Connect with us

Feature

Lima Menit Lagi, Ah… Ah… Ah….

Published

on

Penulis (Nanang S) dengan latar belakang rombongan Jayakarta News di dalam gerbong kereta api Fajar Utama menuju Yogyakarta. (foto: dok jayakarta news)

JAYAKARTA NEWS – Judul di atas adalah lirik lagu “Lima Menit Lagi” yang dipopulerkan pedangdut Ine Sinthya. Dua bait pertama lagu itu, begini:

Lima menit lagi

Ah… ah… ah…

Lima menit lagi

Dia mau datang manjemputku

 

Lima menit lagi

Ah…ah…ah…

Lima menit lagi

Aduh aduh jadi salah tingkah

Ya, ini adalah kisah tentang waktu lima menit yang memacu jantung lebih cepat dari sekadar lomba lari seratus meter. Bahkan lebih dahsyat rasanya dibanding detik-detik jelang “menembak kekasih”.

Betapa tidak, jika kami tidak tiba di Stasiun Pasar Senen pukul 06.10, hampir pasti kami ketinggalan Kereta Fajar Utama jurusan Yogyakarta yang dijadwalkan berangkat tepat pukul 06.15 WIB. Itu artinya, kami gagal berangkat mengikuti acara “Jayakarta Goes to Jogja”, 1 – 4 Februari 2019. Berarti pula, pupus harapan bisa merayakan ulang tahun Jayakarta News ke-2, dibarengi rapat kerja dan berwisata di Yogya Istimewa.

Siapa itu kami? Jumlahnya tiga orang: Saya (Nanang), Herdi, dan Monang Sitohang. Saya dan Herdi tinggal di Jakarta, sementara Monang, adalah wartawan Jayakarta News di Medan, Sumatera Utara. Dia datang ke Jakarta khusus untuk bisa mengikuti gathering di Yogya. Jika sampai terlambat, kami bertiga tentu akan kecewa, apalagi Monang yang datang jauh dari Medan. Bisa nangis bombay dia…..

Setelah kami runut, peristiwa bermula dari malam sebelum keberangkatan. Semula, saya dan Herdi sedia berangkat dari rumah selepas shubuh. Jarak rumah kami di bilangan Jatibening ke Stasiun Senen sekitar 18 km. Perkiraan waktu tempuh sekitar 37 menit naik taksi online, sehingga cukup waktu jika kereta berangkat pukul 06.15.

Tetiba, di WA Group Jayakarta News tersiar postingan sejumlah teman yang memilih menginap di hotel melati dekat Stasiun Senen. Mereka umumnya yang tinggal lumayan jauh dari Senen. Dengan menyewa kamar bertarif Rp 110.000 per malam, bisa diisi dua orang pula, maka menjadi masuk akal jika pilihan menginap di dekat stasiun Senen itu mereka ambil.

Berfoto bersama di atas gerbong KA Fajar Utama, Pasar Senen – Yogyakarta. (foto: dok. jayakarta news)

Tanpa berpikir panjang, saya dan Herdi pun menyusul mereka, dengan maksud ikut menginap di hotel dekat stasiun, untuk dua alasan: Reuni lebih awal dengan sebagian teman, dan terhindar dari keterlambatan. Tiba di hotel sekitar pukul 23.00. Di hotel itu sudah ada Irawatii, Latifah, Agus S, dan Monang S. Beberapa jam kemudian datang Elty diantar anaknya, yang baru saja beres mengurus pencetakan tiket dan cancelation sejumlah tiket peserta yang batal berangkat, atau mengubah moda transportasi.

Di hotel, kami bertujuh ngopi sambil makan durian Medan oleh-oleh Monang dari Medan. Dua toples isi durian yang sudah dikupas dan terbungkus rapi kami santap ramai-ramai hingga tamu-tamu hotel yang lain menutup pintu kamar lantaran aroma durian yang menyengat. Kami hanya sanggup menghabiskan satu toples durian bawaan bang Monang. Agus saya lihat yang paling banyak makan durian.

Habis santap durian dan waktu semakin malam, perut terasa lapar. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Monang masih membawa satu bingkisan lagi: rendang daging. Sepakat kami beli nasi putih, dan memakannya lauk rendang daging Medan bawaan Monang. Selesai makan, giliran mata yang minta diantar ke tempat tidur.

Pagi-pagi setelah sholat subuh kami semua melakukan persiapan berangkat ke stasiun. Selesai mandi dan berpakaian rapi, kami membangunkan pegawai hotel untuk membukakan pintu pagar yang masih terkunci. Lantas kami menuju ke rumah saudara Latifah yang berjarak hanya 50 meter dari hotel kami menginap. Dan ternyata di sana sudah disiapkan sarapan pagi oleh kakak Latifah. Juga telah terhidang teh hangat. Jadilah kami sarapan dengan lauk telor dadar dan tumis kacang. Sisa sarapan, bahkan dibungkus dan bawakan sebagai bekal makan siang di atas kereta nanti.

Asyik sarapan dan minum teh, tak terasa waktu tinggal belasan menit lagi menuju jadwal keberangkatan kereta api. Agus, Elty, dan beberapa teman sudah lebih dulu bergegas ke stasiun untuk menyambut teman-teman yang datang dari berbagai penjuru. Menyambut mereka yang tidak menginap di hotel dekat stasiun.

Tinggal kami bertiga: saya (Nanang), Herdi, dan Monang yang berangkat belakangan, membawa barang-barang yang lain. Kami pesan taksi online. Celakanya, taksi online tak kunjung datang. Sementara waktu menyisakan 15 menit lagi ke jam keberangkatan. Belum hilang rasa stres, Agus di stasiun sana, sebentar-sebentar menelepon menanyakan keberadaan kami.

Saya meminta driver mempercepat laju kendaraan. Celaka! Beberapa ratus meter jelang pintu masuk Stasiun Pasar Senen, kendaraan stag tak bergerak. Bergerak satu meter, berhenti… gerak satu meter, berhenti lagi. Saya pikir, harus segera ambil langkah seribu. Ya, kami turun dari taksi online, dan jalan kaki seribu langkah sambil setengah berlari, membawa bawaan yang tidak sedikit.

Telepon genggam terus saja berdering-dering. Aku lihat di layar ponsel nama Agus lagi…. Agus lagi… Agus lagi…. Apa dia tidak tahu betapa stresnya kami bertiga? Apa tidak tahu betapa kami takut bercampur cemas kalau-kalau ketinggalan sepur? Apa tidak tahu kalau kami harus turun dari taksi online dan setengah berlari untuk bisa tiba tepat waktu?

Akhirnya, kami tiba di mulut pintu stasiun. Waktu menunjuk pukul 06.10. Ya, itu artinya lima menit sebelum petugas PPKA meniup peluit penanda keberangkatan kereta. Ya Tuhan, terima kasih telah memberi waktu lima menit itu. Kami bersyukur atas lima menit-Mu, di bulan Februari tanggal satu. (nanang s)

Masih sempat berfoto bersama sebelum masuk gerbong. (foto: dok jayakarta news)

Continue Reading
Advertisement
1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Catatan Tersisa di Puncak Kosakora - Jayakarta News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *