Connect with us

Feature

Kakek, Menapak Anak Tangga di Usia Senja

Published

on

Kakek (87), berjualan tisu di atas jembatan penyeberangan UKI, Cawang, Jakarta Timur. Foto: Roso Daras

PRESIDEN Sukarno, sedikitnya mengalami tujuh kali usaha pembunuhan secara langsung. Salah satunya adalah peristiwa “Jumat Durjana”, yakni penggranatan Bung Karno di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat pada Jumat malam tanggal 30 November 1957.

Sekawanan pemuda yang dilatih pasukan DI/TII pimpinan Kartosuwirjo melemparkan sedikitnya tujuh granat dengan tujuan melenyapkan Bung Karno. Tercatat sembilan orang meninggal dunia dan 50 orang luka-luka (15 di antaranya anak-anak). Bung Karno, selamat. Kurang dari satu minggu, para pelakunya berhasil dibekuk.

Kisah di atas segera saja terlintas, demi mengetahui lelaki bernama “Kakek” ini adalah seorang pensiunan pegawai Perguruan Cikini. Ia tampak duduk di atas jembatan penyeberangan depan kampus UKI Cawang, Jakarta Timur sambil berjualan tisu.

Beberapa kali penulis menegaskan ihwal nama yang “aneh”. “Masak namanya Kakek? Kakek kan panggilan, pak?” Ia hanya mengangguk sambil menjawab, “Ya Kakek… nama saya Kakek.”

Kata Kakek, “Jualan tisu itu halal.” Foto: Roso Daras

Masih belum puas, penulis bertanya lagi, “Baiklah. Namanya Kakek. Kalau nama lengkapnya?” Kembali menatap dan berucap, “Kakek. Kakek saja.” Hm… sungguh nama yang aneh…, tapi baiklah.

Lelaki berusia 87 tahun ini, mengaku tinggal di perumahan Duta Indah, Pondok Gede, Bekasi. Sekira tahun 1997, ia pensiun dari Perguruan Cikini dengan mendapatkan pesangon Rp 3,5 juta. Demi mengenang peristiwa “Jumat Durjana”, Kakek hanya bisa menerawang. “Kami beberapa hari diliburkan setelah peristiwa itu. Saya sendiri, saat kejadian tidak berada di tempat, karena saya bagian tata usaha. Untuk acara keriaan malam itu, perguruan sudah membentuk panitia tersendiri,” ujarnya.

Pada masanya, Perguruan Cikini adalah sekolah pilihan. Selain putra-putri Presiden Sukarno, banyak putra-putri pejabat sekolah di sana. Salah satunya adalah keponakan Kapolri ketika itu, Komisaris Jenderal Soekanto Tjokrodiatmodjo yang ikut tewas dalam peristiwa penggranatan. “Beberapa lama sekolah ditutup, dan bukan hanya para murid, tapi para guru dan staf perguruan juga stres dan shock,” tambahnya.

Lambat-laun, suasana pulih. Kakek pun terus berkarier, dari semula hanya pegawai tata usaha, naik menjadi Kepala Tata Ruangan. Puncak karier Kakek adalah menjadi Kepala Keuangan Perguruan Cikini. “Kebetulan saya lulusan Bond A dan Bond B,” ujar ayah dua orang putri itu. Bond A dan Bond B adalah disiplin ilmu kecabangan akuntansi atau tata buku yang dulu diperoleh di bangku non formal, atau semacam kursus. Layak kalau Kakek kemudian menjabat Kepala Bagian Keuangan.

Yang menjadi “kurang layak” ketika nasibnya berakhir menjadi penjual tisu di jembatan penyeberangan. Prinsipnya saya tidak mau menyusahkan anak. “Anak saya dua, dua-duanya perempuan, dan yang satu sudah berkeluarga. Saya bisa hidup dan menghidupi istri dan satu anak yang belum berkeluarga dengan jualan tisu,” ujar Kakek yang rata-rata membawa pulang keuntungan bersih Rp 30.000 per hari itu.

Kakek yang kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat tahun 1930 merantau ke Jakarta setahun setelah kemerdekaan, 1946. Itu artinya, usianya belum genap 17. Sebagai anak tunggal, orang tuanya sempat berkeberatan ketika melepasnya ke Jakarta. “Tapi karena banyak orang Minang merantau, akhirnya mereka setuju. Pesan orang tua saya hanya satu, ‘kalau mencari kerja, carilah pekerjaan yang bisa untuk dunia dan akhirat sekaligus’,” ujarnya.

Kakek jualan tisu di jembatan penyeberangan. Foto: Roso Daras

Filosofi yang ia tangkap dan terjemahkah kemudian adalah bekerja “halal”, termasuk tidak korupsi, tidak manipulasi, tidak menyalahgunakan wewenang, dan perbuatan tercela lain. Karenanya, berkali-kali ia menegaskan, “Jualan tisu adalah pekerjaan halal.”

Ia tak memungkiri, duduk di atas trotoar seharian, adalah pekerjaan yang paling mungkin dilakukan pria seusia dia. Ia toh tidak harus mengangkat-angkat barang berat. Tidak pula harus memeras otak menghitung-hitung tata buku keuangan. Cukup duduk, meletakkan satu tas plastik berisi dagangan tisu, dan membuka bagian atasnya. Sebungkus tisu tipis, ia jual Rp 2 ribu.

Selagi kami ngobrol, beberapa orang memang berhenti, memberinya lembaran dua ribu dan mengambil satu. Ekspresi beberapa pembeli bisa dipastikan, ada sorot iba dan kasihan melihat kakek 87 tahun ini berjualan tisu di jembatan penyeberangan.

Tergelitik untuk bertanya, “Pak Kakek… berjualan di atas jembatan penyeberangan kan dilarang. Bagaimana kalau ada razia Satpol PP?” Ditanya begitu, ia hanya terkekeh, “Makanya saya jualan tisu. Enteng….”

Oh… tangga penyeberangan. Ada undakan naik dan undakan menurun di sebelah sana. Kiranya, begitu gambaran kisah hidup lelaki bernama Kakek. Naik tangga dari Padang ke Jakarta dan kini laksana menapaki tangga menurun di usia senja. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *