Connect with us

Feature

Mengurai Mimpi, Menyemai Bakti

Published

on

Buyar Winarso yang peduli pada pendidikan gererasi muda. (foto: ist)

JAYAKARTA NEWS – Kerja keras. Itulah kamus hidup Buyar Winarso. Baginya –dan memang begitu semestinya—tiada satu cita-cita dan keinginan yang bisa terwujud tanpa dibarengi kerja… kerja keras… atau bahkan kerja teramat keras.

Menurut lelaki berzodiak Libra itu, manusia yang memiliki prinsip kerja, kerja, dan kerja… umumnya gigih, pantang menyerah, dan tidak mudah frustrasi. “Saya pribadi merasakan dampak positif, setiap ada kesempatan, saya tidak akan mundur, saya maju terus,” ujar Buyar tentang prinsip hidupnya.

Kerja keras dan ketekunannya membuahkan hasil. Tahun 1993 adalah awal Buyar Winarso memulai usahanya sendiri. Langkah pertama adalah membuka toko yang menjual bahan-bahan bangunan di Jl. Raya Parung, Bogor. Berkat ‘tangan dinginnya’ usaha ini berkembang bagus.

Tak hanya fokus di satu jenis usaha, dia pun menjajal usaha pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. “Ilmu” didapatnya selama bekerja di PT Bhinneka dan PT Abul Pratama, mendapat kesempatan untuk diterapkan dalam usahanya sendiri. Selama bertahun-tahun menekuni bidang PJTKI, ia telah mempelajari dan menguasai seluk-beluk usaha mengiriman jasa tenaga kerja ke luar negeri, utamanya ke Timur Tengah.

Tahap pertama, ia masih bekerja sama dengan perusahaan lain. “Saya belum mengurus SIUP, jadi masih bekerja sama dengan Anton Sihombing, pemilik PT Luhur Asaprima,” katanya. Anton Sihombing ini, di kancah olahraga nasional, dikenal juga sebagai promotor tinju profesional.

Berkisahlah Buyar Winarso, awal bisnis pengiriman tenaga kerja, yang dikatakannya “nyaris tanpa modal” alias modal dengkul. Hanya satu “modal” Winarso, yakni menanamkan kepercayaan pada orang lain. Itulah yang dilakukan ketika menjalin hubungan dengan para pihak di instansi-instansi yang ada kaitan dengan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

Menjaga amanah yang dipercayakan orang, itu prinsip yang kuat dipegangnya. Bukan hanya saat berbisnis, tapi prinsip itu telah tertanam sejak kecil dan terus digenggam hingga dewasa bahkan ketika ia berkiprah di dunia wiraswasta.

“Mungkin ketika kita hidup di iklim pedesaan, karakter-karakter memegang teguh amanah orang lain bukan sebuah karakter langka. Akan tetapi ketika kita hidup di kota metropolitan, terus-terang mencari mitra yang amanah, langka…,” paparnya.

Intinya, menjaga kepercayaan orang. Itulah yang dijaga betul oleh Buyar Winarso. Dan ternyata prinsip itu juga yang mengantarnya pada kesuksesan dalam hidup. Bisa jadi karena memang ia dipercaya mitra bisnis, tapi yang jelas, cara-cara bisnisnya yang amanah dan komitmen teguh, membuat segan mitra maupun pesaing. Bayangkan saja, berbekal “modal amanah” tadi, ia bisa memulai usaha pengiriman tenaga kerja yang pada galibnya padat modal.

“Untuk membuat paspor, saya utang pada kantor Imigrasi, dan alhamdulillah dikasih. Begitu pula tiket pesawat, saya bisa berutang pada Saudi Arabia Airlines. Bahkan utang saya kepada maskapai Arab itu mencapai 128.000 dolar AS. Tapi mereka percaya saja. Padahal, boleh dibilang mereka tidak mengenal saya secara dekat, bahkan mereka juga tidak tahu di mana rumah saya. Tapi ya, itulah, sekali lagi, ini soal kepercayaan. Padahal, saat itu saya tinggal di rumah petak, untungnya mereka tidak bertanya tempat tinggal saya…. Sungguh, alhamdulillah… menjaga amanah membuat segalanya lancar,” urainya.

Mimpi memiliki perusahaan sendiri akhirnya terwujud. Tepatnya tahun 1995, Buyar Winarso memiliki SIUP sendiri dengan nama PT Bumen Jaya Duta Putra. Inilah perusahaan pertama yang bisa dibilang, murni sebagai milik pribadinya. “Usaha saya berkembang bagus, bahkan beranak-pinak menjadi beberapa perusahaan,” ujarnya bangga.

Kesuksesan demi kesuksesan pun diraihnya. Hal paling disyukuri dalam berusaha adalah, seolah dirinya mendapat kemudahan dan kelancaran, sehingga apa pun yang ditanganinya membuahkan hasil sesuai yang diharapkan. Kerja keras dan ketekunannya selama ini, ternyata tidak sia-sia.

Hingga tahap ini, Anda tentu membayangkan Buyar Winarso sudah hidup enak, bergelimang sukses di segala bidang. Pendek kata, ia telah meraih kesuksesan dalam hidup di dunia.

Di sisi lain, ia juga dikenal akrab bergaul dengan kaum jamaah, serta terbilang rajin beribadah. Nyatanya, bayangan tidak selalu seindah yang kita bayangkan. Buktinya, masih ada fase di mana Buyar Winarso begitu bosan, cenderung jenuh dengan dunia yang tengah dijalaninya.

Dari kacamata psikologi, bisa disimpulkan, Buyar Winarso mengalami puncak kejenuhan dari suatu aktivitas bisnis yang tiada henti. Sering diistilahkan dengan burnout atau sindrom kelelahan. Rutinitas bekerja sejak merantau ke Jakarta tahun 1986 hingga tahun 1995. Kerja, kerja, dan kerja, pada akhirnya menempatkan batin dan pikirannya jenuh.

Pada posisi itu, ia tidak merasakan lagi adanya tantangan. Maklum, semuanya berjalan sangat lancar, tanpa hambatan yang berarti.

“Puncaknya terjadi tahun 1998… di mana saya mengalami serangan rasa jenuh yang teramat-sangat. Bisa jadi karena hanya itu-itu saja yang saya kerjakan, sehingga rasanya sudah tidak ada lagi tantangan. Saya lesu, malas ke kantor. Padahal, ketika itu kondisi perusahaan sedang jaya-jayanya. Pengiriman TKI sedang tinggi-tingginya, nilai dolar terus melambung, jadi secara keuangan, otomatis sangat bagus. Pokoknya, ketika itu semua sedang bagus, sebaliknya saya yang kurang bagus, karena sudah tidak lagi bergairah kerja,” ujarnya.

Apa akibatnya saat kejenuhan melanda Buyar Winarso di puncak kejayaan bisnisnya? Hampir dua tahun lamanya, ia malas ngantor. Selama itu pula, urusan kantor praktis dijalankan oleh karyawan yang ia percaya. Sesekali saja ia datang untuk melakukan kontrol atas beberapa hal, terutama aspek keuangan. Di luar itu, ia hanya diam di rumah. Kalaupun keluar rumah, ia manfaatkan untuk mengunjungi teman-teman dan kerabat.

Mungkin sulit orang percaya, tetapi di saat sedang didera jenuh pun, Buyar Winarso tercatat masih sempat membangun dua perusahaan lagi, yakni PT Bumen Eka Putra dan PT Bumen Praduta. Dua perusahaan itu bergerak di bidang yang sama dengan perusahaan terdahulu, PT Bumen Jaya Duta Putra, yakni pengiriman tenaga kerja. Baik Bumen Eka Putra maupun Bumen Praduta, dijalankan oleh beberapa saudara (di Bumen Jaya Duta Putra) yang dinilainya punya potensi.

Begitulah, putra Alian – Kebumen ini dikenal sebagai sosok yang tak pernah bisa diam berpangku tangan. Rasa jenuh itu “diobatinya” dengan mencari ide baru yang bisa membuatnya “bangkit lagi”. Cara “bersenang-senang” Buyar Winarso agak berbeda dengan cara orang lain pada umumnya. Ia mengaku, bekerja adalah “bersenang-senang”. Memikirkan ide-ide baru, membuat inovasi, adalah sesuatu yang memacu adrenalin dan semangat kerja.

“Saya tidak terlalu suka jalan-jalan. Saya suka sesuatu yang kreatif. Lihat ini (sambil menunjuk dinding ruang kerjanya yang terbuat dari kayu). Itu saya yang mengerjakan. Saya lebih senang sepeti itu,” ujarnya.

Karena tak bisa diam juga, maka sekalipun berasa jenuh, ada saja ide-ide segar yang dilahirkannya. Lalu, ia pun menemukan ide usaha baru, yakni mendirikan show room mobil. Maka, jadilah tahun 1999 sebagai tahun pertama ia membuka bisnis jual-beli mobil. Ia membuka show room di rumahnya.

Bukan hanya itu. Ia pun mendirikan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Jadilah Buyar Winarso merambah ke bidang lain yang sama sekali baru baginya. Di tangannyalah, Global Islamic School (GIS) menjadi sekolah swasta papan atas di level Ibu Kota, bahkan level nasional. (Roso Daras/Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *