Connect with us

Kolom

Menuju Demokrasi Melalui Pemberdayaan Masyarakat Sipil di Indonesia

Published

on

Oleh: Dr Chryshnanda DL

MASYARAKAT sipil (civil society) merupakan istilah yang berpadanan dengan masyarakat warga, masyarakat madani, masyarakat berbudaya, atau masyarakat beradab. Konsep masyarakat sipil diidentikan dengan ciri masyarakat berbudaya (civilized society) yang berlawanan dengan masyarakat liar (savage society).

Pemahaman ini mencerminkan gambaran bahwa masyarakat sipil merujuk pada masyarakat yang menghargai nilai-nilai sosial dan kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan berpolitik).

Berdasarkan pemikiran Thomas Hobes, konsep savage society dapat diidentikkan dengan gambaran masyarakat dalam keadaan alami (state of nature), yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara, dimana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Dengan demikian, eksistensi masyarakat sipil merupakan suatu konsep abstraksi sosial yang dikontradiktifkan dengan masyarakat alami (natural society).

Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Robert A. Dahl menyatakan bahwa demokrasi yang kita kenal sekarang sebenarnya merupakan hasil gabungan dari empat sumber, yakni paham demokrasi Yunani, tradisi Republiken, paham pemerintahan perwakilan, dan logika kesamaan politik.

Gagasan Robert A. Dahl tentang logika kesamaan politik adalah suatu gagasan yang muncul di banyak lingkungan budaya dan tradisi; yang menganggap bahwa semua anggota sebuah kelompok atau asosiasi sama-sama berhak dan mampu untuk berpartisipasi secara setara dengan rekan-rekannya dalam proses pemerintahan kelompok atau asosiasi itu. Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa logika kesamaan politik merupakan unsur yang paling universal.

Paham demokrasi Yunani merupakan bagian yang penting dalam mewujudkan demokrasi modern yang kita kenal sekarang. Suatu tatanan demokrasi setidaknya harus memenuhi enam persyaratan:
1. Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingan mereka sehingga sama-sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang kepentingan umum dan bertindak atas dasar itu, sehingga tidak bertentangan dengan tujuan atau kepentingan pribadi mereka masing-masing.
2. Warga negara benar-benar harus amat padu dan homogen dalam hal ciri-ciri khas.
3. Jumlah warga negara harus sangat kecil.
4. Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan undang-undang dan berbagai keputusan mengenai kebijakan.
5. Partisipasi warga negara tidak hanya terbatas pada pertemuan-pertemuan majelis, tetapi juga berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota.
Pada abad ke-17 dan ke-18, demokrasi dalam arti modern, menjadi suatu kemungkinan real setelah suatu unsur baru dimasukkan ke dalam wawasan para pemikir politik: prinsip perwakilan atau pemerintahan representatif.

Demokrasi representatif itu baru menjadi cita-cita pemikiran politik berkat adanya dua peristiwa besar, yaitu revolusi anti kerajaan Inggris di Amerika yang menghasikan United States of America pada tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1789.

Setelah pola pemerintahan demokrasi dikenali dalam berbagai sistem pemerintahan di dunia, maka timbul pula keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif. Maka muncul gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah ialah melalui konstitusi, terlepas dari apakah konstitusi itu berupa naskah tertulis (written constitution) atau tidak tertulis (unwritten constitution).

Konstitusi akan menjamin hak-hak politik warga negara dan menjalankan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa. Kekuasaan eksekutif akan diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme dimana negara yang menganut gagasan ini dinamakan constitutional state atau rechtsstaat.

Konsep demokrasi yang dituangkan ke dalam konstitusi tersebut disebut sebagai demokrasi konstitusional. Istilah “negara hukum” yang kita kenal sekarang, atau dikenal luas dengan rechsstaat (Eropa Kontinental) dan rule of law (Anglo Saxon), merupakan suatu penamaan yang diberikan oleh para ahli hukum pada permulaan abad ke-20 terhadap gagasan konstitusionalisme. Kedua konsep ini yang justru membuat demokrasi menjadi lebih mengedepankan partisipasi rakyat.

Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil digunakan dalam kontek hubungan negara dan masyarakat (state and comunity). Sifat hubungannya adalah kekuasaan dan konsepnya adalah politik. Masyarakat terlalu komplek, tidak mungkin dilihat dari satu segi saja (politik, ekonomi, sosial, budaya), tetapi analisa dan penjelasaanya harus konfiguratif (keterkaitan semua aspek, tidak boleh parsial), contohnya sosial ekonomi, sosial politik, sosial, budaya, dan sebagainya.

Masyarakat sipil berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat (emansipasi masyarakat) dan pemberdayaan warga dalam masyarakat. Karakteristik masyarakat sipil dapat dilihat dari faktor-faktor:
• Masyarakat melaksanakan kegiatan politik secara kolektif melalui partisipasi masyarakat secara luas.
• Terdapat tahap perkembangan yang tumbuh dan berkembang di tingkat grass root politic (politik akar-rumput) dimana gerakan politik secara agresif di tingkat infrastruktur politik para elit politik bersifat defensif dan membungkam tuntutan masyarakat akar-rumput).
• Gerakannya terfokus pada praksis politik yang mengacu pada gerakan transparan, sifatnya untuk merambah secara luas ke tingkat negara.
Berkaitan dengan hal di atas, masyarakat sipil dapat diartikan sebagai keadaan dimana terdapat kelompok-kelompok dan individu-individu di dalam masyarakat yang bukan atau diluar pemerintah yang juga memiliki kepentingan komunal (golongan, etnis, agama, ras, suku) atau primordial.

Sifat utama masyarakat sipil adalah demokratis yang peduli pada keadaan masyarakat dan kekuatan secara politis untuk bertindak sebagai penyeimbang atau pengontrol kekuatan negara (yang terwujud dalam pemerintah). Masyarakat sipil juga menjunjung tinggi HAM, supremasi hukum, dan masyarakat humanis.

Dalam perkembangan negara modern, masyarakat sipil mendahului demokrasi. Oleh karena itu, maka tidak aneh bila negara dengan masyarakat sipil tidak berfungsi secara demokratis. Masyarakat sipil yang demokratik paling tidak mempunyai ciri-ciri: (1) asosiasi sipil yang secara politik independen dari negara; (2) budaya toleran dan dialog yang berlaku; dan (3) perempuan dan laki-laki mempunyai hak politik yang sama, hak untuk memilih dan hak untuk menolak pemerintahannya.

Negara demokrasi yang kuat ditandai dengan setaranya akses semua kelompok tanpa memandang basis gender, ras, agama atau ideologi terhadap negara.
1. Landasan Pemikiran Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil bukanlah masyarakat alami (masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga), tetapi masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang telah meninggalkan lingkungan keluarga dan memasuki arena persaingan kepentingan, khususnya kepentingan ekonomi. Masyarakat sipil adalah suatu masyarakat yang telah menyadari kepentingan- kepentingan tertentu mereka, maka mereka bergabung ke dalam perkumpulan, perhimpunan, atau organisasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Meskipun demikian, masyarakat sipil berada di luar arena negara atau pemerintahan. Inilah penyebabnya kenapa masyarakat sipil selalu dikesankan berhadapan dengan negara (civil society vis a vis state).

Gagasan tentang masyarakat sipil sebagai salah satu komponen penting demokrasi adalah gagasan yang telah menjadi sangat penting sebagai reaksi atas kediktatoran fasis dan komunis abad ke-20. Kedua ideologi keras ini berusaha merangkul dan mengawasi semua lembaga kemasyarakatan di bawah panji-panji negara.

Konsep masyarakat sipil dapat dipandang dari dua sudut pandang yang berbeda: (1) sudut pandang negatif; gagasan bahwa jangkauan negara harus dibatasi , sehingga negara dicegah agar tidak mengendalikan semua kegiatan masyarakat , merasuki semua lingkup kehidupan , atau mernghisap habis semua inmisiatif dan bakat masyarakat; dan (2) Sudut pandang positif; gagasan yang memiliki banyak dukungan independen dari organisasi dalam masyarakat, yang dengannya orang – orang bisa bekerja secara bersama – sama untuk memecahkan masalah – masalah mereka sendiri, yang bisa bertindak sarana perlindungan rakyat dari penguasaan pemerintah (David Betham & Kevin Boyle, Demokrasi, Yogyakarta: Kanisius, 2000:157).

2. Menuju Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil demokratis yang kuat, tidak lahir sendiri, tetapi harus diperjuangkan. Pembentukannya tidak pernah mencapai titik kulminasi. Masyarakat sipil yang demokratik mempunyai ciri, sebagai berikut: (1) organisasi yang aktif dalam semua sektor masyarakat; (2) konstruksi terus menerus dan redefinisi otonomi politik dalam kaitannya dengan negara; (3) memperluas dan merekonstruksi toleransi dan dialog; serta (4) menjamin dan membela kesetaraan akses terhadap negara, juga kesetaraan yang lebih besar dalam masyarakat sipil.

Masyarakat sipil adalah merupakan suatu proses melalui adanya kekuatan-kekuatan masyarakat (di luar pemerintah) yang berfungsi sebagai pengimbang atau kekuatan pengontrol negara dan pemerintah. Masyarakat sipil bebas dari kepentingan komunal (suku, agama, ras, dan antar golongan – SARA), dan mempunyai sifat demokrasi yang menjunjung tinggi HAM. Dalam perjalanan sejarahnya, kondisi masyarakat sipil harus dipahami sebagai proses yang mengalami pasang-surut, kemajuan dan kemunduran, kekuatan dan kelemahannya.

Masyarakat sipil memerlukan berbagai macam aturan, pembatasan, serta penyatuan negara melalui kontrol hukum, administratif, dan politik. Jika tidak, masyarakat sipil akan kehilangan dimensi politiknya dan akan terus bergantung kepada manipulasi dan intervensi negara. Ideologi yang melemahkan masyarakat sipil adalah sistem pemerintahan yang otoriter dimana negara menjadi defensif, memberlakukan status quo, dan anti terhadap demokratisasi dan perubahan politik.

3. Memperkuat Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil sebagai elemen penting dan sebagai prasarat demokrasi, maka dalam memperkuat masyarakat sipil dilakukan dengan menciptakan network antara masyarakat dengan pemerintah, sebagai berikut:
a. Keseimbangan sistem koneksitas antara peran negara dengan masyarakat sipil.
b. Secara konstektual, hubungan negara dengan masyarakat sipil (peran kelompok sipil) dapat sebagai penyeimbang kekuatan negara.
c. Melalui perjuangan panjang mencakup: pendidikan dan kesadaran politik, peran-peran berbagai institusi di luar pemerintah.
d. Adanya masyarakat yang mempercayai kebijakan pemerintah.
e. Adanya masyarakat yang tidak sekedar tutwuri handayani, tetapi juga mempunyai kemampuan memahami landasan berpikir dan perilaku pemerintah.
f. Adanya masyarakat yang merasa sebagai bagian signifikan dalam pengambilan keputusan pemerintah dan peran sertanya dalam membangun negara.
g. Adanya good governance, yakni legitimasi, transparansi, kompetensi, akuntabilitas pemerintah membuat dan melaksanakan kebijakan, penghormatan pemerintah kepada HAM, dan rule of law.
4. Pendidikan Politik
Pendidikan politik sebagai political forming mengandung intensitas untuk membentuk insan politik yang menyadari status, kedudukan politiknya di tengah masyarakat. Pendidikan politik ini menyangkut relasi antar individu, individu dengan masyarakat di ranah sosial, dan dalam berbagai situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam perbedaan dan kemajemukan masyarakat.

Pendidikan politik bagi warga negara adalah penyadaran warga negara untuk sampai pada pemahaman dan aspek-aspek politik dari setiap permasalahan sehingga dapat mempengaruhi dan ikut mengambil keputusan di arena politik maupun persaingan isu-su dan konflik-konflik. Ada pun tujuan pendidikan politik kepada masyarakat, sebagai berikut:
1. mempromosikan perluasan wawasan, kepentingan, dan partisipasi dalam pemerintahan di tingkat lokal, propinsi, nasional, sebagaimana mendukung proses dan tujuan perkumpulan-perkumpulan warga di masyarakat sipil.
2. memperdalam pengertian tentang dasar-dasar sejarah, filsafat, politik, sosial, dan ekonomi, demokrasi dan konstitusi, baik di Indonesia ataupun di negara barat.
3. menyemaikan komitmen dan keberpihakan yang rasional atas prinsip-prinsip dan nilai fundamental sebagaimana terungkap dalam HAM, Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, dan Sumpah Pemuda, yang mengikat kita sebagai sebuah bangsa dan menjadi wahana untuk membangun kerja sama.
4. mensosialisasikan pengertian tentang peran-peran berbagai lembaga beserta nilai-nilai masyarakat sipil dalam memperjuangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil setara dan manusiawi di Indonesia..
Membangun Demokrasi di Indonesia

Dalam wacana politik saat ini, demokrasi telah diterima oleh berbagai negara di belahan dunia, tanpa mempedulikan budaya, agama, idiologi, ras, jenis kelamin, letak geografis, dan suku bangsa. Demokrasi dapat dianggap lebih memadai dalam praktik berbangsa dan bernegara, karena (1) mencegah sistem pemerintahan autokrasi yang keji dan sewenang-wenang; (2) menjamin hak asasi warganya; (3) membantu warga negara untuk melindungi kepentingan fundamentalnya; (4) menjamin perkembangan kemanusiaaan; (5) menjamin kesetaraan politik antara warga dengan pemerintah; (6) sistem demokrasi representatif modern cenderung menghindari perang terhadap negara lain; dan (7) cenderung lebih makmur dari negara yang non demokratis.

Masyarakat Indonesia yang majemuk, militeristik, dan otoriter perlu direformasi menjadi sebuah masyarakat sipil yang demokratis dan bercorak Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Parsudi suparlan (dalam Jurnal Antropologi: Masyarakat majemuk dan Perawatannya. Jakarta: Yayasan Obor, 2000), masyarakat sipil dapat diwujudkan dengan syarat-syarat:
• Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat menganut faham masyarakat sipil dimana tidak ada dominasi militer atau peran sosial politik dari militer. Para militer dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai masyarakat sipil yang harus tunduk pada hukum yang berlaku dalam masyarakat sipil yang bersangkutan. Untuk menghindari kekhilafan sehingga berperan dalam bidang sosial politik, maka para militer dididik berbagai keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan dalam masyarakat, sehingga saat dibebas-tugaskan dari militer, mereka akan tetap menjadi sumber daya produktif yang berguna bagi terwujudnya kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.
• Pemahaman yang benar mengenai konsep demokrasi dan penerapannya dalam berbagai pranata nasional. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat haruslah dipegang teguh. Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah konflik di antara unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Konflik bukan untuk saling menghancurkan, tetapi untuk saling memeriksa guna terwujudnya keseimbangan (check and balances), terutama dalam kaitannya dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
• Hak individual atau HAM, hak budaya komunitas atau masyarakat dan negara atau pemerintah harus diperlakukan sama sakral atau posisinya dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya.
• Hukum harus ditegakkan untuk menjamin terrwujudnya keteraturan di dalam kehidupan masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat melakukan kegiatan-kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.

Pengembangan keadilan sosial senantiasa dilaksanakan sampai tingkat lapisan akar-rumput (grass-root), sehingga masyarakat golongan bawah dapat berkembang tanpa didominasi atau tergantung dari golongan atas. Keadilan sosial dapat meredam konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Melalui kesejahteraan sosial yang adil dan beradab, maka integritas atau semangat kebangsaan akan kokoh. Di samping itu, perlu adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak budaya komunitas.

Pendidikan politik sangat diperlukan untuk membangun kepekaan dan kedewasaan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik juga diperlukan dalam peran serta masyarakat dalam membangun demokrasi serta menjadikan masyarakat sebagai pengendali dan pengontrol kekuasaan dan aktivitas pemerintah. Pada sisi lain, hal ini diimbangi implementasi supremasi hukum sebagai pengendali kehidupan yang demokratis, karena tanpa hukum dan aturan yang jelas, demokrasi akan menjadi anarki.

Masyarakat sipil yang demokratis bukanlah sesuatu yang dilahirkan, tetapi harus senantiasa diperjuangkan, karena demokrasi dan masyarakat sipil dapat mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarahnya.
Polisi dan Pemolisiannya

Penyelenggaraan tugas polisi untuk kemanusiaan, mendukung produktifitas masyarakat dan senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Ini berarti polisi tidak melakukan tindakan-tindakan yang kontraproduktif dan tentu melakukan tindakan tegas terhadap berbagai hal yang menghambat atau anti produktifitas. Model penyelenggaraan tugas polisi (pemolisian) secara garis besar dapat dibedakan antara pemolisian yang konvensional dengan pemolisian yang sedang trend dalam negara-negara maju atau dalam masyarakat yang modern dan demokratis.

Penanganan berbagai masalah sosial dalam masyarakat yang semakin kompleks menuntut kualitas kinerja polisi yang profesional, cerdas, bermoral dan patuh hukum. Polisi bekerja untuk melindungi, mengayomi dan melayani kepentingan negara, masyarakat maupun pribadi yang kesemuanya adalah berdasar pada produktifitas. Tentu secara fair dan tidak diskriminatif dan mengacu soko guru demokrasi (supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan HAM, transparansi, akuntabilitas kepada publik, berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat). (Parsudi Suparlan (ED), 2005 Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Jakarta, YPKIK)

Model-Model Pemolisian
Model pemolisian secara garis besar dapat dikategorikan sebagai pemolisian yang konvensional dan kontemporer. pemolisian konvensional berdasarkan pada pendekatan yang reaktif, law enforcement, dan crime fighter. Model pemolisian yang kontemporer yang dikenal sebagai community policing merupakan pengembangan antara yang reaktif dengan model yang proaktif, problem solving, kemitraan, dan mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan yang berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Model pemolisian dapat dibagi menjadi 3 kategori: (1) berbasis wilayah; (2) berbasis kepentingan; dan (3) berbasis dampak masalah. Ketiga kategori memiliki pendekatan yang berbeda, tetapi terdapat benang merah yang menunjukan saling keterkaitan satu dengan lainnya. Model pemolisian itu dapat digunakan sebagai acuan dasar dan pedoman dalam implementasinya.

Sekalipun berbeda variasinya berdasarkan corak masyarakat dan kebudayaannya, tetapi tetap ketiganya memiliki prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum. Romo Mangunwijaya (1999) mengatakan: ”satu prinsip seribu gaya”.

1. Pemolisian Berbasis Wilayah
Pemolisian dengan berbasis wilayah (geographical community), dalam implementasinya, membagi wilayah dalam lingkup kecil RW dan Kelurahan, serta dijabarkan sistem-sistem jejaring dan berbagai kelompok kemasyarakatan yang ada. Model ini dapat dikatakan sebagai model struktural dari tingkat Mabes sampai dengan Polpos bahkan hingga tingkat Babin Kamtibmas. Semua tingkatannya dibatasi wilayah hukum dengan mengikuti pola pemerintahan, atau pola-pola khusus seperti yang diterapkan di Polda Metro Jaya yang wilayahnya terdapat 3 propinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat). Ada Polres yang membawahi lebih satu wilayah kota/kabupten. Ada juga wilayah Polsek yang lebih dari 1 kecamatan. Pada tingkat Polpos dan Babin Kamtibmas, pemolisian perlu dibuat secara konsisten atau ada modelnya.

Dalam pemolisiannya, tentu berkaitan dengan penanganan-penanganan masalah dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, terdapat saling keterkaitan antara model yang berbasis wilayah dengan yang berbasis kepentingan maupun dengan yang berbasis dampak masalah. Maka timbul pertanyaan, bagaimana membangun sistem terpadu yang saling mengisi dan saling melengkapi serta saling menguatkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas)? Jawabannya adalah dengan membangun back office sebagai linking pin/pusat K4Ei (Komunikasi, Komando dan pengendalian, Koordinasi, Kontrol dan monitoring, Evaluasi dan informasi).

Back office merupakan ruang operasi –jika dianalogikan adalah dirigen dalam suatu orchestra– untuk mengharmonikan pekerjaan yang diselenggarakan antar wilayah, fungsi/bagian, maupun dalam kondisi yang diskenariokan, atau kondisi-kondisi kontijensi baik dari faktor manusia, faktor alam, maupun faktor kerusakan infrastruktur. Back office ini merupakan sistem terpadu yang mampu membangun database, komunikasi, komando dan pengendalian, koordinasi, kontrol dan monitoring, evaluasi serta informasi. Back office mampu memberikan pelayanan prima dengan pemolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern. Untuk itu diperlukan keunggulan-keunggulan dalam mengimplementasikannya: (a) unggul sumber daya manusia (SDM); (b) unggul data; (c) unggul pemimpin dan kepemimpinannya; (d) unggul Sarpras (berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi); (e) unggul Jejaring; dan (f) unggul anggaran.

2. Pemolisian Berbasis Kepentingan
Model pemolisian berbasis kepentingan tidak dibatasi wilayah, tetapi dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan bersama (community of interest). Pendekatan polmas yang diterapkan dapat juga meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah lebih luas seperti Kecamatan bahkan Kabupaten/Kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan (Rahardjo, 2002). Berbagai kepentingan tersebut berupa hal yang berkaitan: dengan pekerjaan/profesi, hobby, kegiatan, dan kelompok kemasyarakatan. Model ini dimplementasikan secara variasi oleh fungsi-fungsi kepolisian yang ada pada pemolisian berbasis wilayah (Mabes sampai dengan Polsek) sesuai dengan kategori kepentingannya (internasional, regional, nasional, dan tingkat lokal). Melalui keunggulan-keunggulan itu yang diharmonisasikan oleh para petugas di back office, walaupun pemolisiannya pada tingkal lokal sekalipun, tetapi dampaknya dapat menjadi global karena terdapat sistem dasar dan sistem pendukungnya yang saling terkait.

3. Pemolisian Berbasis Dampak Masalah
Penanganan akar-akar masalah ini bukan pada tugas polisi, tetapi potensi konfliknya dapat berdampak menjadi konflik yang sangat mengganggu, menghambat, merusak, hingga mematikan produktivitas masyarakat. Tentu saja akan menjadi tugas kepolisian tatkala terjadi gangguan terhadap keteraturan sosial. Pola pemolisiannya juga berkaitan dengan yang berbasis wilayah maupun yang berbasis kepentingan, tetapi polanya berbeda karena penanganannya dengan pola khusus atau yang tidak bersifat rutin, dan tetap memanfaatkan sistem back office. Pola penanganan terhadap dampak masalah ini dilakukan dengan membentuk satuan-satuan tugas (satgas) yang juga bervariasi karena juga akan berbeda dampak masalah dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, keselamatan, dan sebagainya.

Jika sudah terjadi dampak masalah, di sinilah core dari model pemolisian berbasis dampak masalah yang penangannya diperlukan keterpaduan (integrasi) dari pemangku kepentingan ataupun antar satuan fungsi. Dengan membangun model pemolisian ini, akan menjadi wadah untuk mensinergikan, mengharmonikan dalam menangani berbagai masalah (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan pertahanan), sehingga solusi-solusi yang tepat dapat diterima semua pihak yang digunakan untuk pra, saat, maupun pasca. Keterpaduan inilah yang menjadi kecepatan, ketepatan, dan kekuatan sosial, yang juga akan menjadi ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai dampak masalah bahkan dampak globalisasi.

E-Policing
Dalam membangun pemolisian di era digital Perlu pemikiran-pemikiran secara Konseptual dan Bertindak Pragmatis yang saling melengkapi dan menjadi suatu sistem. Tatkala kita membangun sistem yang perlu diperhatikan adalah masukan (input), proses (cara mencapainya) maupun keluaranya (output), yang memerlukan adanya standar-standar baku sebagai pedoman Operasionalnya (SOP).

Pemolisian di era digital yang dapat mendukung pelayanan kepolisian yang prima yaitu: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Diera kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat berdampak terjadinya globalisasi. Selain segi positif globalisasi juga membawa permasalahan sosial yang berkaitan dengan gangguan keamanan ataupun kejahatan yang terjadi dalam masyarakat akan semakin kompleks dan semakin canggih karena semakin sistematis terorganisir secara profesional dan memanfaatkan teknologi dan peralatan modern yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli/profesional.

Tentu saja kejahatanya akan semakin sulit untuk dicegah, dilacak dan dibuktikan. Selain itu tuntutan dan harapan masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menyelenggarakan pemolisiannya akan semakin meningkat yaitu adanya pelayanan prima. Pelayanan prima kepolisan dalam konteks ini dapat dipahami sebagai pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Sejalan dengan pemikiran di atas maka Polri perlu membuat model pemolisianya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, kesejahteraan masyarakat, kemajuan institusi Polri.
b. Model pemolisianya baik yang berbasis : wilayah, kepentingan, maupun dampak masalah ( ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan keselamatan).
c. Fungsi dan tugas pokok polisi baik sebagai institusi, sebagai fungsi maupun sebagai petugas kepolisian. Arah untuk polri di depan (setidaknya untuk 2020) polri sebagai institusi yang profesional (ahli), cerdas (kreatif dan inovatif), bermoral (berbasis pada kesadaran, tanggungjawab dan disiplin) dan modern ( mempergunakan dukungan IT).
d. Model-model pembinaan baik untuk kepemimpinan, bidang administrasi, bidang operasional maupun capacity buiding.
E-Policing bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya. E-Policing menyempurnakanya, meningkatkanya sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas , bermoral dan modern sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus. E-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat. Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: Cepat, Tepat, Akurat, Transparan, Akuntabel, Informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya.
Unsur-unsur pendukung dalam membangun E-Policing: a) Komitmen moral; b) Political Will; c) Kepemimpinan yang transformatif; d) Infrastruktur (hardware dan software) sebagai Pusat data, informasi, komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian; e) Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi (K3i) melalui IT dan untuk kontrol situasi; f) Petugas-petugas polisi yang berkarakter (yang mempunyai kompetensi, komitmen dan unggulan) untuk mengawaki untuk yang berbasis wilayah, menangani kepentingan dan dampak masalah; g) Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin, khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun operasionalnya); h) Tim transformasi sebagai tim kendalli mutu, tim backup yang menampung ide-ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan monitoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun menghasikan program-program baru; i) Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk update, upgrade dan mengantisipasi dinamika perubahan sosial yang begitu cepat.

Polisi Penjaga Kehidupan, Pembangun Peradaban dan Pejuang Kemanusiaan
Pekerjaan Polisi untuk mewujudkan keamanan dan rasa aman bagi warga masyarakat, untuk dapat hidup tumbuh dan berkembang diperlukan produktifitas. Pada proses produktifitas tersebut ada ancaman, hambatan, gangguan yang dapat menghambat, merusak bahkan mematikan produktifitas. Untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang produktif tersebut diperlukan aturan, hukum, etika, norma, moral dan nilai. Untuk menegakkanya dan mengajak masyarakat mentaatinya diperlukan institusi yang menangani. Salah satunya adalah Polisi.

Pada konteks inilah polisi menunjukkan integritasnya dan karakternya dalam jati diri penjaga kehidupan. Yang dijabarkan bahwa Polisi dalam melakukan Pemolisianya tidak memeras, tidak menerima suap, tidak melakukan backking/main-main dengan hal-hal illegal dan Polisi dapat menjadi co producer serta tidak melakukan tindakan-tindakana yang kontra produktif.

Penjaga kehidupan dapat diartikan memberikan jasa, menyadarkan, memberi air kehidupan, mendorong orang lain berbuat baik, menginspirasi dan tentu sebagai temanyang setia dalam penderitaan. Tidak gampang dikerjakan tugas itu. Setidaknya menjadi polisi harus sat langkah lebih maju dari masyarakat yang dilayaninya, dan tentukeberadaanya dapat dipercaya karena fungsional serta mendapatkan legitimasi dari masyarakat.dan sebagai penjaga kehidupan selain dituntut profesional, cerdas dan patuh hukum juga dituntut bermoral. Berbagai upaya yang dilakukan oleh polisi dalam penyelenggaraan tugasnya merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Polisi pembangun peradaban dalam penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polisi adalah untuk menyelesaikan konflik secara beradab, mencegah agar tidak menjadi konflik yang lebih luas, melindungi, mengayomi, melayani korban dan pencari keadilan serta kepastian juga edukasi

Polisi sebagai pejuang kemanusiaan, Pemolisian yang dilakukan oleh Polisi baik yang berbasis wilayah, fungsional dan berbasis dampak masalah adalah untuk mengangkat harkat dan martabat manusia karena meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Tugas polisi pada ranah kemanusiaan yang berarti polisi juga harus peka dan peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan sehingga dapat menunjukan bahwa polisi keberadaanya aman bagi masyarakat, menyenangkan masyarakat dan tentu bermanfaat bagi masyarakat.

Polri sebagai polisi sipil yang profesional dan demokratis bukanlah hal mudah dan membutuhkan waktu namun demikian yang terpenting disini adalah kemauan untuk mencapai hal tersebut serta diimbangi dukungan baik dari pemerintah , sistem politik. Di samping itu Polri senantiasa telah berupaya mereformasi dirinya secara terus menerus mengingat tuntutan masyarakat serta situasi Kamtibmas yang senantioasa mengalami perobahan secara cepat dan tidak menentu.

Dan diharapkan mampu untuk menganalisa dan mengantisipasi segala bentuk ganguan kamtibmas baik yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi serta mampu membangkitkan peran serta masyarakat dalam menciptakan Siskamtibmas Swakarsa.
pemahaman nilai-nilai budaya kepolisian dan cinta kebangsaan akanmenjadi suatu rangkaian karakter polisi Indonesia yang profesional, modern dan terpercaya. Promoter dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Makna profesional secara umum dapat dijabarkan dalam indikator-indikator sebagai berikut:
• Para pekerja/ petugasnya memiliki keahlian/ setidaknya memiliki kompetensi.
• Pekerjaan yang dilakukan jelas dan terukur berdasar pada standardisasi input, proses maupun outputnya.
• Produk-produk kinerjanya secara signifikan dapat dirasakan hasilnya oleh masyarakat dalam pelayanan publik yang memenuhi standar kecepatan, ketepatan, keakurasian, transparansi, akuntabilitas, informasi maupun kemudahan mengakses.
• Etika kerja (do and dont serta sanksinya) berbasis pada SOP yang berisi job description, job analysis, standardisasi keberhasilan tugas, sistem penilaian kinerja, sistem reward and punishment.
2. Makna modern di era digital, tentu dilihat dari sistem-sistem yang dibangun ada back office, aplikasi, network, sehingga dapat memberikan pelayanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu secara proaktif dan problem solving, yang didukung dengan sistem-sistem komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi. Sistem-sistem modern ini dapat ditunjukkan adanya efektifitas, efisiensi dan memenuhi standar-standar pelayanan prima dengan petugas-petugas yang profesional.
3. Makna terpercaya adalah dapat diunggulkan dan kinerjanya dirasakan membawa manfaat bagi masyarakat dengan adanya keamanan dan rasa aman. Dan di dalam melakukan pelayanan kepada publik tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan orang tidak percaya antara lain : Memeras, Menerima suap, Menjadi backing yang ilegal, Arogan, Apatis/ masa bodoh/ tidak empati, Anarkis/ melakukan kekerasan, Berkata kasar, Memprovokasi/ menabur kebencian/ menyulut konflik, dan lain sebagainya.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *