Connect with us

Global

Lebih dari 80.000 Anak-anak Yaman Meninggal Akibat Perang

Published

on

Anak laki-laki, yang kekurangan gizi, sedang ditimbang di rumah sakit di Sanaa. Foto: Reuters

Oleh: Leo Patty

Lebih dari  80.000 anak-anak diperkirakan sudah meninggal akibat kelaparan di Yaman, sejak 2015 lalu saat koalisi Arab Saudi mengintervensi perang saudara, jelas Save the Children. Kamis, 22 November 2018, kemarin. Sementara utusan khusus PBB tiba di Yaman untuk mengupayakan perundingan damai.

Sejauh ini, negara-nagara Barat mendesak diberlakukannya gencatan senjata dan perundingan damai segera diselenggarakan untuk mengakhiri konflik, yang menyebabkan krisis kemanusiaan dimana 8.4 juta orang sudah diambang kelaparan. Dikuatirkan konflik yang terus berlanjut akan memicu bencana kemanusian besar.

Save the Children menyatakan perkiraan konservatif, berdasarkan data PBB, memperlihatkan 84.700 anak-anak, yang menderita malnutrisi akut, telah meninggal dunia antara April 2015 sampai Oktober 2018.

“Kami terkejut bahwa ada sekitar 85.000 anak-anak di Yaman kemungkinan sudah meninggal akibat kelaparan hebat sejak perang berkecamuk. Untuk setiap anak yang terbunuh akibat peluru dan bom, belasan meninggal karena kelaparan dan penyakit dan sebenarnya kematian itu bisa dicegah,” dalam pernyataan tertulis Save the Children.

Perkiraan korban perang, yang tersedia, dari PBB adalah tahun 2016 dengan angka lebih dari 10.000 orang, sebagai akibat dari perang proxy antar Arab Saudi dengan Iran. PBB tidak menyediakan angka kematian akibat malnutrisi. Namun bulan lalu, lembaga dunia ini memperingatkan setengah populasi negeri itu, atau sekitar 14 juta, akan mengalami bencana kelaparan dan tergantung penuh kepada bantuan kemanusiaan.

Sementara itu, Komisi Palang Merah Internasional (ICRC) menyatakan tidak memiliki angka korban sipil akibat pertempuran dan kelaparan. Tapi menegaskan perang itu telah merengut banyak jiwa warga sipil.

“Apa yang kita lihat di pusat-pusat kesehatan dan berbagai tempat, dimanan kami bekerja, telah terjadi krisis kemanusiaan besar, dan bukan hanya malnutrisi,” jelas Carlos Batallas, ketua ICRC di Aden.

“Salah satu masalah, yang kami lihat sekarang ini, adalah vaksinasi tidak dilakukan dengan tepat waktu. Ketika ada ibu hamil yang tidak memperoleh perawatan sebelum melahirkan, ibu yang tidak bisa melahirkan di rumah sakit atau pusat-pusat kesehatan dengan perawat,” jelasnya.

‘Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), yang mengumpulkan data kekerasan di Yaman, menyatakan sekitar 57.000 orang telah meninggal akibat perang sejak awal 2016.

Koalisi Arab Saudi melakukan intervensi di Yaman sejak Maret 2015 untuk mengembalikan pemerintahan yang digulingkan oleh Houthis, 2014 lalu. Sejak berhasil merebut kota pelabuhan Aden, di bagian selatan, 2015 lalu, koalisi Arab Saudi mengalami hambatan dan memusatkan kekuatan militer pada upaya menguasai kota pelabuhan Hodeidah untuk melemahkan Houthi. Pelabuhan ini merupakan jalur pasokan utama pasukan Houthi.

Sejauh ini pertempuran di Hodeidah masih terus berlangsung, meski, minggu lalu, koalisi mengumumkan akan menghentikan operasi militer di wilayah itu. Beberapa hari kemudian, pihak Houthi menyatakan menghentikan serangan rudal ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Pertempuran di Hodeidah berlangsung malam hari, ketika kedua belah pihak ingin memperkuat posisi masing-masing sebelum konflik dikurangi. Lembaga amal Medecins Sans Frontieres mengatakan pertempuran terjadi di dekat rumah sakit, yang dioperasikan oleh lembaga ini. “Staf kami bisa mendengar ledakan-ledakan keras dan suara tembakan sangat dekat, setiap hari, disekitar rumah sakit Al-Salakhana, “ jelas manajer operasional.

Sumber militer pro-koalisi, Senin lalu, menyebutkan gencatan senjata di Hodeidah akan dimulai hanya jika Dewan Keamanan PBB meloloskan resolusi, yang disponsori Inggris, mengenai Yaman. Lembaga-lembaga bantuan mengkuatirkan serangan besar-besaran terhadap kota itu, yang selama ini jadi pintu masuk 80% kebutuhan pangan Yaman, akan mengakibatkan kelaparan meluas.

Sementara Utusan PBB Martin Griffiths tiba di Sanaa, ibukota Yaman, Rabu lalu, bertemu dengan para pemimpin Houthi untuk membahas perundingan damai, bulan depan, di Swedia. Pihak Houthi tidak menghadiri perundingan damai pada bulan September lalu. Kuwait menyatakan menyiapkan pesawat untuk para pihak untuk memastikan mereka hadir di Stockholm.

Griffiths akan menghadapi tantangan besar harus mengatasi ketidak-saling percaya pada kedua belah pihak. Draft resolusi DK PBB menyebutkan penghentian pertempuran di Hodeidah, menghentikan serangan di wilayah padat penduduk diseluruh Yaman dan mengakhiri serangan terhadap negara-negara di kawasan tersebut. Resolusi juga menyerukan untuk tidak menghambat arus barang komersial dan juga kemanusiaan, dan menyuntikkan dana besar dan cepat mata uang asing kedalam perekonomian melalui bank sentral.

“Kami berharap perundingan damai di Swedia bulan lalu akan menyepakati gencatan senjata, akan memberi upaya-upaya pengembangan saling percaya. Sehingga kami punya lebih banyak kemungkinan bagi lembaga kemanusiaan dan penduduk untuk memulai bergerak maju, untuk memulai kembali hidup normal,” ujar Batallas, ICRC.

Sumber informasi: reuters.com

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *