Connect with us

Feature

 “Kembul Sewu Dulur”, Ritual di Simpang Sungai

Published

on

 

Bambang Noorsinggih memimpin ritual di “tempuran” sungai, “Mantram Pamerti Adat Kembul Sewu Duwur”. (ist)

Pelaku dan pelestari budaya Jawa asal Yogyakarta, Bambang Noorsinggih bersama penggiat budaya lain, tampak menapaki jalan menuju ke arah sungai. Warga Desa Pandoworejo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta turut dari belakang. Hari itu, Rabu (7/11/2018), Bambang memimpin acara sastra-mantra bertajuk “Mantram Pamerti Adat Kembul Sewu Dulur”.

Ritual itu diselenggarakan setiap bulan Sapar (bulan Jawa), hari Rabu Pungkasan (Rabu Legi/Buda Manis). Upacara dilakukan di tempuran (pertemuan sungai), yakni sungai Ian dan Sungai Ngguntur. “Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun…, kami hanya berusaha untuk melestarikan,” ujar Bambang yang juga penulis buku-buku berbahasa Jawa itu.

Menurut Bambang, acara itu dimaksudkan untuk memule (menghormati) leluhur Mbah Bei Kayangan dan pengikutnya. Dikisahkan, Bei Kayangan adalah abdi dalem Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Suatu hari, Bei Kayangan berkelana disertai para pengikut setia yang bernama Kyai Dira dan Kyai Somaita.

Bambang Noorsinggih (ikat kepala putih) bersama teman budayawan Jawa lain, sebelum memulai ritual. (ist)

Tiba di tempat itu, Bei Kayangan mendirikan sebuah dusun baru. Untuk mencukupi kebutuhan air, terutama ketika musim kemarau tiba, Bei Kayangan pun membuat bendungan. Begitulah, Bei Kayangan dan pengikut, kemudian berdiam dan beranak-pinak di desa itu. Setelah Bei Kayangan moksa (wafat), bendungan itu diberi nama “Bendungan Kayangan”.

Ihwal mengapa ritual itu disebut upacara “Rebo Pungkasan”? Bambang menuturkan, berdasar perhitungan mangsa (perhitungan kalender Jawa), bulan Sapar parti jatuh di mangsa ketiga (kemarau). Karenanya, Bei Kayangan membuat bendungan. Usai membuat bendungan, dilakukanlah ritual memuji syukur kepada Tuhan dengan cara kenduri, makan bersama. “Karena itu, acara Rebo Pungkasan diikuti makan bersama itu disebut ‘Kembul Sewu Duwur’,” tutur Bambang.

Adapun sajian kenduri, di antaranya bothok lele, ikan mas panggang, dan nasi golong tanpa garam. Ketiga jenis makanan itulah yang dipercaya sebagai makanan kesukaan Bei Kayangan. Tapi tidak hanya itu. Dalam sajian kenduri juga tampak gudhangan dan ingkung ayam.

Rangkaian ritual “Mantram Pamerti Adat Kembul Sewu Dulur”. (ist)

Ihwal bothok lele, menurut Bambang, dibuat dengan cara memotong-motong ikan lele menjadi beberapa bagian. Setelah dibumbui, kemudian dibungkus daun pisang, dan dikukus. Semua itu ada maknanya. Bothok melambangkan sebuah pengharapan bahwa hidup bermasyarakat tanpa membeda-bedakan, sekalipun jelas-jelas berbeda.

Adapun ikan mas panggang, diartkan sebagai telor ceplok yang bermakna, bahwa manusia itu harus ingat asal-usulnya. Manusia harus berusaha dan berbuat baik menjadi manusia yang bermanfaat. Adapun nasi golong melambangkan sifat gotong royong.

Dahulu, setiap ritual, disertai acara memandikan kuda kesayangan Bei Kayangan. Kali ini, warga memaknai sebagai membersihkan jiwa dan raga. Saat ini, ritual memandikan kuda Bei Kayangan digambarkan dengan memandikan jarang-kepang, kuda pelengkap budaya jathilan. (rr)

Ritual memandikan kuda kesayangan Bei Kayangan, digantikan dengan memandikan kuda lumping, properti seni tradisi Jathilan. (ist)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *