Connect with us

Kolom

Memaknai Persatuan dan Kerukunan Bangsa

Published

on

Oleh Achmad Fachrudin
Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Institut PTIQ Jakarta

Persatuan dan kerukunan merupakan dua kata dasar yang mempunyai perbedaan makna. Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persatuan berarti: 1. Gabungan (ikatan, kumpulan, dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah bersatu; dan 2. Perserikatan atau serikat. Sedangkan kerukunan bermakna (1) perihal hidup rukun dan (2) rasa rukun, kesepakatan. Meskipun terdiri dari dua kata, persatuan dan kerukunan mempunyai irisan makna dan nilai. Yakni: terjadinya kohesi dan interaksi sosial antarsesama yang berlangsung secara harmonis, rukun, aman, damai, tentram dan kondusif.

Sebagai khasanah bangsa, persatuan dan kerukunan mempunyai akar sejarah panjang dalam tradisi, budaya, pandangan hidup (way of life), pergerakan nasional dan bahkan ideologi bangsa. Dalam tradisi dan budaya, persatuan dan kerukunan sudah lama diterapkan secara nyata dan turun-temurun dalam kehidupan sehari-hari oleh nenek moyang kita. Tidak jarang diwujudkan dalam beragam pribahasa yang maknanya mengandung unsur persaudaraan, kerukunan, keharmonisan, kerja sama, persatuan, dan sebagainya.

Misalnya Pela Gandong, Bakubae dan Siwalima (Ambon, Maluku), Timbun Tanah (Poso), Munasah (Aceh), Tepo Seliro, Ora ono kamulyan tanpo seduluran, Mangan ora mangan kumpul (Jawa), Silih asih silih asuh (Jawa Barat), Bakar Batu (Papua), Satu Tungku Tiga Batu (Kabupaten Fak Fak Papuas Barat), Gebu Minang (Sumatera Barat), Tri Hita Karana (Bali), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Rupanya persatuan dan kerukunan sudah menjadi semboyan dan tertera pada lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila yaitu: “bhinneka tunggal ika” yang mengandung makna persatuan (id.wikipedia.org). Pun demikian tentang hidup rukun, damai  dan tentram sudah menjadi mimpi lama masyarakat yang hidup di seantero Nusantara. Seperti tertera pada semboyan “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo“ yang berarti: kekayaan alam yang berlimpah dan keadaan yang tenteram. 

Jauh sebelum dikenal Indonesia sebagai negara bangsa (nation state), persatuan dan kerukunan telah menjadi tema atau bahkan idealitas dari raja-raja yang berjaya di Indonesia, seperti pada zaman Kerajaan Sriwijaya yang dianggap Mohammad Yamin sebagai Negara Indonesia Pertama. Di Jawa muncul Mahapatih Gadjah Mada dengan Sumpah Palapa, yang mengusung tema negara kesatuan. Di lembaga pendidikan sejak sekolah dasar atau pesantren, guru mengajarkan murid-muridnya pribahasa “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

Isu persatuan dan kerukunan menjadi fokus utama perjuangan pasca munculnya organisasi pergerakan nasional baik di masa awal (1908-1920) dengan berdirinya organisasi pergerakan nasional, seperti: Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Dilanjutkan dengan berdirinya sejumlah organisasi politik seperti Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Parindra, Partindo. Selain juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan.

Babakan sejarah pergerakan bangsa yang tidak bisa diabaikan adalah pada saat kongres Pemuda Indonesia II, tanggal 27-28 Oktober 1928 dimana dengan gagah berani para pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia secara ekspisit mendeklarasikan Sumpah Pemuda tentang kesatuan Indonesia, yakni: satunya tanah air, satunya bangsa Indonesia dan satunya bahasa Indonesia.

Ilustrasi, Kongres Pemoeda II, tanggal 27 – 28 Oktober 1928. (sumber foto: http:sejarahri.com)

Setelah melalui proses perenungan dan pengkajian mendalam dari para pendiri bangsa (founding fathers), akhirnya persatuan dikristalisasi dan diinternalisasi menjadi falsafah dan ideologi bangsa, yakni: sila ketiga dasar negara Pancasila. Yang berarti nasionalisme,  patriotisme, menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan sebagainya. Menurut mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono (saat itu) yang juga dikenal sebagai pemikir cerdas tentang Pancasila, terdapat tiga tataran nilai dalam ideologi Pancasila, termasuk sila ketiga, yakni: nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis.

Pandangan hidup, praktik persatuan, kerukunan serta ideologi Pancasila kemudian membentuk jati diri setiap warga negara Indonesia dan menjadi identitas nasional (national identity) yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain, seperti: Amerika Serikat, Australia, Arab Saudi, Nigeria, dan sebagainya. Di samping, menjadi modal dasar masyarakat sekaligus tali perekat ikatan solidaritas masyarakat Indonesia yang pluralistik, baik dari sisi etnis, agama, ras, dalam pembangunan nasionalisme. Selanjutnya menjadi elan vital dan kekuatan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia untuk menghadapi berbagai tantangan pembangunan dalam berbagai aspeknya.

Ekspedisi pertama Belanda di bawah Cornelis de Houtman tiba di Banten pada 23 Juni 1596. (Foto: Tropenmuseum)

Penjajahan Fisik dan Non Fisik

Sepanjang sejarah perjalanan bangsa dari dahulu hingga sekarang, persatuan dan kerukunan mengalami banyak ujian, cobaan dan rintangan, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Hal ini mudah dimengerti. Sebab, jika dua kekuatan bangsa ini berhasil dilumpuhkan, bumi pertiwi akan mudah dilemahkan, bahkan ditaklukan. Itulah yang dengan cerdik dimanfaatkan dan dilakukan para penjajah, khususnya bangsa Belanda. Negeri kincir angin ini bercokol lama, yakni: sekitar 346 tahun atau hampir 3 setengah abad karena berhasil mencabik-cabik persatuan dan kerukunan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pada awalnya bangsa Belanda melalui para pedagangnya datang ke Indonesia untuk motif bisnis atau berdagang rempah-rempah. Namun karena keenakan mendapat untung besar, muncul motif kolonialisasi dengan dibentuknya Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai kongsi dagang di Batavia. Selanjutnya, memunculkan syahwat lebih besar lagi yakni menguasai secara keseluruhan (imperialisme) wilayah Indonesia dengan segala kekayaannya melakukan strategi penaklukan secara militer.

Menyadari pendudukan fisik saja tidak cukup menaklukkan bangsa Indonesia secara total, akhirnya dilakukan dengan strategi lain. Yakni: dengan menerapkan politik etis (ethische politiek) dan politik pecah-belah atau politik adu domba (devide et impera). Untuk sebagian strategi tersebut berhasil yang dibuktikan dengan terdapatnya segelintir orang Indonesia terkooptasi Belanda dan akhirnya mengalami demoralisasi dan krisis nasionalisme. Sebagian lagi gagal, bahkan justru makin mempersatukan tekad rakyat guna mengusir penjajah. Akhirnya pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Penjajahan secara fisik mungkin kini sudah berakhir, namun secara non fisik masih berlangsung bahkan cenderung mengalami eskalasi. Terutama sebagai dampak dari era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, serta industri yang sudah memasuki fase industri 4.0, yang dikuasai negara-negara maju. Problem seriusnya: Indonesia masih berada di halaman belakang (back yard) dari kemajuan tersebut yang akhirnya menjadikan negeri ini sasaran empuk masuknya berbagai produk asing. Selain  ada dampaknya positif dari sisi ekonomis, dampaknya negatifnya jauh lebih besar. Yakni: mengakibatkan munculnya materialisme, konsumerisme, dan hedonisme hingga krisis nasionalisme, patriotisme, persatuan, kerukunan, dan sebagainya.

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Foto di atas kejadian di sekitar Mall Citraland, Jakarta Barat. (sumber foto: kaskus.co.id)

Konflik dan Dampaknya

Dihadapkan kepada perkembangan era globalisasi dan kemajuan teknologi, bangsa Indonesia acapkali terlihat gagap. Ironisnya di dalam negeri sendiri tidak jarang mengalami konflik. Bahkan beberapa kali konflik tersebut mampu mengoyak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di antaranya kerusuhan bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) Mei (13-14 Mei) 1998 di Jakarta, Bandung dan Solo. Konflik antarpemeluk agama di Ambon, 1999-2004. Lalu konflik bernuansa etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, dan lain-lain yang menelan korban harta dan nyawa tidak sedikit.

Konflik juga sudah tidak terhitung jumlahnya sebagai akibat dari urusan perut, terutama karena perebutan lahan usaha, penguasaan ekonomi dan aset-aset negara maupun eksploitasi sumber daya alam oleh segelintir orang atau kelompok. Konflik tidak hanya melibatkan kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya, melainkan juga tidak jarang menghadapkan antara masyarakat dengan pengusaha, atau masyarakat dengan negara/aparat keamanan.

Sementara konflik bernuansa politik acapkali muncul, terutama saat dilangsungkannya Pilkada maupun Pemilu. Pada kasus Pilkada, yang paling terkenal adalah saat Pilkada DKI 2017. Pemicunya karena ‘penodaan’ Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 51 oleh Calon Gubernur (incumbent) DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok). Kasus itu berbuntut pada terjadinya penghadangan dan penolakan kampanye yang dilakukan oleh Ahok di sejumlah tempat. Diselingi dengan tidak kurang sebanyak 2.658 Alat Peraga Kampanye mengandung unsur provokatif dan menyudutkan Ahok. Lebih mengejutkan lagi, dalam catatan Achmad Fachrudin dalam buku “Geger Pilkada DKI 2017, Catatan dari Pinggir Bilik Suara” (2018:178), sejumlah spanduk bernuansa provokatif terpasang di halaman/pagar masjid dan pekuburan.

Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), kerukunan dan persatuan kembali terkoyak. Hal ini sebagai akibat terjadinya pembelahan masyarakat menjadi dua kubu, yakni pendukung Pasangan Calon Presiden Joko Widodo dan Calon Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amien (Nomor Urut 01) dan kubu pendukung Pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto dan Calon Wakil Presiden Salahuddin Sandiaga Uno (No. Urut 02). Pembelahan masyarakat ke dalam dua kubu/kutub besar tersebut berlangsung cukup lama dan mengancam disintegrasi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan sempat ditingkahi aksi kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang mengakibatkan sejumlah orang meninggal dunia, dan sebagian lagi luka parah.

Berbagai konflik tersebut telah membuat modal dasar bangsa berupa persatuan dan kerukunan yang berakar pada tradisi, budaya, pandangan hidup dan falsafah/ideologi bangsa Pancasila nyaris kehilangan elan vital dan daya magisnya sebagai instrumen perekat persatuan. Dampaknya, mengakibatkan kita kehilangan kesempatan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat. Lebih dari itu, mengakibatkan bangsa Indonesia harus tertinggal dari bangsa-bangsa yang sudah maju. Bahkan di level Asia Tenggara, perkembangan pembangunan Indeks Modal Manusia atau Human Capital Index (HCI) Indonesia tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, apalagi Singapura yang sudah lebih dulu melesat.

Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019). (sumber foto: dok sekretariat kabinet)

Belajar dari Pengalaman

Terdapat korelasi antara persatuan dan kerukunan dengan kemajuan suatu bangsa. Pada bangsa yang relatif bersatu dan rukun, mudah mencapai taraf kemajuan. Contohnya: Amerika Serikat, Jepang, Korea, Cina, untuk menyebut sejumlah negara. Kalaupun terjadi konflik, sifatnya sporadis dengan cepat dapat diatasi dengan tuntas. Persatuan dan kerukunan memberi kontribusi penting serta atmosfir kondusif pada bangsa-bangsa tersebut dalam melakukan dinamisasi, progresivitas dan akselerasi kreativitas serta inovasi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, industri, dan sebagainya.

Sebaliknya pada suatu bangsa yang secara terus-menerus mengalami krisis persatuan dan kerukunan, bangsa tersebut mengalami kekacauan dan bahkan kehancuran. Contoh teranyar adalah Venezuela. Akibat terjadi krisis kepemimpinan dan konflik horizontal, Venezuela yang sebelumnya dikenal bangsa kaya dengan minyak, kini rakyatnya dilanda kemiskinan parah dan kelaparan. Bahkan ribuan orang melarikan diri dari Venezuela setiap hari, dengan 3 juta orang yang tercatat sudah tinggal di luar negeri. Di Timur Tengah, sejak munculnya gerakan Arab Spring, menimbulkan perang saudara di Yaman, Suriah, dan Sudan. Tercatat setidaknya 85.000 anak mati karena kelaparan dan kekurangan gizi akibat perang.

Berkaca dari pengalaman sejumlah negara yang mengalami kemajuan maupun yang mengalami keterpurukan serta ditambah lagi pengalaman obyektif dan faktual pembangunan di Indonesia yang masih berjalan terseok-seok, tidak ada jalan lain bagi bangsa ini untuk selalu memuliakan dan merawat persatuan dan kerukunan. Dalam konteks inilah, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019) dan diikuti dengan pertemuan para elite lainnya, harus diapresiasi dan disikapi secara positif karena menunjukkan adanya indikasi itikad baik dan komitmen elite politik guna merajut kembali keindonesiaan yang sempat terkoyak akibat perbedaan pilihan politik di Pemilu 2019.

Namun demikian, agar pertemuan yang dilakukan para elite politik tersebut menjadi lebih substansial, positif, dan bermakna (meaningful), berkesinambungan dan tidak berhenti hanya pada tataran elite atau bersifat elitis, perlu dibumikan (grounded) hingga di level masyarakat tingkat akar rumput (grass root). Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan dan melaksanakan agenda bersama dalam pembangunan sumber daya manusia dengan berbagai bentuk kegiatan ekonomi produktif lainnya dalam semangat saling menghormati (mutual respect) dan saling menguntungkan (win-win solution).

(sumber foto: https://geotimes.co.id )

Transformasi Fundamental

Dewasa ini kebutuhan sangat mendesak dari bangsa Indonesia untuk mampu menjadikan tradisi, budaya, pandangan hidup (way of life), dan sila ketiga Pancasila (persatuan Indonesia) sebagai agenda strategis untuk dilakukan rekonstruksi, redesain, reaktualisasi, revitalisasi dan untuk menjawab berbagai tantangan serius dan aktual. Sementara pada level paradigmatik, dibutuhkan transformasi fundamental dengan cara menjadikan khasanah kekayaan dan ideologi Pancasila dari sesuatu yang cenderung masih menjadi mitos menjadi realitas; dari kecendrungan dogmatis menjadi akademis/ilmiah; dari statis menjadi lebih dinamis; dari tertutup menjadi lebih terbuka, dan sebagainya.

Pada akhirnya, sebagaimana ditulis Yudi Latif dalam buku “Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila” (2012:372): “negara persatuan Indonesia diharapkan mampu memberikan kebaikan kebaikan bersama bagi warganya, tanpa memandang siapa dan dari golongan, etnis, atau agama apa mereka. Usaha mewujudkan negara persatuan itu dapat diperkuat dengan budaya gotong royong dalam kehidupan masyarakat sipil dan politik dengan terus mengembangkan pendidikan kewargaan dan multikulturalisme yang dapat membangun rasa keadilan dan kebersamaan, dengan dilandasi prinsip-prinsip kehidupan publik yang lebih partisipatif dan non diskriminatif”.

Dengan cara demikian, maka bangsa Indonesia mempunyai kekuatan dari dalam (inner dynamics) yang sifatnya permanen dan langgeng dalam menghadapi berbagai tantangan dan problem masa kini maupun masa depan. Sebab, seperti dikatakan cendekiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid dalam buku “Doktrin, Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keagamaan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan” (1992:xx): “tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”. ***

(artikel ini diikutkan dalam Kompetisi Nasional Media Piala Presiden 2019 untuk kategori artikel/opini media cetak/ciber individu)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *