Connect with us

Feature

Potret Kerukunan di Lapas Perempuan

Published

on

Gerbang masuk Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II A Tangerang. (foto: inal ginting)

Jayakarta News – “Penjara adalah miniatur kehidupan masyarakat”. Apakah Anda pernah mendengar pernyataan itu? Di rumah “koreksi diri” ini, berhimpun manusia-manusia yang secara hukum divonis bersalah. Mereka disebut narapidana.

Seperti laiknya kehidupan masyarakat pada umumnya, maka dalam satu tatanan sosial, ada orang-orang tipikal protagonis, antagonis, religius, suka tolong-menolong, dan ada pula yang cuek. Pendek kata, seribu-wajah-sejuta-karakter.

Alhasil, melongok lebih dekat kehidupan di Lapas (lembaga pemasyarakatan), pada galibnya seperti sedang memotret miniatur kehidupan masyarakat kita. Kalaupun ada yang tidak sama, letaknya ada pada jenis kelamin penghuninya. Sebab, Lapas memang dibagi dua; satu untuk narapidana laki-laki, dan yang satunya Lapas perempuan.

Jayakarta News memotret lebih dalam kondisi kehidupan para narapidana di Lapas Perempuan Kelas II A Tangerang, Banten. Penjara yang terletak di Jl. Moh Yamin No. 1 Babakan, Tangerang itu terlihat wingit, gabungan gagah sekaligus angker.

Temboknya tinggi menjulang, lengkap dengan lilitan kawat berduri di atasnya, serta berpintu besi tebal. Gerbang masuk yang kokoh, ditambah penjagaan ketat, menyempurnakan kesan “serem” pada hotel prodeo itu. Di Balik tembok tebal, adalah sebuah komunitas kecil gambaran utuh masyarakat besar yang ada di luar.

Tembok tinggi dengan kawat berduri, begitu kokoh dan terkesan “serem”. (foto: inal ginting)

Untuk mengunjungi tempat ini, setiap orang –tanpa kecuali—harus melalui pemeriksaan ketat. Lolos pemeriksaan, punggung lengan akan diberi stempel ungu bulat berlogo Lapas dan kalungan nametag bertuliskan “TAMU”. Masuk dengan perasaan bergetar, lambat-laun cair demi melihat penyambutan yang ramah serta lingkungan yang tertata rapi lagi bersih. Rupanya, inilah wajah teritori khusus bagi jiwa-jiwa yang sedang ditata.

Melewati gerbang, langsung dihadapkan pada pemandangan ruang berkunjung di sisi kiri, dan gereja di sisi kanan. Masuk lebih ke dalam, mata tertumbuk di satu pojok ruang dengan banner merah menyala bertuliskan “Salon Kecantikan” yang dikelola warga binaan. Sebuah kaca besar dan bunga-bunga hiasan mempercantik lorong masuk ke dalam.

Menapaki lantai berkeramik krem lebih ke dalam, terlihat area pertemuan atau biasa disebut ruang besuk. Di hamparan ruang terbuka itu, ada kantin kecil bernama Cafe La Puan. Di situlah para warga binaan menerima kunjungan. Waktu berkunjung untuk keluarga dan handai-taulan hanya 30 menit. Di situ pengunjung bisa menikmati minuman dingin dan bakso yang dijual Cafe La Puan dengan kupon bernilai rupiah yang telah ditukar di tempat pendaftaran tamu. 

Di balik itu, ada ruang steril, di mana pengunjung tidak diperkenankan masuk. Ada banyak ruang yang sehari-hari digunakan sebagai ruang para narapidana berkegiatan. Selain ruang aktivitas warga binaan, terdapat juga ruang ibadah. Ada tiga tempat ibadah yang aktif digunakan para penghuninya: masjid, gereja, dan vihara.

Gereja dan aula di sebelah kanan, lapangan dan ruang besuk di sebelah kiri. (foto: inal ginting)
Pintu masuk ke ruang kunjungan napi. (foto: inal ginting)

Tak disangkal, bahwa perilaku para napi beraneka ragam. Sekalipun mereka adalah manusia-manusia yang divonis bersalah dan sedang melakukan proses rehabilitasi diri, sama sekali bukan jaminan bahwa mereka steril dari perbuatan salah, selama menjalani hari-hari di balik jerajak besi.

Karenanya, pihak Lapas Perempuan Tangerang tidak henti-henti “mereparasi” jiwa dan fisik para warga binaannya. Termasuk dalam berperilaku dan bersosialisasi sesama penghuni Lapas. “Di sini, kami tekankan pentingnya menghargai keberagaman,” ujar Herlin Chandrawati, Bc.IP., SH., MH.

Dijumpai Jayakarta News –setelah beroleh izin Kanwil Kumham Provinsi Banten—Herlin sangat kooperatif mengisahkan tupoksi dan kondisi warga binaannya. Tahun ini, genap dua tahun ia bertugas sebagai Kepala Lapas Perempuan Tangerang. Berbincang dengan “bos” penjara ini, tidak ada kesan galak dan menakutkan. Ia wanita yang lembut keibuan, jelita pula.

Herlin menjelaskan bahwa di Lapas yang ia pimpin, tidak ada perlakuan khusus bagi orang per orang narapidana. “Tidak ada pembedaan di antara mereka. Termasuk dalam menjalankan syariat agama masing-masing. Itu kan hak paling asasi,” ujar Herlin.

Jalannya pembinaan mental serta penghargaan perbedaan dan menjunjung tinggi kerukunan, diracik dalam kegiatan yang sungguh indah dipandang, nyaman diresapi. Semua tempat ibadah bebas melakukan kegiatan keagamaan. Hal itu bukan hanya pada hari-hari besar tertentu. “Setiap hari, mereka bebas beribadah pada jam yang telah ditetapkan,” ujar Herlin yang mantan Kalapas Perempuan Kelas IIA Medan, itu.

Ini sisi menarik di Lapas ini. Masjid, gereja, vihara berada berdekatan dalam kompleks Lapas. Adalah pemandangan yang jamak, ketika ada kebaktian di gereja, berlangsung pula pengajian di masjid sebelahnya. Alhasil, alunan keyboard mengiringi pujian-pujian dalam ibadah kristiani, ditingkah latunan qoriah membaca ayat-ayat suci, serta lagu-lagu qasidah dari masjid sebelah. Sedangkan, di vihara berlangsung ritual pradaksina, ulambana, dan ritual-ritual Buddha lainnya. Potret kerukunan yang sederhana tapi bermakna.

Sungguh, menikmati pemandangan langka itu seketika bergelegak perasaan aneh yang menyeruak rongga dada. Ada bangga, ada haru, dan merinding khusuk mendengarnya. Dalam benak sempat terbersit, alangkah indahnya jika apa yang terjadi di balik tembok penjara ini, terjadi pula di luar sana.

Kalapas Herlin Candrawati dan staf saat merayakan Idul Fitri bersama para napi binaannya. (foto: ist)
Kalapas Herlin Candrawati merayakan natal bersama warga binaan. (foto: ist)
Warga binaan Lapas Perempuan Kelas II A Tangerang saat menjalankan ritual ibadah di vihara. (foto: ist)

Berdasar data yang ada, terdapat 364 warga binaan, terdiri atas 317 WNI dan 47 WNA. Rincian perkara  yang dilanggar, paling banyak adalah kasus narkoba, yakni 323 orang. Selebihnya kasus money laundry (4), human rafficking (4), korupsi (9), dan satu orang teroris. Mereka tersebar di kamar-kamar yang terdapat di 7 unit blok hunian. Blok-blok tersebut mengelilingi halaman rumput nan luas.

Herlin sadar betul, mereka yang masuk Lapas memiliki problematika sendiri-sendiri. Terhadap barbagai karakter anak binaannya, ia menerapkan tiga jenis pembinaan, yaitu pembinaan kepribadian, pembinaan keterampilan atau kemandirian, dan pembinaan kesenian.

Banyak hal diajarkan dalam pembinaan keterampilan. Seperti kecantikan, menjahit, merajut, mengelola bunga anggrek, dan lain-lain. Pembinaan kesenian melingkupi vokal grup, tari-tarian kreasi modern dan tradisional, juga band. “Namun, paling penting di sini adalah pembinaan kepribadian,” kata pemilik akun IG @herlincandrawati itu.

Herlin Candrawati bersama para penari yang notabene adalah warga binaan Lapas Perempuan Kelas II A Tangerang. (foto: ist)
Para napi juga diajarkan soal-soal kecantikan. Herlin dan staf merelakan tangannya untuk dijadikan praktek manicure warga binaan. (foto: ist)

Adapun, aspek pembinaan kerohanian adalah salah satu kegiatan yang dimuarakan pada pembinaan kepribadian. Dalam pembinaan kepribadian, juga dilengkapi pendidikan pemahaman akan kesadaran nasionalisme. Mereka juga mendapatkan penyuluhan hukum dan HAM. Sebagai wujud kesadaran akan kesatuan NKRI, mereka juga diwajibkan ikut upacara.

Pendidikan yang lengkap ini diharapkan dapat membuat perubahan bagi para warga binaan setelah menjejakkan langkah di luar tembok tebal pembatas, pasca bebas nanti. Aura kebersamaan, kerukunan dan persatuan tercium tajam di tempat ini. 

Tembok tinggi yang mengelilingi lahan 16.900 m2 dengan luas bangunan 6107 m2 berisi para perempuan narapidana berbagai negara, adalah lahan penyemaian sikap toleran dan kerukunan yang baik. Di situ ada narapidana asal Afrika, China, Filipina, dan Indonesia dengan berbagai latar belakang budaya dan adat istiadat. Satu-satunya kesamaan mereka di situ adalah status narapidana. Ada yang harus menjalani hukuman 5 tahun, 10 tahun, bahkan 15 tahun. 

Sebagai Kalapas, Herlin merasa bertanggung jawab menjaga dan menolong mereka kembali ke “jalan yang benar”. Bersyukur bagi Herlin, ia tidak pernah mengalami gejolak besar dari para tahanan. “Konflik dan persoalan selalu ada. Untungnya, yang terjadi relatif masalah ringan saja. Mungkin soal ruangan atau ketidakcocokan teman sekamar,” ujarnya. Perkara ringan itu dapat diatasi Herlin, tentunya bersama dengan rekan-rekan kerjanya yang lain. Jumlah pegawai di sini 94 orang.

Herlin menambahkan, di Lapas binaannya ada satu lagu yang selalu dinyanyikan bersama-sama. Atas permintaan Jayakarta News, Herlin dengan suara merdunya melantunkan lirik demi lirik lagu berjudul “Kebersamaan” ciptaan Edo Manalu.

Biarpun kita berbeda suku

Walau kita berbeda agama

Tetapi kita tetaplah satu

Perbedaan antara kita

Ibaratkan aneka bunga

Yang tumbuh subur elok rupanya

Di taman Indonesia Raya

Reff: Betapa indah hidup damai

Tiada benci dan rasa iri

Saling berdampingan

Saling menyayangi

Sesama anak bangsaku (Indonesia)

Reff 2: Satukan gerak langkah kita

Tuk kejayaan negeri kita

Bersatu kita teguh

Bela Ibu Pertiwi

Di bawah sang Merah Putih  ***

(melva tobing)

Penulis (Melva Tobing) bersama Kalapas Herlin Candrawati di Salon Kecantikan WBK yang terletak di tengah area Lapas Perempuan Kelas II A Tangerang. (foto: inal ginting)
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *