Connect with us

Feature

Kisah Pelarian Keluarga Osama – “Kami Ingin Hidup Normal”

Published

on

PADA tanggal 10 September 2001, para isteri Osama bin Laden diperintahkan menyiapkan pakaian satu koper tiap orang. Tidak seorangpun menjelaskan, hanya disebutkan suami mereka ingin memindahkan mereka dan anak-anak keluar dari Kandahar, Afghanistan. Sementara puteranya, yang sudah besar, bergabung bersama ayahnya dan saudara-saudara yang lain di lokasi tersembunyi. Anak laki-laki, yang ditinggalkan, baru berusia sembilan tahun dan dia terlihat takut pada suara senjata. Dia dan perempuan dan anak-anak lainnya dimasukkan kedalam sebuah bis tua buatan Soviet dan berjalan di jalan tanah pada rute Jalur Sutera.

Osama hanya berpesan, ketika mesin mati maka semua keluar dari bus.

Tiga hari kemudian, yang sama sekali tidak menyenangkan berkendaraan dengan bus tua tanpa AC. Mereka berhenti di luar kota Jalalabad, di (north-east) timur-laut Afghanistan, di samping benteng berdinding tanah setinggi empat meter dengan menara-menara penjagaan. Benteng ini adalah barak pelatihan al-Qaida berlokasi dekat desa dan Osama menamakannya Najm al-Jihad (Bintang Perang Suci). Benteng dikelilingi oleh tenda-tenda dengan pemandangan mirip berada di Bulan, karena kawasan yang kering dan berdebu. Anak ketiga Osama, Saad, menyebutnya sebagai Star Wars.  Di dalam benteng, terlihat tempat itu bertebaran kotak-kotak amunisi, makanan dan botol-botol kosong dimana-mana. Khairiah, salah satu isteri  Osama yang berperan sebagai pemimpin para perempuan, mengorganisasikan pembersihan benteng.

Di dalam benteng ada semacam rumah tempat tinggal mereka. Para perempuan menyiapkan tempat tidur, dengan selimut wool dan kasur busa tipis yang dibungkus dengan kain tua bekas baju. Mereka selalu memeriksa tempat tidur, karena ular dan kalajengking suka bersembunyi di tempat itu. Sedangkan kamar mandi terletak di luar rumah, yang dihubungkan dengan gang kecil. Selain itu, ada dapur seadanya dan di dalam dapur juga ada pompa air dan generator listrik. Para perempuan memasak di kompor tradisional Afghan ‘bukhar’ atau kompor terbuka. Sementara makanan terbaik diberikan kepada tiga ibu yang sedang menyusui. Suatu kondisi yang sangat bersahaja mengingat keluarga ini pernah hidup bergelimang kemewahan sebelumnya.

Saat di pelarian ini, Khadija (14 tahun),  puteri ketiga Osama, baru melahirkan. Dua tahun lalu, dia dan saudara tirinya, Fatima (12 tahun), dinikahkan kepada dua saudara berkebangsaan Saudi, yang berusia 30 tahun-an dan sudah beristeri dan punya anak. Para suami mereka juga pejuang mujahidin. Pada saat yang sama, Wafa, isteri putera Osama Saad bin Laden, juga mempunyai bayi. Dan juga isteri termuda Osama, Amal, baru melahirkan.

Para isteri Osama, yang karena alasan keagamaan berarti mereka tidak bisa berbicara langsung kepada para penjaga laki-laki mereka, berusaha memahami setiap berita apapun mengenai 9/11 (rangkaian serangan teroris di Amerika). Kejadian itu berlangsung ketika mereka sedang menuju Jalalabad. Pada bulan-bulan terakhir, di Kandahar terdengar isu-isu mengenai apa yang disebut sebagai “Operasi Pesawat”. Namun tidak seorangpun diluar orang dekat Osama mengetahui rencana detil operasi itu.

Tanpa keluarga laki-laki dewasa untuk melindungi mereka dan hanya para penjaga yang tidak bisa satu ruangan dengan mereka,  para isteri Osama diperintahkan untuk meledakkan diri mereka jika situasi jadi kritis. Bahkan Ladin, yang baru berusia sembilan tahun, mendapat tugas memandang ke udara mencari pesawat-pesawat jet musuh —- apalagi perang dengan Amerika tidak bisa dihindari lagi.

Pada malam hari, mereka tidur dibawah selimut bersama-sama dengan AK47 Kalashnikov dan beberapa granat sambil memikirkan keluarga dan teman yang ditinggalkan di kota-kota dan kapan mereka bisa bertemu kembali dengan suami dan putera-putera mereka.

***

Padahal belum lama berselang, para isteri Osama hidup bersama suami mereka di Tarnak Oila, sebuah benteng kuno di sebuah gurun dekat lapangan terbang Kandahar.  Di situ, para isteri mempunyai halaman cukup luas, yang ditembok, sehingga mreka bisa memelihara ayam dan kelinci. Kadang-kadang, saat tempat itu kosong dari para pria, mreka biasa berkumpul dan membuka cadar. Anak-anak juga ingat, mereka berkelahi memperebutkan konsol permainan Nintendo atau mendengarkan radio mencari stasiun yang menyiarkan lagu Madonna.

Namun pada masa itu ada pertentangan. Banyak anggota al-Qaida menyaktikan perdebatan sengit antara Osama dengan Omar, putranya yang masih remaja saat itu dan sebenarnya sedang dilatih untuk menggantikannya satu saat nanti. Postur Omar sangatlah mirip dengan ayahnya. Namun Omar tidak pernah setuju dengan obsesi ayahnya akan perang dan setelah dia mengetahui Operasi Pesawat, dia berketetapan meninggalkan ayahnya dan al-Qaida. Dia memohon ibunya, Najwa, untuk ikut serta. Tapi Najwa tidak pernah melanggar perintah suaminya, jadi Omar harus pergi sendiri. Belakangan, Omar mengatakan,“Jalan kekerasan ayah telah memisahkan kami selamanya.”

Namun pada akhir Agustus 2001, Najwa berubah. Dia mengingat kata-kata Omar, dia meminta kembali ke orang tuanya di Suriah — sebuah tindakan memberontak tak terduga dari perempuan yang mendampingi suaminya selama 26 tahun dan memberi 11 anak.

Sebenarnya Najwa tidak pernah bermimpi jadi isteri seorang Osama, yang dikenal dunia. Dia terkenal cantik dan hidup dengan kemewahan, dia adalah Ghanem, dari keluarga ternama di Suriah dan tinggal di daerah turisme Latakia, dimana para perempuan ber-bikini di pantai. Dia menikah dengan Osama tahun 1974, ketika dia baru berusia 16 tahun. Osama sendiri dikenal sebagai pemain sepakbola di universitasnya dan suka ngebut dengan mobil sport. Dia dilamar oleh putra ke 17 dari salah satu keluarga terkaya Arab Saudi, yang juga sepupunya. Dia tiba di Jeddah sebagai isteri Osama dan dia dengan enggan mengenakan cadar dan ‘niqab’, namun dibalik jubah hitamnya dia tetap mengenakan lipstik dan gaun perancang dunia.

Selama bertahun-tahun, permintaan Osama telah membuatnya lelah. Isteri saudara laki-lakinya mengingat Najwa sebagai perempuan yang murung, jemu, dan secara permanen hamil terus. “Dia tampak hampir selalu tidak terlihat,”ujar Carmen bin Laden, mantan isteri saudara tiri Osama, Yeslam.

Tidak pernah terpikirkan oleh Najwa  bahwa dia akan berada di rumah-rumah kecil kumuh di Kandahar, mengenakan ‘Burqa Afghan’, memasak dengan kompor sederhana dan menambal lubang-lubang peluru dengan kain wool untuk mencegah angin musim dingin masuk rumah. Belakangan dia mengatakan, Saya tidak pernah berhenti berdoa bahwa semua di dunia akan damai. Dan hidup kami mungkin akan kembali normal”

Ternyata bukan Operasi Pesawat yang meyakinkan Najwa untuk meninggalkan Osama. Ada juga pertanyaan mengenai isteri barunya. Osama mengambil beberapa isteri sebelumnya. Isteri keduanya tidak pernah mau berbicara dengan Najwa dan belakangan Osama menceraikannya. Namun isteri ketiga, Khairiah, adalah perempuan yang diusulkan Najwa. Sebagian anak yang dilahirkan Najwa mengalami cacat bawaan karena orang tua mereka sepupu langsung. Dua anaknya menderita hydrocephalus (air di otak) dan anak ketiga, Saad, austik. Namun Osama menolak perawatan medis, dia lebih mengandalkan pengobatan alternative dan doa.

Najwa pernah memasukkan anak-anaknya di klinik di Jeddah. Di klinik ini dia bertemu Khairiah, psikolog anak, tujuh tahun lebih tua dari Osama. Dan Osama ingin punya anak banyak dan Najwa mengusulkan Khairiah untuk dinikahi dan dia juga bisa membantu pendidikan anak-anak. Osama merasa itu sangat baik.

Khairiah akhirnya melahirkan putra Osama, Hamzah, yang mewarisi pandangan religius ayahnya. Khairiah juga berperan sebagai ‘pemimpin’ para perempuan dan anak-anak di keluarga besar Osama. Di ruangan Khairiah di Kandahar semua berkumpul dan menyelesaikan permasalahan antar mereka, berdiskusi soal perubahan yang terjadi, atau melobi untuk mendapat tambahan jatah beras, obat, atau buku sekolah.

 

Foto pasport istri termuda Osama bin Laden, Amal Ahmed Al Sadah, yang dipublikasikan surat kabar Pakistan, The News.

Tidak seperti Najwa, Khairiah adalah penganut Islam yang taat. Dia menikah tahun 1985, ketika itu Osama sudah ada di jalan jihad. Isteri keempat Osama, Seham, juga sangat religius, mengklaim dirinya keturunan nabi dan memperoleh gelar doktor dari Universitas Medina. Dia bekerja sebagai guru sebelum menikah dengan Osama, tahun 1987, dan ingin mendapat anak sebanyak-banyaknya. Sebelum 9/11, rumah Seham di Kandahar juga berfungsi sebagai ruang kelas keluarga, lengkap dengan papan tulis dan lembar-lembar ulangan yang dibeli di pasar. Anak-anak mengingat kadang-kadang Osama menginterupsi dengan melakukan ulangan matematika dan bahasa Inggris.

Osama berharap semua anak-anaknya mengambil peranan dalam jihad. Mereka tidak merayakan ulang tahun, tapi anak laki-laki terlihat direkam dengan memegang senjata atau mengunjungi wilayah pertempuran. Anak-anak perempuan dinikahkan beberapa saat setelah melewati pubertas kepada para pejuang mujahidin, yang usianya dua kali lipat dari mereka, dengan tujuan memperluas pengaruh al-Qaida.

Hanya Najwa yang berjuang untuk mengurangi nuansa kekerasan terhadap anak-anak. Mereka mengerumuninya dengan harapan mendapat kudapan dan terutama radio, dimana mereka mendengar lagu-lagu pop Amerika, memakan spaghetti Bolognese.

Ketika Osama memutuskan menikahi Amal al-Sadeh, yang baru berusia 18 tahun berasal dari Yaman, pada tahun 2000, memicu keluarga besar itu jadi berantakan. Sesaat sebelum 9/11, Amal melahirkan seorang puteri. Najwa pun keluar membawa anaknya yang paling kecil dan seorang putera, sudah dewasa tapi kecacatannya telah membuatnya tergantung kepada Najwa. Ketika Najwa menuju Suriah dia melihat keluarga besar itu lenyap.

“Hati saya hancur melihat anak-anak saya dikejauhan,” ujar Najwa. Khairiah dan Seham juga Amal tetap tinggal.

Kemudian 9/11, semua jadi pelarian….

Bom berjatuhan di seluruh Jalalabad pada November 2001, ketika itu Osama mendadak mendatangi benteng tempat tinggal keluarganya. Khairiah dan Seham sangat senang dan mengucapkan doa syukur. Tapi ini bukan kunjungan keluarga seperti biasanya. Osama langsung memerintahkan mereka segera mengisi koper-koper dengan pakaian. Pasukan AS dan sekutu Afghanistan-nya sedang bergerak maju kearahnya. Karena itu, Osama bergerak ke pertanian Zaitun miliknya di Lembah Melawa, pintu masuk ke Tora Bora, basisnya di kawasan pegunungan timur laut (north-eastern) Aghanistan. Hanya Puteranya, Othman dan Mohammed yang ikut dia. Sedangkan Hamzah, Khalid, dan Ladin diharapkan menjaga anggota keluarga perempuan dan anak-anak yang lebih muda. Saad, sebagai anggota keluarga tertua, bertindak sebagai kepala konvoi keluarga besar ini, yang juga termasuk menantu dan cucu Osama.

Osama berangkat dengan memberikan sajadah kepada setiap anak laki-lakinya dan mendorong mereka tetap tabah. Dia meninggalkan koper-koper berisi pakaian dan koin emas. Keluarganya, berpakaian tradisional, berangkat menembus malam dan mencoba memasuki Pakistan dari sebuah pintu perbatasan terpencil. Mereka menggunakan dokumen-dokumen Sudan, yang diberikan pemerintah Sudan ketika mereka tinggal di sana tahun 1990-an. Sementara paspor-paspor Saudi dimasukkan kedalam amplop coklat dan disembunyikan.

***

Pada Desember 2001, perang dengan Amerika meliputi seluruh Afghanistan. Osama menghilang, terakhir terlihat sedang bertahan terhadap pemboman besar-besaran di Tora Bora. Amerika berketetapan menghancurkan al-Qaida dan menyingkirkan Taliban dari tampuk kekuasaan.  Jadi siapapun yang berkaitan dengan Osama atau gerakannya jadi sasaran. Keluarga Osama, bersama ratusan petempur dan keluarganya, telah mencapai Pakistan. Namun Pakistan, setelah menandatangani jadi sekutu Presiden Bush dalam perang lawan terror, bukanlah tempat aman. Al-Qaida sangat membutuhkan tempat sembunyi baru, yang aman dan bisa di akses dengan mudah.

Keluarga Osama berhasil selamat dari sergapan di perbatasan Pakistan dan mencapai Karachi. Di kota ini, mereka disambut Khalid Sheikh Mohammed, otak dibalik 9/11. Tapi dia sebenarnya tidak tertarik jadi penjaga. Dengan keberhasilan besarnya, dia sedang sibuk menyusun rencana ‘spektakuler’ lain. Dia menyerahkan keluarga itu kepada sisa-sisa Dewan Syura al-Qaida dan terutama kepada ahli agama, Mahfouz Ibn El Waleed, yang selama ini berperan sebagai penasehat spiritual Osama dan teman dekatnya.

 

Paspor Hamzah, anak Osama bin Laden yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi

Mahfouz berdebat dengan koleganya selama berhari-hari tentang apa yang harus dilakukan untuk keluarga Osama. Sementara agen CIA mengintip dimana-mana. Helikopter-helikopter AS juga berterbangan di perbasaran Pakistan. Dia perlu tempat lain yang benar-benar tidak bisa dimasuki Amerika. Mereka merupakan keluarga yang paling dicara di dunia dan relatif mudah terlihat; tubuh tinggi, Arab, dan beberapa sangat mirip dengan Osama, serta tidak bisa berbicara bahasa setempat.

Pada akhirnya, mereka mencapai kesimpulan yang unik: kirim isteri dan anak-anak Osama bin Laden, pemimpin milisi radikal Sunni, untuk mendapat suaka di Iran, pusat kekuasaan Shiah.

Memilih percaya kepada Iran tampaknya, di permukaan, merupakan rencana konyol. Rejim itu tidak bisa diperkirakan dan selalu mencari keuntungan sendiri. Namun Iran berbatasan dengan Pakistan dan Afghanistan serta tidak punya hubungan diplomatik dengan AS sejak revolusi 1979 lalu. Tehran juga terkenal mendukung pihak manapun yang menentang musuh bebuyutannya; Amerika dan Israel, apalagi ada sejarah kontak rahasia antara Tehran dengan al-Qaida. Memberi tempat aman bagi al-Qaida pada situasi rawan ini bisa memperkuat posisi regional Iran dan berpontensi tidak jadi sasaran teroris di masa mendatang.

Januari 2002, George Bush memasukkan Iran kedalam daftar ‘poros kejahatan’. Setelah itu, pasukan khusus Iran, Quds, sebuah devisi rahasia dari Penjaga Revolusi, dipimpin oleh Mayor Jenderal Qassem Suleimani, memberi bantuan kepada al-Qaida. Mereka membangun kamp pengungsi di wilayah dekat perbatasan Afghanistan. Langsung saja, ratusan keluarga datang dengan bus, taksi, jalan kaki, atau kuda. Penjaga Taliban melarang pekerja bantuan asing, reporter, dan pengunjung lain yang tidak diinginkan memasuki kamp. Sementara itu, pejabat mengawal keluarga-keluarga (petinggi al-Qaida) ke Tehran.

Diantara keluarga-keluarga petinggi al-Qaida yang ke Tehran, Khairiah dan kelompok anak Osama ikut ke ibukota Iran itu. Sedangkan Seham dan anak-anaknya memilih tetap tinggal di Pakistan. Di Iran mereka dipimpin oleh Saif al-Adel, komandan militer al-Qaida, ke sebuah ladang pertanian di timur Zabol.

Anak dan cucu Osama di Abbottabad, Pakistan.

Saad, yang selalu berhati-hati, dengan bimbang bertanya kepada Saif tentang keamanan mereka. Dia ingin pulang ke neneknya, ibu Osama bernama Allia yang tinggal di kompleks perumahan bin Laden di Jeddah. Tapi Saif mengingatkan Saad bahwa kewarga-negaraan Saudi mereka sudah lama dicabut, apalagi Riyadh sangat dekat dengan pemerintahan Bush sehingga tidak mungkin kembali ke Saudi. Seseorang mengusulkan mengambil jalur darat ke Turki dan memasuki Suriah. Tapi Saif menyatakan menurut laporan dari pers Arab, badan intelejen Presiden Bashar al-Assad bekerjasama dengan AS. Saif mengusulkan kepada semua orang untuk tetap tinggal dan tidak menonjolkan kehadirannya, yang juga berarti tidak ada hubungan telepon.

Nasehat itu tidak menyenangkan Hamzah, yang masih membawa sajadah pemberian ayahnya di pertanian Zaitun di Lembah Melawa. Momen itu begitu meyakitkan dia sehingga, belakangan, dia menulis surat yang juga berisi dia “Mengingat semua senyuman ayah kepada saya, tiap kata yang dikatakannya dan tiap tatapannya kepada saya.”

Ketika Saif menyatakan kepada keluarga bahwa dia bisa menghubungi Osama, Hamzah menulis surat kepadanya — surat ini diumumkan oleh al-Qaida. Hamzah, yang terlahir dalam suasana perang dan tidak pernah mengenal damai dan sekarang dia di Iran, dia tidak melihat ada masa depan. Dalam suratnya dia mengatakan, “Katakan ayah, apa yang bisa dilakukan mengenai apa yang saya lihat. Apa yang terjadi terhadap kami,” permohonannya pada tahun 2002 lalu.

Osama, beberapa minggu kemudian menjawab dari tempat persembunyiannya, “Cukuplah untuk mengatakan saya sangat sedih. Maafkan saya, anakku, tapi saya hanya bisa melihat jalan terjal ke depan.” Dia juga memberi pesan kepada seluruh keluarga, meski mereka sudah ada di Iran tetap masih tidak aman. “Keamanan telah hilang, tapi bahaya tetap mengancam.”

Beberapa saat kemudian, terjadi razia dan penangkapan brutal di Iran. Keluarga Osama, Saif al-Adel, Mahfouz, dan petinggi al-Qaida lainnya ditangkap agen pemerintah Iran dan secara rahasia dipindahkan ke sebuah fasilitas pelatihan Quds di Tehran. Tempat ini, yang juga artinya penjara,  dekat dengan bekas istana Shah’s Sa’dabad, di utara kota. Lokasi ini secara resmi disebut Universitas Imam Ali untuk Perwira Angkatan Darat. Mereka ditempatkan di barak-barak dengan kamar-kamar seperti kotak-kotak sel dengan bagian tengahnya ada gang. Di halaman hanya ada gang dan lapangan, yang dipagari dengan tembok beton tiga meter lengkap dengan kawat berduri di atasnya. Renovasi dan perbaikan barak-barak itu sedang dilakukan, yang memperlihatkan keputusan memindahkan mereka diambil sangat tergesa-gesa. Petugas Iran menyebutnya, “Blok 100”, barak-barak yang tidak punya jendela dan hanya ada celah kecil di tembok bagian atas agar ada udara segar masuk. “Mungkin ini tempat Iran menyembunyikan bom nuklirnya,” kata seseorang yang baru tiba, menurut cerita Mahfouz.

Keluarga Bin Laden menunggu dari hari ke hari jadi minggu ke minggu, masa menunggu berbulan-bulan tanpa kabar ini membuat kekuatiran tumbuh. Kekuatiran mereka memang beralasan; pemerintahan sipil di Tehran mendapati ada keluarga petinggi al-Qaida yang secara rahasia dimasukkan ke Iran. Mereka sedang mendesak Mayor Jenderal Suleiman untuk menyerahkan keluarga Osama dan petinggi al-Qaida lainnya ke Washington DC dengan ‘bayaran’ pengakuan diplomatik, dan pengurangan sanksi-sanksi. Hanya ada satu halangan, obsesi Presiden Bush dan Dick Cheney untuk menggulingkan Saddam Hussein. Amerika sedang memusatkan perhatian pada invasi ke Irak, dengan menyatakan Baghdad mendukung al-Qaida. Karena itu, Gedung Putih menolak usulan Iran dan dengan itu juga mengesampingkan kesempatan untuk menahan para petinggi militer dan keluarga al-Qaida, termasuk keluarga Osama. Bisa dibayangkan, jika usulan Tehran diterima, maka al-Qaida akan jadi sangat lemah.

Pada tahun 2007, keluarga Osama di Iran makin bertambah dengan kelahiran beberapa cucu dan mereka juga telah direlokasi ke penjara lain berupa kompleks bangunan, yang disebut blok 300. Selalu ada ketegangan dengan tuan rumah mereka, kondisi buruk sanitasi dan makanan juga telah mengambil korban. Saad (28 tahun), saat itu telah mempunyai tiga anak, seorang putera diberinya nama Osama dan dua gadis kecil. Beberapa bulan sebelumnya, isterinya Wafa, melihat seorang puteranya meninggal karena pihak Iran menolak memasukkannya ke rumah sakit. Salah satu isteri anggota Dewan Shura juga meninggal karena permintaan layanan kesehatannya ditolak. Khairiah sendiri menderita masalah gigi yang berat dan sudah berjalan dengan tongkat.

Ketika ketegangan mencapai puncaknya, Mahfouz, yang tinggal bersama keluarga Osama, berjuang untuk mendapat konsesi. Kemudian, keluarga Osama memperoleh ‘liburan’ dengan kawalan pihak Iran, mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Tehran —- bercampur dengan turis-turis Amerika. Sesekali anak-anak Osama dan anggota Dewan Shura dibawa ke kompleks olah raga Elahieh. Saif al-Adel (kepalanya dihargai 55 juta dolar) berenang besama para diplomat asing.

‘Pertemanan’ sementara itu mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2007 (Ramadan), ketika Iran mengundang seluruh ‘pengungsi’ al-Qaida berbuka bersama di sebuah restoran besar di hotel bintang lima di Tehran. Putra Osama mengundang balik para pejabat Iran untuk berbuka di tempat mereka. Kemudian hari jumat berikutnya, putra-putra Osama dijemput, di blok 300, menuju Universitas Tehran dan disambut disana oleh para pejabat Iran melewati ruang sembahyang besar untuk memasuki ruang kecil, yang diperlengkapi karpet sembahyang.

Sambutan meriah terdengar di luar ruang kecil itu dan pada saat yang sama televisi memperlihatkan para jamaah, termasuk alim ulama dan para pejabat, berdiri menyambut pemimpin Shiah, Ayatollah Ali Khamenei. Dan sembahyang Jumat ini disiarkan ke seluruh dunia melalui televisi Iran. Para putra Osama berada di ruang kecil di belakang dan jadi tamu pribadi Khamenei. Sementara di luar, para laki-laki berdiri dan berteriak, “Marg Bar Amrika” — Amerika mati!

***

Namun beberapa saat kemudian, hubungan tamu al-Qaida dan tuan rumah Iran kembali memburuk. Kali ini, sumber masalah adalah Suleiman Abu Ghaith — berkebangsaan Kuwait dan sempat jadi juru bicara Osama setelah 9/11. Dia juga menikahi puteri tertua Osama, Fatima.  Kewarga-negaraan Abu Ghaith sudah dicabut dan saat dalam tahanan dia melakukan mogok makan. Dia juga menulis buku ‘penyesalan’, yang berisi  penolakan Jihad Osama.

Soal Abu Ghaith kemudian membuat Iran marah. Namun ketika para penjaga Iran mencoba menahan dia, kerusuhan di penjara, blok 300,  meledak. Anggota al-Qaida, dari Mesir dan Libya, merobek seprei dan merusak tempat tidur kayu serta membakarnya. Mereka juga melempar bom Molotov dan mencoret pesan anti-Shiah di dinding penjara. Mahfouz menceritakan dia melihat cucu-cucu Osama melempari para penjaga dengan berteriak, “Kami telah diculik dan dimasukkan kedalam penjara rahasia. Penahanan kami ini melanggar hukum internasional.” Mereka lebih suka dituntut di pengadilan daripada hidup seperti itu.

Benteng Bintang Perang Suci di Jalalabad, tempat Osama memindahkan keluarganya pada September 2001

 

Hamzah bersumpah akan berjihad. Ibunya, Khairiah, menyatakan dia akan mendampingi suaminya. Sementara puteri Osama, Iman (17 tahun), berharap bisa berkumpul kembali dengan ibunya Najwa di Suriah. Namun pertama-tama seseorang harus melarikan diri dan menyampaikan aspirasi mereka. Meski ada pembicaraan bernada keras, mereka semua sebenarnya jadi takut akan dunia luar.

Sesaat setelah Fatima mengetahui Khadija, saudara perempuan kesayangannya, meninggal di Waziristan, Pakistan, karena melahirkan kembar, dan satu bayinya juga meninggal dan satu bayi perempuan sedang kritis. Fatima sangat terpukul dan tekanan kuat sangat terasa di tempat keluarga Osama berada.

Bulan Mei 2008, pejabat-pejabat Iran datang dengan misi persahabatan. Mereka membawa permen dan kue-kue. Saad bin Laden melihat gerbang dibiarkan terbuka. Dia berbiacara cepat dalam bahasa Arab untuk memerintahkan sepupu dan keponakannya lari. Mereka berlari ke pintu gerbang, yang mengejutkan para penjata Quds, dan tidak ingin menembaki anak-anak. Beberapa saat kemudian, para ibu berganung dengan mereka dengan duduk di pintu gerbang utama, dimana mereka bisa melihat penduduk setempat berlalu-lalang.

Mahfuz bercerita para perempuan beteriak, “Kami ingin bebas, kami ingin hak azasi manusia,” dan tetap duduk di pintu gerbang selama 36 jam. Dihadapkan dengan ‘tahanan’ al-Qaida, sangat rahasia, yang berteriak minta tolong, Mayjen Suleimani mengirim es krim untuk anak-anak dan makanan enak-enak untuk orang dewasanya. Semua makanan disajikan di pintu gerbang. Tapi tak seorangpun bergeming. Akhirnya, Iran mengirim tentara, mengenakan topeng ski dan berpakaian hitam, memaksa mereka masuk kembali ke Blok 300.

Beberapa hari kemudian, keluarga Osama diberi perintah untuk bersiap pergi dan mengepak pakaian kedalam koper-koper. Iran sudah tidak mampu lagi mengontrol ‘tamu’ al-Qaida, karena itu mereka harus pergi. Mereka dibawa ke gurun pasir, di kota bersejarah Yazd. Rumah-rumah baru, atau tepatnya penjara baru,  mereka dikelilingi oleh tembok batu bata.

Para penjaga Iran berada di ruangan dekat pintu gerbang utama. Mereka menegaskan, tidak ada lagi jalan-jalan ke luar —- keistimewaan itu telah berakhir. Namun anggota keluarga berjalan-jalan di dalam kompleks dan menemukan tidak ada kamera keamanan di belakang. Hamzah menyatakan siap melompat ke luar. Tapi Khairiah melarangnya. Hamzah, yang baru berusia 19 tahun, dipandang terlalu muda. Apalagi isterinya, Asma, baru saja melahirkan seorang puteri. Saad, yang hadir pada percakapan itu dan anak tertua, menyatakan dia akan melakukannya. Anggota keluarga lain menggeleng dengan rasa tidak percaya — dia tidak akan selamat. Namun malam itu, Saad memanjat dan melompat dari tembok serta berjalan kea rah gurun pasir. Dia menyatakan akan menemukan ayahnya di Pakistan dan menolong mereka semua.

Putera Osama bin Laden, Hamzah, yang sudah dinyatakan sebagai teroris global oleh AS

Setelah kaburnya Saad diketahui. Keluarga Osama dikembalikan ke Tehran, dimana mereka menemukan berada di tempat tahanan berbeda di tengah kompleks pasukan Quds. Di tempat ini setiap keluarga memperoleh satu apartemen dan ada juga sekolah, masjid, lapangan sepak bola, bahkan kolam renang. Mereka menyebut tempat itu sebagai ‘Kompleks Turis’. Namun dengan tembok tinggi dan sensor-sensor gerak, ini lebih dari sekedar penjara modern dan dari kamar mereka bisa mendengar latihan-latihan pasukan Quds.

Di akhir bulan pertama, beberapa putra Osama ditawari untuk melakukan hubungan telepon.  Mereka diselundupkan ke perbatasan Afghanistan dan diberikan telepon satelit Thuraya  — lokasi dan telepon dirancang untuk membingungkan pihak Amerika yang memantaunya — dan mereka diperintahkan untuk tidak mengungkapkan posisi mereka. Mereka berhasil menghubungi Omar bin Laden, putra Osama yang meninggalkan Afghanistan sebelum 9/11 dan tinggal di Qatar bersama Zaina, isterinya yang berasal dari Inggris. Selama bertahun-tahun, Omar dan ibunya, Najwa, menulis kepada Palang Merah Internasional dan PBB untuk menemukan keluarga mereka. Sekarang, mendadak mereka mendapat telepon dari gurun pasir. Omar berjanji akan menolong.

Setelah hubungan telepon, mereka kembali ke Tehran dan sangat senang. Namun datang kabar dari Pakistan, Saad bin Laden meninggal —- terbunuh dalam serangan drone di Waziristan. Malam itu, keluarga Osama berkumpul dan mereka sangat yakin Saad telah bergabung dengan ayahnya, dan sekarang mereka merasa putus asa.

***

On 21 November 2009, Mahfouz was deep into his late night Qur’anic reading when he heard a knock at the door. He opened it to find Iman, Osama’s daughter, now 18, requesting to see his daughter Khadija, her best friend. When they were alone, Iman took off a gold ring and handed it to her. “This was a gift from my father but now it’s yours,” Iman said, explaining that something was about to happen that would “hit the compound like an earthquake”.

Pada tanggal 21 November 2009, Mahfouz, tengah malam,  sedang membaca Al-Quran ketika dia mendengar ketokan di pintu. Dia membukanya dan Iman (18 tahun), putri Osama, meminta agar dia bertemu dengan Khadija, puterinya, sahabatnya.  Ketika mereka berbincang berdua, Iman mencopot cincin emas dan memberikannya kepada Khadija. “Cincin ini pemberian ayahku tapi sekarang jadi milikmu,” kata Iman dan dia menjelaskan akan ada kejadian yang membuat tempat penahanan mereka seperti dihantam gempa bumi besar.

Esoknya, para perempuan al-Qaida berkumpul di lapangan untuk melakukan belanja Eid. Iman berbincang-bincang dengan teman-temannya dan duduk bersama Khadija di bus, yang membawa mereka ke Shahvand sebuah supermarket bergaya barat di Lapangan Argentina dan selalu dipenuhi oleh para diplomat.

Ketika Khairiah dan Fatima bin Laden mengisi troli mereka, sementara anak-anak mengikuti sambil meminta permen. Iman menarik Khadija memasuki bagian mainan anak-anak. Bukankah mereka terlalu tua, tanya Khadija. Iman mengambil boneka bayi dan mengeluarkan pakaian, yang dia ambil dai bagian lain di mal, menanggalkan jubah (abaya) dan cadarnya (niqab) serta mengenakan celana jeans dan memakai hijab warna-warni dengan gaya Iran. Kemudian, dia membungkus boneka dengan selimut, seakan-akan itu bayi. Dia memeluk sahabatnya, setelah itu berlari. “Apa yang kamu lakukan?”. “Kelihatannya apa?” Jawab Iman, sebelum dia menghilang di keramaian.

Beberapa saat kemudian, para penjaga Iran menyadari Iman telah hilang, langsung agen-agen intel menyapu seluruh mal dan Lapangan Argentina itu. Namun Iman telah hilang. Dia meminjam telepon dari seorang perempuan dan menelepon kakak tertuanya, Abdullah bin Laden, yang sudah jadi pengusaha di Jeddah dan menolak jihad ayahnya sejak 1995 lalu. Abdullah tidak percaya bahwa dia berbicara dengan adiknya, yang disangkanya sudah mati. Kemudian, dia memerintahkan Iman lari ke Kedutaan Arab Saudi dan dia akan menelepon kedutaan.

Di Kompleks Turis, tempat penahanan keluarga Osama, semua orang duduk dengan diam. Mereka terlalu takut untuk berharap. Selama tiga hari tidak ada kabar apapun. Kemudian, ketika Mahfouz dan keluarganya menonton televisi kabel ada teks dibagian bawah layar, yang biasanya berisi iklan atau informasi lain, betulisan lain. Ada kabar, Iman baik-baik saja.

Iman berkumpul kembali dengan ibunya, Najwa, di Suriah pada awal 2010, setelah selama 100 hari tinggal di Kedutaan Arab Saudi di Tehran. Sekarang ini, dia tinggal di Jeddah bersama beberapa anggota keluarga lainnya, termasuk Fatima dan ibunya. Najwa sering ke Qatar untuk bertemu anggota keluarga lainnya, termasuk Omar dan Ladin.

Pada akhir 2010, Khairiah dan Hamzah dibebaskan oleh Iran dan berangkat untuk bergabung dengan Osama di Pakistan. Khairiah bersama-sama dengan suaminya ketika terbunuh dalam serangan AS di Abbottabad, bulan Mei 2011. Dia selamat bersama-sama dengan Hamzah, yang sekarang jadi tokoh pemimpin al-Qaida. Awal tahun 2017, AS menyatakan dia sebagai teroris global. Penyergapan 2011 juga menewaskan Khalid, putra Osama dari Seham.

Setelah setahun ditahan di Pakistan, Khairiah, Seham dan Amal, yang menyaksikan pembunuhan suami mereka, di deportasi ke Arab Saudi bersama dengan 11 anak dan cucu. Sekarang, mereka tinggal di sebuah perumahan di luar Jeddah.

Mahfouz, yang melihat berita kematian Osama dari Kompleks Turis, akhirnya berhasil melarikan diri dari Iran pada tahun 2012 dan kembali ke Mauritania. ***

 

 

Tulisan diatas berasal dari para anggota keluaga, yang diwawancarai dengan anomim, dan anggota senior al-Qaida, yang selama ini belum pernah berbicara, mengungkap kehidupan keluarga besar Osama berbulan-bulan dan tahunan setelah 9/11.

Buku Adrian Levy – Cathy Scoot berjudul: The Exile: The Flight of OsamaBin Laden.

Sumber informasi dari: theguardian.com tulisan Adrian Levy

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *