Connect with us

Feature

Jukung Karere itu Sudah Menjadi Debu

Published

on

Perahu Jukung Karere asal Papua. Dibuat dari satu batang pohon utuh. Koleksi berharga Museum Bahari itu musnah sudah. Foto: Ist

KETIKA Museum Bahari (MB) Jakarta terbakar pertengahan Januari 2018 lalu, tidak ada drama langit-mendung dan Indonesia-berduka. Hanya komunitas pecinta museum yang mendung-hati. Hanya pegiat sejarah yang terluka duka.

Betapa tidak, bekas bangunan VOC yang diresmikan menjadi Museum Bahari di era Gubernur Ali Sadikin tahun 1977 itu, sarat koleksi penting perjalanan dunia maritim Indonesia. Sebagian besar ludes terbakar. Hasil identifikasi, tak kurang dari 120 koleksi museum musnah. Termasuk koleksi sejumlah kapal tradisional kayu tua asli.

Perahu bersejarah yang telah menjadi abu itu antara lain perahu tradisional phinisi, perahu lancang kuning, cadik Nusantara, dan perahu jukung karere. Perahu tradisional Papua ini yang paling menarik, karena dibuat menggunakan kayu utuh dari batang pohon sepanjang 11 meter. Menilik perahu-perahu tersebut bisa kita bayangkan betapa hebatnya nenek moyang kita, mengarungi luasnya lautan hanya dengan menggunakan perahu tradisional.

Museum Bahari, Jakarta Utara terbakar 16 Januari 2018. Foto: Ist

Kebakaran telah menghanguskan koleksi di gedung A, gedung C dan kerusakan bangunan museum. Koleksi museum yang habis terbakar berada di lantai dua dan bagian loteng, yang merupakan Ruang Legenda Masyarakat Bahari Nasional dan Internasional berisi sejumlah diorama. Koleksi lainnya beragam jenis biota laut dan informasi kartografi jenis dan sebaran potensi laut Nusantara. Selain itu juga berisi informasi budaya dan tokoh maritim Indonesia.

Museum Bahari sebelum terbakar.

Sedangkan gedung C, merupakan Ruang Pamer Perang Laut Jawa berisi koleksi sumbangan dari Kedutaan Inggris, AS, Australia dan Belanda. Ruang pamer ini baru diresmikan bulan Februari tahun lalu.

Di gedung ini juga merupakan Ruang Pengenalan Kebaharian berisi koleksi miniatur model dan alat alat navigasi bersejarah, seperti mercusuar, rambu rambu laut lain dan miniatur perahu tradisional.

Museum Bahari malang tak terperi. Semasa “hidup”, sedikit saja dilirik orang. Setelah terbakar, bisa jadi makin pudar. Tentu dibutuhkan kemauan politik dan kemauan balik pemerintah untuk merestorasi Museum Bahari, bahkan lebih dari itu, membuatnya lebih kesohor.

Koleksi perahu tradisional di Museum Bahari.

Sebelum terbakar, bangunan yang berdiri sejak abad ke-17 tepatnya tahun 1652, atau 366 tahun silam itu acap mendapat kunjungan anak-anak muda. Sayang, mereka bukan datang untuk mengagumi koleksi museum, dan mengapresiasi sejarah kemaritiman Indonesia. Mereka adalah serombongan fotografer dan videografer yang sedang mengerjakan proyek pre-wedding.

Sekelumit Sejarah

Sebelum tahun 1500 kawasan Sunda Kelapa di muara sungai Ciliwung merupakan pelabuhan Kerajaaan Pajajaran. Tempat itu berkembang dengan dibangunnya pos-pos perdagangan sebagai perjanjian warga lokal dengan orang Portugis tahun 1522.

Perahu tradisional koleksi Museum Bahari yang juga ikut terbakar.

Pada tahun 1526 hingga tahun 1527 Sunda Kelapa ditaklukkan oleh Fatahillah alias Pangeran Jayakarta. Sang penakluk kemudian mengabadikan namanya (Jayakarta), kota Jayakarta menggantikan Sunda Kelapa. Saat itu penguasa kota Jayakarta tidak menerima kehadiran orang Portugis hingga tahun 1596 datang kapal dagang pertama kali bangsa Belanda di pelabuhan Sunda Kelapa.

Pada abad ke-17, tepatnya tahun 1610-1611, Belanda diberi izin mendirikan gudang serta benteng di sisi timur muara sungai Ciliwung. Berjalannya waktu Belanda berhasil menyingkirkan Jayakarta dan mengganti nama Jayakarta dengan Batavia.

Di kawasan Sunda Kelapa didirikan pula benteng dan menjadi kantor VOC di Asia tahun 1619. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1629, Batavia dikepung Sultan Agung Mataram. Masa itu yang berkuasa adalah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, yang meninggal setelah sakit kolera.

Daerah sisi Barat sungai Ciliwung dikembangkan dan dikelilingi tembok kota dan kubu-kubu yang masih ada hingga kini: kubu Culemborg dan Zeeburg. Tahun 1652 barulah bagunan tertua dari bagian gedung rempah dibangun, yang terakhir dikenal sebagai Museum Bahari. Museum yang sudah dilalap api. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *