Connect with us

Feature

Kalau Pohon Bisa Ngomong

Published

on

Ketua Badan Negara Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Doni Monardo. (foto: ist)

Catatan Egy Massadiah

Tahun 90-an, penyanyi Bandung, Doel Sumbang (featuring Nini Carlina) melantunkan tembang “Kalau Bulan Bisa Ngomong”. Lagu itu cukup populer. Bahkan masih sering terdengar di ruang-ruang karaoke hngga hari ini.

Saya pun lantas membayangkan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Doni Monardo membawakan lagu berjudul “Kalau Pohon Bisa Ngomong”.

Ini sungguh tidak main-main. Jika Anda belum tahu, baiklah saya kabarkan, bahwa Doni Monardo adalah salah satu jenderal yang sangat mencintai pepohonan, menyayangi pepohonan dengan penuh perhatian. Jauh sebelum menduduki jabatan barunya sebagai Kepala BNPB per 9 Januari 2019, Doni sudah malang-melintang melakoni kariernya di bidang militer.

Di mana pun Doni bertugas, ia –salah satunya— dikenal sebagai prajurit yang sangat mencintai pepohonan. Saya sebut salah satu, karena Doni juga memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan hidup.

Tapi catatan ini fokus pada “percintaan” Doni Monardo dan pepohonan. Sekaligus “kado” kepada BNPB yang baru saja merayakan ulang tahun ke-11, 25 Januari 2019 lalu. Sejak dilantik hingga hari ini, praktis belum sebulan dia menjabat. Meski begitu, terasa ada perubahan atmosfer di lingkungan BNPB. Doni langsung tancap gas mengubah paradigma BNPB.

Sebagai perwira tinggi TNI Angkatan Darat, Doni Monardo dikenal sangat inspiratif. Banyak ide, gemar berinovasi, dan memilik kelengkapan syarat sebagai seorang leader. Karenanya, di BNPB pun bisa ditebak, Doni langsung menancapkan pondasi kepemimpinannya, lengkap dengan cetak biru yang tentu sudah ada di kepalanya.

Contoh, ia tidak menghendaki BNPB hanya jadi “pemadam kebakaran”. Ia tidak ingin, BNPB sibuk dan bekerja hanya di saat terjadi bencana alam atau musibah. Menangani musibah atau bencana alam, adalah tupoksi. BNPB dinilai telah cukup berpengalaman mengatasi berbagai musibah maupun bencana alam yang terjadi di berbagai pelosok negeri. Doni justru mempertegas corak BNPB dengan menaruh concern terhadap unsur “why”, mengapa musibah terjadi.

Baginya, musibah itu prinsipnya ada dua. “Di luar kehendak Tuhan, bencana hanya ada dua sebab. Karena faktor alam dan faktor manusia,” begitu Doni Monardo berprinsip. Ia menyebutkan, gempa bumi atau gunung meletus sebagai faktor alam, dan dengan pendekatan science, setidaknya bisa dideteksi, bisa diprediksi. Akan tetapi, longsor dan banjir hampir bisa dipastikan karena ulah manusia.

Ia mencontohkan, praktik penebangan pohon sehingga mengakibatkan hutan gundul, sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun. Berhubung tidak ada lagi penanaman pohon baru, maka terjadilah longsor dan banjir. Kalaupun terjadi usaha reboisasi, skalanya bisa dibilang kecil.

Ketika bersama Doni Monardo di Makassar pekan lalu, mendadak ia meminta informasi berapa luas hutan gundul kritis di lereng-lereng gunung yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya kawasan Gunung Bawakaraeng dan Gunung Latimojong.

Seketika saya tersadar, betapa banyak gunung gundul di Sulawesi Selatan. Untuk diketahui, di Sulawesi Selatan, tercatat ada 54 gunung, sepuluh di antaranya menjulang di atas Pegunungan Latimojong. Pegunungan yang melintasi tiga kabupaten sekaligus, Luwu, Enrekang, dan Kabupaten Tana Toraja.

Citra Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan diambil dari satelit Google Earth.

Di atas Pegunungan Latimojong itu pula menjulang gunung tertinggi, Rantemario (3478 mdpl). Disusul kemudian gunung-gunung lain, Nenemori (3397 mdpl), Latimojong (3305 mdpl), Pasa’ Bombo (3250 mdpl), Batu Maitan (3100 mdpl), Botto Tallu (3086 mdpl​), Rantekambola (3083 mdpl), Sumbolong (3054 mdpl), Bajaja (3052 mdpl), dan Aruan (3027 mdpl).

Nah, terkait musibah banjir dan longsor yang tengah melanda Sulawesi Selatan, di luar aksi cepat tanggap membantu korban, Doni dalam waktu bersamaan berpikir, bagaimana caranya gunung-gunung itu hijau kembali. Solusi permanen atas musibah banjir dan longsor adalah reforestation, penghijauan kembali lahan tandus di lereng-lereng dan tubuh gunung.

“Mungkin manfaatnya tidak bisa kita lihat satu-dua tahun, tetapi percayalah, 10 – 20 tahun lagi, banjir dan longsor seperti yang sedang terjadi ini, tidak akan terjadi lagi. Karena itu, saya akan mengajak semua pihak beramai-ramai menanam pohon di hutan-hutan gundul. Termasuk para mahasiswa. Kegemaran menggelar aksi demo, harus diimbangi aksi menghijaukan gunung. Mereka dan anak cucu merekalah nanti yang akan menikmati,” papar Doni ihwal gagasannya menghijaukan hutan-hutan gundul di Sulsel.

Tak dimungkiri, dari 371 jumlah perguruan tinggi negeri yang bernaung di bawah Kopertis Wilayah IX, sebagian besar bercokol di Sulawesi Selatan. Belum lagi yang swasta. Jika ide Doni Moanardo mengajak mereka melakukan reforestation, maka persoalan akan sangat membantu mempercepat penghijauan. Belum lagi ide Doni untuk melibatkan institusi binsis seperti perbankan yang umumnya memiliki dana CSR.

Yang dibutuhkan saat ini adalah kerja nyata. Menurut Doni, sudah cukup semua seminar, simposium, rapat kerja dan lain sebagainya. Karenanya, ia menggajak segenap stakeholder di Sulsel membantu tekadnya, tekad BNPB menghijaukan semua lahan gundul di 54 gunung yang ada di Sulsel. “Gimmick-nya, bisa berupa pemberian anugeran tahunan kepada kelompok yang terbukti konsisten, mulai dari penanaman, perawatan hingga hasilnya,” tandas Doni.

Pohon ditanam. Pohon menjaga alam dan alam menjaga kita.

Betapa, dari gerakan menanam pohon dan berpikir manfaat jangka panjang, menurut Doni, sekaligus mendidik para mahasiswa dan masyarakat Sulsel yang terlibat, untuk tidak egois dan belajar meresapi filosofi seorang negarawan. Berbeda dengan sebagian kelompok yang biasanya hanya berpikir per lima tahun (periode pemilu, red), maka seorang negarawan berpikirnya jangka panjang untuk masyarakat lebih luas. Berpikir untuk bangsa,” papar Doni seraya menambahkan, “pak Jusuf Kalla termasuk negarawan.”

Tidak heran, jika Doni begitu getol menanam pohon. Ia bahkan mengibaratkan pohon seperti halnya manusia. Ia, adalah “makhluk” hidup, termasuk yang bisa “ngomong”. Karenanya, Doni acap mengajak bicara pohon. Melalui pesan yang ia terima, seolah pohon-pohon itu pun berbicara betapa manusia tidak peduli pada mereka.

Di perkotaan, misalnya nyaris tidak ada pohon yang sehat. Bayangkan, ketika akar secara kodrati hendak menjalar, mendadak harus terhenti karena terbentur beton. Akibatnya, pohon tidak lagi kokoh dan tumbuh dengan baik.

Lalu, manakala kondisinya tidak sehat, lantas pohon itu roboh, maka ia akan menjadi pihak yang disalahkan oleh umumnya manusia.

Begitu mulia kedudukan pohon di atas bumi, sampai-sampai dalam Islam pun disebut. Beberapa ayat dalam surat Yassin misalnya, menyebutkan bilamana bumi tidak ada pepohonan, maka tidak akan ada kehidupan. Karenanya, mari kita “berbicara” kepada pepohonan. ***

Egy Massadiah, Magister Komunikasi dan Pegiat Teater

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *