Connect with us

Kabar

Para Penyair di Bulan Purnama

Published

on

Ely Widayati

JAYAKARTA NEWS – Buku puisi setebal 316 halaman memuat sekitar 250 puisi yang ditulis oleh 50 penyair dari berbagai kota di Indonesia, ada yang dari Mamuju,  Riau, Padang, ada yang dari Jakarta, , Bandung, Purbalingga, Surabaya, Bogor, Yogyakarta, Sragen, Ngawi, Solo, Sidoarjo, Mojokerto, Semarang, Purworejo, Temanggung, Karanganyar, Bekasi, dan beberapa kota lainnya. Buku puisi tersebut diberi judul ‘’Membaca Hujan di Bulan Purnama”. Dari segi usia, para penyair memiliki usia yang berbeda. Penyair paling tua lahir tahun 1953, dan yang muda lahir pertengahan tahun 1990-an.

Puisi-puisi yang tergabung dalam antologi puisi, sebelumnya selama satu tahun, yang ditayang tiap hari Jumat di rubrik sastra tembi.net, dan dimulai Mei 2018, dan sampai tayang April 2019, yang kemudian diterbitkan menjadi buku antologi puisi bersama. Untuk merayakan terbitnya buku puisi tersebut, sekaligus pertemuan antar penyair dari bergai kota, buku tersebut diluncurkan di acara Sastra Bulan Purnama edisi 92. Sebut saja, ini merupakan pertemuan penyair Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya,

Sebanyak 25 penyair dari 50 penyair yang puisinya diterbitlam dalam antologi puisi ‘Membaca Hujan di Bulan Purnama’ hadir dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi 92, yang diisi peluncuran antologi puisi tersebut di atas, Sabtu 4 Mei 2019 di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, jl. Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta,.

Yuditeha dan Indri Yuswandari.

Ke-25 penyair yang hadir, berasal dari berbagai kota yang berbeda, Jakarta, Semarang, Yogya, Solo, karanganyar, Sragen, Sidoarjo, Surabaya, Mojokerto. Bisa dikatakan para penyair tersebut membaca hujan di Tembi, karena buku puisi yang diluncurkan berjudul “Membaca Hujan di Bulan Purnama’, meskipun saat acara berlangsung cuaca cerah, sehinga hujan tidak turun. Masing-masing penyair membacakan dua puisi, namun ada juga yang membacakan satu puisi.

Para penyair dari berbagai usia ini sebagian sering tampil membaca puisi di Sastra Bulan Purnama, dan beberapa di antaranya baru sekali datang untuk membacakan puisi karyanya, setidaknya seperti Yuditeha dari Karanganyar, atau juga Mutia Senja dari Sragen, atau Polanco, Dalle Dalminto, Wahyu We, Yoseph Yapi Taum, Farikhatul ‘Ubudiyah tinggal di Yogyakarta.

Sulis Bambang, Yanti S.Sastro dan Heru Mugiarso, yang tinggal di Semarang sudah beberapa kali tampil di Sastra Bulan Purnama, bahkan Sulis Bambang, yang biasa dipanggil Bunda Sulis tampil bersama komunitasnya yang diberi nama Bengkel Sastra Taman Maluku, dan biasa disebut BSTM.

Suyitono Ethex dan Marlin Dinamikanto, keduanya datang dari kota yang berbeda, Ethex dari Mojokerto dan Marlin dari Jakarta. Setiap keduanya tiba di Tembi selalu tidak lupa nongkrong di angkringan tembi, dan bisa dipastikan menikmati kopi.

“Ngopi dulu Om, biar mripat segar” begitulah Ethex selalu memberi penjelasan.

Mutia Senja dan Ben Sadhana.

Yoseph Yapi Taum, asli dari NTT dan sudah lama tinggal di Yogakarta, dan sehari-harinya mengajar di Sanata Dharma, memang belum pernah hadir di Sastra Bulan Purnama, tetapi nama Tembi akrab di telinganya, apalagi dia sering melewati jalan di depan Tembi setiap kali dia hendak ke Imogiri atau Plered. Namun, rupanya apes bagi Yapi, demikian panggilannya, saat hendak ke Tembi untuk membaca puisi di Sastra Bulan Purnama, di kebablasan ke arah selatan sehingga melewati pertigaan Tembi.

“Waduh, saya sampai jalan terus setelah melewati pertigaan Tembi, baru sadar setelah  melewati lampu merah Manding,” kata Yosep Yapi Taum.

Para perempuan penyair seperti Ely Widayati, Yanti Sastro, Sulis Bambang, Sus Harjono, Ristia Herdiana, Yuliani Kumudaswari, yang sudah terbiasa membaca puisi, tidak hanya di Sastra Bulan Purnama, terlihat ekspresif dalam membaca puisi, bahkan mimik muka dan gerak tangan menunjukkan bahwa mereka menghayati dalam membaca puisi.

Tentu, tidak hanya pembacaan puisi, ada lagu puisi yang ditampilkan oleh kelompok musik Akar Renjana, yang menggarap dua puisi karya Yuliani Kumudaswari.

Yanti S. Sastro Prayitno

Sastra Bulan Purnama edisi 92, yang diisi peluncuran antologi puisi karya penyair dari berbagai kota, tampaknya sekaligus merupakan pertemuan antar penyair, dan masing-masing saling berkenalan. Bahkan ada penyair senior seperti Marjudin Suaeb dari Yogyakarta, kalau tidak dikenalkan dengan penyair yang lebih muda, dia tidak akan bisa saling mengenali,

Penyair senior lainnya yang tinggal di Yogya, dan sudah sejak tahun 1970-an menjadi redaktur rubrik sastra, terlihat tua sendiri, namun dia masih terus menulis puisi, bahkan bisa dikatakan masih produktif menulis puisi.

“Saya kira, saya paling tua di antara para penyair yang hadir dalam acara Sastra Bulan Purnama ini,” kata Eka, panggilan dari Sutirman Eka Ardhana.

Sebelumnya Eka mengucapkan terima kasih kepada seorang mahasiswi dari Mesir, Noha Mohamed Fathy namanya, yang sedang belajar di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, membuka acara dengan membacakan puisi Eka yang berjudul ‘Tentang Perjalanan.

“Terima kasih Noha telah memilih puisi saya untuk dibacakan,” ujar Eka Ardhana. (*/PR)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *