadilan Tinggi Bengkulu kurang tepat. Disebutkannya, majelis pengadilan tinggi dalam putusannya menghukum Ridwan berdasarkan bukti petunjuk yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam persidangan tingkat pertama. “Alat bukti baru dimunculkan di tingkat banding. Seharusnya itu dimunculkan di tingkat pertama. Ini salah satu alasan kami mengajukan kasasi,” ungkap Rudjito.

Menurutnya, bukti petunjuk tidak dapat dimunculkan oleh majelis pengadilan tinggi karena harus berdasarkan pengamatan fisik. Sementara dalam pengadilan tinggi, majelis hanya melakukan pemeriksaan dokumen.
Rudjito memaparkan, dasar pengadilan tinggi menambah hukuman kliennya juga tidak masuk akal. Lantaran menghubungkan iklim ekonomi dan jalanan rusak ke dalam pertimbangannya. “Disebutkan dalam putusan alasannya karena jalanan rusak, kriminalitas tinggi, rendahnya investasi. Itu dijadikan dasar putusan, dapat inspirasi dari mana? Kan tidak masuk akal,” tegasnya.

Ia menilai putusan tersebut banyak dipengaruhi situasi politik local di Bengkulu. Sebab sejak awal persidangan, menurutnya, aroma politik terasa, terutama dari ramainya opini negative yang dinilai menyudutkan posisi gubernur.***

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *