Connect with us

Feature

Perang, Buta Huruf dan Harapan di Afghanistan-2

Published

on

Rahmatullah Arman mendorong lulusan universitas untuk mengajar di sekolah-sekolah Afghanistan.

 

 

 

Arman punya standar tinggi bagi guru-guru yang direkrutnya. Untuk bergabung, seorang kandidat tidak hanya lulus perguruan tinggi tapi paling tidak punya nilai lehih dari 75 dan mempunyai pengalaman kepemimpinan dan kecakapan berkomunikasi.

“Ada hal-hal yang indah terjadi. Ketika lowongan terbuka untuk 80 guru, yang mendaftar 3.000 orang, semua memenuhi kriteria dan 99% berasal dari universitas-universitas Afghan.”

Perempuan sangat diharapkan ikut mendaftar dan menjadi guru, hal ini untuk memperlihatkan bahwa perempuan bisa terdidik dengan baik, punya pekerjaan bagus, dan tetap bisa menikah dan punya anak.

Bagi komunitas tradisional Afghanistan, perempuan yang bisa membaca dan menulis sudah dianggap cukup terdidik. Namun program Mengajar Afghanistan punya pandangan lain. “Ini masalah perubahan pola pikir, dan ini proses yang panjang,” tutur Arman

Salah satu contohnya, Manzoora, guru perempuan, mendengar orang tua dua anak perempuan di kelasnya, yang berusia 14 dan 15 tahun, menghendaki kedua anak itu untuk keluar dari sekolah. Dia memohon kedua orang tua untuk kesekolah dan melihat mereka, ibunya datang melihat bagaimana anak – anak belajar dan berbincang-bincang dengan para guru, kemudian dia pulang kerumahnya. Setelah banyak diskusi, mereka akhirnya memutuskan kedua anak perempuan itu meneruskan pendidikannya.

Afghanistan, yang kita kenal, adalah wilayah penuh dengan kekerasan dan perang. Apakah Arman kuatir? “Sebenarnya, tidak, karena pendekatan kami sangat lokal, kami membangun hubungan baik dengan pera pemimpin masyarakat dan juga pemimpin agama.”

“Sejak kami mulai, kami belum pernah mengalami satu seranganpun terhadap rekan-rekan kerja kami, atau terhadap sekolah atau anak-anak.”

Selain itu, pada awalnya, sekolah-sekolah yang telah ada dan para gurunya serta para pejabat melihat program Mengajar Afghanistan sebagai saingan. Tapi mereka dengan cepat menyadari dan menyambut kami sebagai mitra kerja, tambahnya.

Para guru memperoleh gaji sekitar 9.000 Afghanis, sama seperti guru-guru pegawai negeri. “Gajinya memang kecil, tapi kami meyakinkan mereka bahwa mereka akan punya masa depan lebih baik, yang lebih besar dari sekedar gaji,” ujar Arman.

Selama dua tahun masa kontrak mereka, para guru menerima pelatihan kepemimpinan dan dukungan lain yang akan membuka banyak kesempatan lain, tambahnya.

Arman yakin masa depan Afghanistan bergantung kepada aktualisasi potenti generasi mudanya. “Afghanistan mempunyai populasi paling muda di dunia dan saya percaya itu adalah aset terbesar kami.”

Dia juga percaya pendidikan merupakan cara paling efektif untuk mengatasi ekstrimisme dan terorisme. Dia mengutip aktivis pendidik Pakistan, Malala Yousufzai,”Saya tidak ingin membunuh teroris, saya ingin mendidik anak-anak tentang teroris. Inilah cara yang jitu untuk menghapuskan ekstrimisme dari negeri saya.”

Dengan bantuan dari Malala Fund, program Mengajar Afghanistan merekrut tambahan 30 guru — 20 perempuan dan 10 laki-laki — untuk mulai mengajar di sekolah-sekolah di provinsi Parwan.

Pada akhirnya, dia berharap bisa memasok guru-guru di seluruh 34 provinsi Afghanistan. “Kebutuhannya adalah nasional, kebutuhannya sangat besar, dan kami akan memenuhinya.”

 

Baca halaman sebelumnya

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *