Connect with us

Ekonomi & Bisnis

Peter F. Gontha Capek Ngurus Sawit

Published

on

Industri Kelapa Sawit – (Bagian – 2)
Peter F. Gontha bicara tentang kelapa sawit. (foto: iswati)

JAYAKARTA  NEWS – Peter F. Gontha yang selama ini lebih dikenal publik sebagai pengusaha dan penggiat musik jazz, kali ini bicara sawit. Bahkan meminta dukungan semua pihak untuk menyelamatkan industri sawit.  Terutama terhadap pers yang dinilainya memiliki peran strategis dalam membentuk opini publik.

Sebagaimana dikemukakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gabki), Menko Kemaritiman, dan Kepala Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, industri kelapa sawit ini cukup strategis. Melibatkan lebih dari 19 juta lebih masyarakat. Hampir 20 juta orang, pekerja dan keluarganya  menggantungkan hidupnya pada sawit.

Hal ini tentu terkait isu deforestasi yang kembali dilontarkan Uni Eropa terhadap industri sawit yang antara lain menghasilkan palm oil.  Selain itu palm oil  dipersepsikan sebagai produk yang  kurang sehat oleh Eropa.

Mantan Dubes Indonesia untuk Polandia ini mengaku baru satu setengah bulan mengurus sawit. Ini tak lepas dari tugasnya sekarang sebagai staf khusus Menteri Luar Negeri untuk program-program khusus/prioritas, antara lain masalah di Asia Pasifik, Papua, dan kini sawit.

“Ternyata capek ya ngurus sawit. Kompleks masalahnya,“ katanya pada seminar “Peningkatan Kompetensi Wartawan dan Humas Pemerintah tentang Industri Kelapa Sawit”, Rabu pekan lalu. 

Ia melihat, dalam hal sawit ini ada media yang turut mendukung kepentingan nasional, dan ada pula yang  tidak mendukung. Tidak hanya media, namun Gontha juga menilai bahwa isu-isu yang baik pun kurang direspon, baik oleh media maupun pihak yang berkepentingan.

Misalnya kasus pruduk Qutela yang akhirnya menang di WTO. Di Eropa ada suatu produk yang terancam lalu melarang produk lain tidak boleh masuk, dengan tuduhan yang tidak benar. Lalu hasil riset Fakultas Pertanian di Belanda yang mengatakan sawit tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. “Hal-hal seperti ini kita tidak pernah merespon, dan memanfaatkan untuk kepentingan nasional kita,“  ujar Gontha.

Di Eropa, kata Peter Gontha, sepanjang 7 ribu tahun terjadi deforestasi. Hewan-hewan hutan sudah tidak ada.  Di sana yang ada hanya hutan-hutan buatan. Ketika musim semi  beberapa kelinci dilepaskan untuk orang-orang kaya berburu.

Masalah sawit ini, ada tiga fase yang mengemuka. Pertama, komisi Eropa membuat resolusi. Kedua, parlemen Eropa, dan ketiga, para menteri mengikuti apapun yang dilakukan parlemen.

Menurut Gontha, kita agak santai menghadapi “ancaman“ Eropa. Dalam melakukan diplomasi-diplomasi  kita sangat ramah, tertawa-tawa. Ini berbeda dengan Cina dan Jepang yang tidak pernah tertawa  dalam berdiplomasi. Oleh karena itu kita perlu kebersamaan, terutama dengan media. Di Eropa, semua media mengikuti pemerintahnya, anti sawiit. “Sementara kita ada yang dukung ada yang tidak,“ tegas Gontha lagi.

Sebetulnya biang dari permasalah isu sawit di Eropa ini adalah Prancis. Sebelum ada resolusi parlemen Eropa, Prancis mengeluarkan peraturan yang tidak memperbolehkan palm oil maupun sun flower masuk negaranya. Jerman dan Belanda pun ditolak. 

Hal ini mungkin disebabkan Pemerintah Prancis yang kini berkuasa merupakan pemerintahan koalisi. Dan kebijakan tersebut untuk mengakomodir anggota koalisinya.

Terkait persepsi terhadap sawit itu, banyak produk di Eropa, yang mencantumkan tulisan “no palm oil”. “Pikiran saya pun cukup lama beranggapan bahwa palm oil tidak sehat.  Persepsi semacam itu memang tidak menguntungkan kita. Padahal sehat”

Namun, jika kita melihat deklarasi MDGs (Milennium Development Goals) yang sangat diperhatikan Eropa adalah pengentasan kemiskinan dan human right. Jadi, resolusi yang mereka buat terkait sawit ini sebetulnya bertentangan dengan konstitusi mereka sendiri.

Namun, Gontha juga melihat adanya diskriminasi dalam peraturan yang diterapkan. Brazil membuka lahan untuk peternakan dihantam isu lingkungan juga oleh Eropa. Juga ketika membuka lahan tebu guna mengambil etanolnya. Sementara negara lain yang memanfaatkan lahannya untuk membuat oil dari bahan yang sebenarnya memerlukan 9 kali lebih luas dibanding jika menggunakan sawit, tidak dipermasalahkan.

Dugaan sementara, dan Gontha sendiri mengatakan, mungkin ini hoax , bahwa ada kemungkinan produk sejenis dari Amerika akan masuk Eropa. Amerika melobi UE. Karena itu Eropa berkoas-koar terkait isu sawit. Lalu, dengan berseloroh Gontha menjawab, “Amerika punya kapal induk, kita tidak punya. Ya begitulah. “

Namun, Gontha mengatakan kita akan lawan. Meskipun nilainya, misalnya saja, cuma 1 miliar U$. Jika dihitung, sebenarnya nilai perdagangan Indonesia dengan  Eropa, Indonesia masih surplus. Ekspor kita tahun lalu ke Eropa senilai sekitar 17 miliar U$, sementara impor Indonesia dari Eropa 14,1 miliar U$.

Soal perlawaan terhadap hegemoni negara-negara yang mengangap dirinya bisa menekan, Gontha mengajak kita berani seperti yang dilakukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Baru-baru ini Arab Saudi juga kena sanksi masalah ekspor minyaknya ke Eropa  karena kasus pembunuhan Jamal Kashogi di  Turki  yang diduga ada keterlibatan putra mahkota, Muhammed bin Salman.

Arab Saudi membalas sanksi Eropa,  dengan mengatakan,  “Ok, tapi Anda tidak perlu ikut lagi tender-tender apapun di Arab Saudi,  termasuk infrastruktur,“  Tidak lama berselang, Eropa pun membatalkan sanksinya. Sedangkan terhadap UEA, yang dituduh tempat menyimpan kekayaan orang-orang berduit pun tak luput dari sanksi Eropa. Dan UEA mengikuti sikap Arab Saudi, tidak akan memperbolehkan Eropa mengikuti tender pembangunan apapun di UEA. “Eh, keesokan harinya langsung dibalas oleh Eropa dan mencabut sanksinya,“  

Di Indonesia, dukungan dari pihak-pihak yang cukup memiliki posisi, diakui Gontha, sebenarnya cukup bagus. Selain Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR RI juga sudah mengirimkan surat langsung kepada parlemen Eropa terkait isu sawit ini. “Politik dukungan itu sangat kita perlukan, termasuk dari media massa,“ ujar Peter F. Gontha lagi. (iswati )  

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *