Connect with us

Feature

Pria Berkacamata di “Pusaran” Wanita

Published

on

Bambang Wartoyo (duduk tengah jaket merah) di antara pendukung “Pusaran” dari FSP ISI Yogyakarta. (foto: kevin abani)

Jayakarta News – Kata pusaran dalam judul di atas, perlu diberi tanda kutip, karena memang ganda-makna. Makna utama adalah “Pusaran” sebagai lakon teater musikal yang bakal dimainkan Teater Alam dan ISI Yogyakarta, di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, Senin – Selasa, tanggal 22 – 23 Juli 2019.

Makna lain, benar-benar pusaran dalam arti vortex, whirpool maupun rotation. Putaran air, perputaran, peredaran…. pokmen munyer…..

Lebih dari itu, tanda kutip itu juga sengaja dipasang, agar tidak terpeleset ke kata “pusar”. Itu artinya, ini bukan tentang seorang pria berkacamata di pusar wanita. Bukan. Sungguh bukan itu.

Ini tentang pria bernama Bambang Wartoyo. Entah beruntung atau buntung, tapi itulah takdir yang sedang ia jalani saat ini. Sebagai asisten sutradara “Pusaran”, ia benar-benar dikelilingi wanita-wanita tangguh.

Sekadar menyebut nama, di sana ada Prof Dr Hj Yudiaryani, MA sebagai sutradara. Lalu ada Naning Kartaatmaja dan Silvia Purba sebagai pimpinan produksi. Ada sosok Erlina “Eyin” Panca sebagai penata busana dan tata rias. Dan tentu saja ada Viola Alexsandra, sebagai pemeran Blanche DuBois, tokoh sentral lakon terjeman dari naskah A Streetcar Name Desire karya Tenneessee Williams.

Prod Yudiaryani (sutradara) dan Bambang Wartoyo (asisten sutradara), duduk di sofa panggung “Pusaran”, saat gladi kotor, Sabtu (20/7/2019) malam. (foto: richa amalia)

Lelaki asal Tuban, Jawa Timur yang gemar olahraga lari itu memang benar-benar sedang tenggelam dalam pusaran para wanita. Ditambah, pembawaannya yang kalem dan hemat kata, makin tenggelam dia.

Bambang yang juga aktor pantomim ini, masuk Teater Alam tahun 1982 setelah sebelumnya tercatat sebagai anak kuliahan di IKJ (Institut Kesenian Jakarta, dulu Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta/LPKJ). Ia pun merasakan didikan para dosen ternama seperti Putu Wijaya, Wahyu Sihombing, Tatik Maliyati, Sentot Sudiharto, Wiratmo Sukito, dan lain-lain.

Posisinya sebagai Astrada di “Pusaran” mutlak karena prerogatif sutradara, Prof Yudiaryani, yang guru besar teater ISI Yogyakarta dan juga anggota Teater Alam angkatan tahun 1988. Apa alasan Prof Yudi memilih Bambang Wartoyo, sementara di Teater Alam banyak aktor dan sutradara yang lebih senior darinya? Hanya Prof Yudi dan Tuhan saja yang tahu.

Yang pasti, jika disandingkan, Yudi dan Bambang klop. Prof Yudi adalah sutradara yang sangat bersemangat cenderung meledak-ledak. Pola penyutradaraan cut to cut, membutuhkan energi yang luar biasa. Bisa dipastikan, usai latihan bajunya basah kuyup oleh keringat. Sebuah energi besar yang ia keluarkan setiap moment latihan.

Bambang Wartoyo mengimbanginya dengan kesejukan. Ia menyiapkan kepentingan latihan. Ia melapis instruksi sutradara manakala diperlukan. Berdiskusi dengan sutradara. Tidak jarang, menjadi pendengar yang baik, jika sutradara berkeluh-kesah atau uring-uringan.

“Intinya harus tahu, kapan bicara, kapan harus diam. Ternyata, ada seni tersendiri bekerja dengan kaum perempuan,” ujar Bambang Wartoyo.

Bambang Warrtoyo bersama tim tata busana dan tata rias: Bintiwi, Erlina “Eyin” Panca, dan Juyes. (foto: dok “Pusaran”)

Lelaki berkacamata penggemar fotografi itu pun mengaku, bekerja sebagai Astrada di “Pusaran” memberinya banyak ilmu dan pengalaman. Ia pun jadi mengilas-balik ke masa lalu, saat ia masuk Teater Alam.

Saat ia memutuskan masuk Lembaga Pendidikan Akting (LPA) Drama dan Film Teater Alam tahun 1982, ia menemukan sebuah lembaga pendidikan non formal. Jauh dengan suasana yang ia dapat di LPKJ. Terlebih ketika pada akhirnya, siswa LPA dilebur dengan Teater Alam.

Ia yakin betul, apa yang ia alami di Teater Alam di bawah gemblengan Azwar AN, beda dengan apa yang didapat para mahasiswa teater. Di sanggar Teater Alam, disiplin sangat ketat. Ia ingat, jika sampai terlambat datang latihan harus lari keliling satu blok.

Selama latihan di sanggar, ia sempat dilatih senior seperti Yoyok Coa Ong (alm), Gus Yoko (alm), Gunadi, dan Edo Nurcahyo. Latihan tidak terbatas di sanggar tapi juga di luar sanggar, termasuk nongkrong di Alun-alun Utara depan Kraton mengamati kehidupan malam. ‘“Observasi” istilahnya, padahal yaaa... cuma minum-minum.

Ilmu sanggar dipadu dengan ilmu jalanan, meresapkan sebuah kultur berteater yang khas. Kini, saat ia menjadi astrada pementasan kolaborasi Teater Alam dan para mahasiswa teater Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, tentu tidak serta-merta memakai pola sanggar. “Di sini peran bu Yudi sebagai sutradara sangat penting. Beruntung, beliau pernah jadi anak sanggar,” ujarnya.

Banyak hal yang kemudian dicatat sebagai pengalaman baru bagi kedua pihak. “Saya belajar banyak dari para mahasiswa teater. Dari ngobrol bersama mereka, saya tahu,  apa yang mereka pelajari di kampus, relatif tidak berbeda dengan yang saya pelajari di sanggar. Bedanya, mereka memakai silabus dan terstruktur. Saya belajar tentang komunitas teater yang well educated,” paparnya.

Bambang Wartoyo (paling kiri), Prof Yudiaryani (tengah) dan para pendukung “Pusaran”, usai gladi kotor, Sabtu (20/7/2019) malam. (foto: richa amalia)

Ihwal bagaimana hasilnya? Bambang mengajak masyarakat berbondong-bondong menyaksikan pentas “Pusaran” di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarat, Senin – Selasa, tanggal 22 – 23 Juli 2019. Dari dua hari pementasan, hingga tulisan ini disusun, tiket hanya tersisa di pementasan kedua, Selasa tanggal 23 Juli 2019. Pembelian tiket bisa dilakukan secara online, melalui situs karcisonline.com atau melalui link: http://bit.ly/pusaranshow. Atau, bisa beli langsung di TBY, Selasa malam.

Sehari jelang pementasan, Bambang –dan para pendukung yang lain– berada pada puncak kegiatan. Sabtu (20/7/2019) siang hingga tengah malam, mereka melakukan gladi kotor. Sedangkan, Minggu (21/7/2019) malam, gladi bersih. “Saat gladi kotor, masih ada beberapa koreksi kecil. Itu yang akan kami perbaiki saat gladi bersih Minggu malam,” ujarnya semalam.

Malam makin larut. Bambang masih tekun mencermati proses jalannya gladi kotor. Ia kembali larut di pusaran para wanita tangguh. (rr)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *