Connect with us

Traveling

Palau Suguhkan Keragaman Maritim nan Luar Biasa

Published

on

PALAU telah mendorong upayanya untuk melestarikan lingkungan maritimnya yang kaya selama beberapa generasi ke depan, dengan beberapa langkah termasuk pengenalan pajak dan pendidikan perlindungan lingkungan untuk anak-anak. Hal itu disampaikan  oleh seorang pejabat pariwisata  Tokyo  pada sebuah seminar di Ibukota Jepang, belum lama ini. 

Negara kepulauan di Pasifik Barat tersebut, menawarkan Rock Islands Southern Lagoon, yang pada tahun 2012 ditetapkan  sebagai situs Warisan Dunia;  Palau adalah satu di antara  35 situs semacam  di dunia, yang menampilkan unsur-unsur penting dan signifikansi budaya.

“Ini seperti akuarium di laut, mengingat spesies yang ada sangat beragam,” kata koordinator pemasaran dan penjualan Kantor Otoritas Pariwisata Palau di Jepang,  Tsuyoshi Shibamura kepada peserta seminar  di Minato City Eco-Plaza.

Menurut UNESCO , di wilayah tersebut, yang mencakup sekitar 100.000 hektar dengan 445 pulau batu kapur tak berpenghuni yang berasal dari vulkanik, terdapat pula 746 spesies ikan, lebih dari 385 spesies karang, serta setidaknya 13 spesies hiu dan pari manta dapat ditemukan.

Pada seminar bertajuk “Palau with the World Heritage Site” tersebut terungkap adanya sebuah upaya unik oleh negara kecil itu dalam mereka pengembangan pariwisata dan konservasi alam.   “Shibamura memperkenalkan banyak tempat unik, termasuk Danau Jellyfish, Bima Sakti yang terkenal dengan lumpur putihnya, tempat menyelam Blue Corner dan Air Terjun Ngardmau,” kata Shibamura.

“Berbicara tentang ubur-ubur, ada spesies di Palau yang hidup di danau, bukan di laut,” katanya menerangkan. Lingkungan unik ini telah melindungi mereka dari predator, sehingga ubur-ubur di sana memiliki sengatan dan racun yang lemah. Dengan begitu,  memungkinkan bagi pengunjung untuk berenang bersama mereka, tambah Shibamura.

Namun, akibat  hujan yang tidak turun cukup lebat pada tahun lalu, telah membuat danau tersebut lebih asin yang  menaikkan suhu air. Situasi itu  telah menyebabkan ubur-ubur hilang, kata Shibamura. Namun Palau petut bersukur, karena  larva di dasar danau tersebut ternyata berangsur-angsur tumbuh. Menurut Shibamura, tahun depan kemungkinan para pengunjung Palau  bisa melihat ubur-ubur.

Tertarik dengan lautnya yang indah dan situs Warisan Dunia, serta kekayaannya yang tersembunyi, sekitar 30.000 orang Jepang mengunjungi Palau pada tahun 2016. Jumlah itu  mengalami peningkatan  50 persen dari tahun 1997, demikian jelas  Shibamura.

Untuk menjaga lingkungannya yang tak ternilai harganya, sejumlah pihak berwenang, termasuk negara bagian Koror yang menjadi tuan rumah Kepulauan Rock, mengenakan pajak untuk pelancong, menurut Shibamura.

“Kami memiliki filosofi untuk melakukan upaya terus-menerus untuk melestarikan alam ini selama 100 tahun berikutnya, dan bahkan 200, tahun,” katanya.

Izin Rock Island seharga $ 50, berlaku selama 10 hari, perlu untuk dikunjungi, sementara pelancong diminta untuk membayar Biaya Hijau sebesar $ 30 saat mereka meninggalkan negara tersebut, Shibamura menjelaskan.

Selain itu, upaya promosi lebih lanjut diperlukan untuk mendidik masyarakat setempat dengan alasan mengapa alam begitu penting, tegasnya. Dia menambahkan pihak berwenanglah  telah membuat DVD, sehingga anak-anak di Palau pun  bisa mengerti akan hal itu. “Kita perlu memberi tahu mereka bahwa alam itu adalah aset berharga Palau,” kata Shibamura.

Seminar tersebut merupakan yang ketujuh dalam rangkaian memperkenalkan gaya hidup ramah lingkungan yang dipromosikan oleh berbagai negara di seluruh dunia. The Minato City Eco-Plaza dan The Japan Times bersama-sama menyelenggarakan seminar tersebut bekerjasama dengan kedutaan besar di Tokyo.

Pada awal seminar, Duta Besar Palau Francis Mariur Matsutaro berbicara tentang hubungan dekat negara Pasifik dengan Jepang, yang dimulai lebih dari 100 tahun. “Pada bulan April 2015, kami mendapat kehormatan besar untuk menyambut Kaisar  Akihito  dan Permaisuri Michiko  ke Palau, dalam rangkaian peringatan  70 tahun perang di Pasifik.”

Jepang memerintah Palau semenjak  tahun 1920 sampai akhir Perang Dunia II pada tahun 1945. Kala itu, pasukan kekaisaran melawan pasukan Amerika di Pertempuran Peleliu yang sengit dari bulan September sampai November 1944.***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *