Connect with us

Feature

“Insya Allah, Aku Sing Ngerti Karepmu”

Published

on

Buyar Winarso (berbaju batik membelakangi lensa), hanya ditemani sopir pribadi, Tirno, tak jarang berhenti di tengah jalan, dan masuk ke pematang sawah menemui calon pemilih. (foto: roso daras)

JAYAKARTA NEWS – Melengkapi tulisan seri 11 terdahulu, tidak afdol tanpa mengilas-balik saat-saat menjelang Pilkada Kebumen 2010. Masyarakat barangkali hanya memahami satu hal, bahwa Buyar Winarso memenangkan Pilkada, dan terpilih menjadi Bupati Kebumen periode 2010-2015.

Tidak banyak yang mengetahui kisah di balik sukses memenangi Pilkada. Jalan kemenangan ditentukan banyak faktor. Nah, tulisan ini menyingkap satu faktor penting, yakni personal branding melalui tagline yang jitu.

Ia sadar, bahwa menentukan tagline kampanye adalah krusial. Salah membuat jargon, bisa berakibat kerja pemenangan politik lebih berat. Sebaliknya, sukses menciptakan tagline, akan meringankan kerja selanjutnya.

Untuk itu, Buyar Winarso berdiskusi dengan banyak pihak, sebelum akhirnya melahirkan tagline unik dan mengena di hati masyarakat: “Insya Allah, Aku Sing Ngerti Karepmu”. Jika di-bahasa-Indonesia-kan, artinya, “Insya Allah, Saya yang Tahu Maumu”.

Kisah itu bermula akhir tahun 2009, ketika Buyar Winarso meluruskan niat dan memantapkan hati ikut dalam kontestasi Pilkada Kebumen 2010. Jauh sebelum Buyar Winarso membentuk “Buyar Winarso Center” (BW Center), baliho-balihonya sudah tersebar di titik-titik strategis, baik di kota, pedesaan, pegunungan, hingga pesisir Kabupaten Kebumen. Baliho besar yang berisikan foto setengah badan Buyar Winarso mengenakan kemeja batik, menyungging senyum, dan sebuah slogan khas, “Insya Allah, Aku Sing Ngerti Karepmu”.

Secepat kilat, slogan itu menjadi viral. Nama Buyar Winarso pelan tapi pasti mulai masuk ke relung hati dan ruang kepala penduduk Kebumen. Bahkan, di setiap obrolan, entah di pematang sawah, di kedai kopi, di pasar, atau di mana pun… ketika ada seseorang menyebut nama “Buyar Winarso”, spontan ada yang menimpali, “aku sing ngerti karepmu….”

Bagaimana Buyar Winarso menerjemahkan serta mengapilikasikan slogan yang sudah ia canangkan? “Jumlah penduduk Kebumen ketika itu sekitar 1,2 juta jiwa. Jumlah pemilih sekitar 970.000 jiwa. Dari jumlah itu, jika ditanya apa kemauannya, bisa menjadi jutaan. Karena ada yang punya satu keinginan, ada yang dua, ada yang tiga, ada yang banyak maunya…. Jadi, bukan begitu cara saya menafsir slogan ‘aku sing ngerti karepmu’,” katanya.

Buyar Winarso, tanpa ditemani tim sukses, tanpa membawa wartawan, hanya ditemani Tirno, sopirnya mendatangi rakyat Kebumen, termasuk yang tergolek sakit. (foto: roso daras)

Face to Face

Buyar Winarso, diberkahi Tuhan naluri yang kuat. Ia pun sadar, dan menggunakan naluri dalam banyak hal. Termasuk ketika berhajat maju dalam Pilkada. Karena itu, ia dengan santai melangkah. Bertemu masyarakat berbagai lapisan secara face to face dari desa ke desa. “Di Kebumen ada 449 desa dan 11 kelurahan. Tidak mungkin saya datangi semua, dalam keterbatasan waktu. Untuk memilih, juga sulit. Karena itu, naluriah saja,” katanya.

Tak jarang Buyar Winarso ditemani Tirno sang sopir, berangkat pagi buta dan baru tiba di rumah tengah malam. Ia lakukan itu hampir tiap hari. “Kadang-kadang makan di warung, kalau pas di pegunungan tidak ada warung, mampir rumah penduduk, minta makan ala kadarnya. Dengan begitu, saya bisa merasakan ‘kemauan’ rakyat Kebumen secara general,” katanya.

Bukan sekali-dua, Buyar Winarso kelaparan saat di desa terpencil yang jauh dari warung. Spontan dia akan masuk rumah penduduk, minta nasi, tempe, dan sambal….

Sampai tahap itu, ia tidak mengatakan siapa dirinya. Baru setelah makan, ia ajak ngobrol dan bercanda. “Sebelum pamit, barulah saya katakan, saya Buyar Winarso, mohon doa restunya mau maju jadi calon bupati Kebumen. Subhanallah, akhirnya menjadi ikatan yang sangat kuat,” kenangnya.

Pernah terjadi, naluri berbicara ketika ia tiba di suatu desa. “Jika naluri saya berkata ‘tidak’, maka saya tidak akan masuk desa itu. Selebihnya, saya padukan dengan data. Sekiranya di desa itu saya pasti kalah, saya tidak akan membuang-buang waktu dan energi untuk masuk ke desa itu,” ujar Buyar Winarso.

Data yang dimaksud antara lain, bagaimana peta Pemilu legislatif sebelumnya. Bagaimana peta kekuatan partai politik pengusungnya di desa itu. Bagaimana kiprah kandidat lain di desa itu. Bagaimana kecenderungan pilihan masyarakat desa itu. “Itu semua saya hitung. Jika berdasar kalkulasi dan data saya harus masuk, maka apa pun yang terjadi, saya akan masuk,” tegasnya.

Bukan hanya desa atau kelurahan. Bahkan untuk memenuhi undangan tokoh masyarakat pun, ada kalanya naluri berperan kuat. Pernah suatu hari, ia meluncur ke sebuah desa memenuhi undangan seorang tokoh masyarakat. Mendekat ke rumah yang dituju, tiba-tiba naluri berkata lain. Maka, spontan ia minta Tirno berbalik arah. “Waktu itu saya datang bersama teman. Sampai sekarang pun dia masih belum ngerti akan sikap saya,” katanya.

Pada kesempatan lain, tak jarang Buyar Winarso masuk warung dan mendengarkan obrolan yang berkembang. Ia juga menghadiri hajatan di kampung-kampung. Awalnya ia mendengar saja obrolan yang berkembang, setelah itu baru nimbrung. Terakhir, ia akan memperkenalkan diri sebagai Buyar Winarso yang sedia maju dalam Pilkada.

Itu bagian dari upaya Buyar Winarso menerjemahkan tagline “aku sing ngerti karepmu”. Di benaknya, suara yang ia dengar di warung-warung, di pasar-pasar, di pematang sawah, di pegunungan dan di pesisir, adalah murni aspirasi. Tidak ada kemasan, tidak ada bumbu, dan tidak ada vested.

Karena itu, Buyar Winarso lebih memilih turun langsung dan bertatap muka dengan masyarakat, dibanding menghadiri rapat-rapat akbar. Baginya, hadir dan berbicara di depan kerumuman massa yang dikondisikan, sama sekali tidak produktif bagi upaya menyelami “apa kemauan rakyat”.

“Dari sekian banyak yang hadir, kita tidak tahu motif kedatangannya karena mendukung atau karena faktor lain. Di sisi lain, model rapat akbar, biasanya berlangsung secara monolog, top down, bukan dialog interaktif, apalagi bottom up. Lebih dari segalanya, komunikasi face to face terasa lebih personal, dan itu jauh lebih melekat dibanding mengumpulkan orang di aula atau di lapangan terbuka,” paparnya.

Lepas dari segalanya, jargon “aku sing ngerti karepmu”, ia terjemahkan pula dalam konteks “suara” dalam Pemilu. Sistem one man one vote, membawa konsekuensi suara profesor sama dengan suara penggembala sapi. Suara jenderal, sama dengan suara pencari rumput. Karenanya, bersilaturahmi ke tokoh masyarakat, sama nilainya dengan menyambangi petani di tengah sawah.

Seperti kejadian suatu hari, saat Buyar turun dari mobil, dan berjalan menyusuri pematangan sawah, menemui sekelompok petani. Dibuka dengan sapaan ramah, dilanjutkan perbincangan ringan seputar cocok tanam. Tidak sampai 10 menit, suasana sudah sangat cair. Terdengar derai tawa para petani. Jika sudah begitu, Buyar Winarso baru akan membuka jati dirinya sabagai kandidat bupati.

Tidak jauh dari sana, Buyar melihat seorang pencari rumput. Ia pun mendatangi si pemotong rumput. Tanpa canggung, ia segera jongkok di dekatnya dan mengajaknya ngobrol. Tidak lama kemudian, keduanya sudah tertawa-tawa. Sebelum meninggalkan si pencari rumput melanjutkan pekerjaannya, tak lupa Buyar Winarso memperkenalkan diri dan meminta doa restunya dalam Pilkada.

Demikian pula ketika masuk pedesaan. Tak jarang ia meminta Tirno menghentikan mobil. Buyar turun dan berjalan masuk ke pedesaan. Intuisinya benar, di sana ia temui sebuah rumah reyot, dengan penghuni sepasang kakek-nenek yang renta usia.

Laiknya seorang anak kepada kedua orang tua, Buyar Winarso segera menghidupkan suasana sekuat tenaga. Ia ajak berbicara dan bercengkerama. Batinnya terusik, ketika kakek-nenek hidup dalam kemiskinan. Tanpa mengutarakan apa keinginan sepasang kakek-nenek itu, Buyar Winarso spontan tahu apa yang harus ia lakukan jika terpilih menjadi Bupati. Ia akan bekerja keras mengikis kemiskinan absolut yang ada di Kebumen.

Hal sama ia jumpai di pesisir Logending. Menggumuli kehidupan para nelayan dengan mendatangi langsung dan berbicara dari hati-ke-hati, ia tahu persis persoalan-persoalan yang membelit para nelayan. Ia segera tahu, apa yang dikehendaki para nelayan, jika nanti terpilih menjadi Bupati.

Begitulah. Tirno, sopir setia yang menemani langkah Buyar Winarso ke berbagai pelosok, segera tancap gas melanjutkan perjalanan. Ia tidak perlu bertanya arah, karena dengan intuisinya, Buyar Winarso yang akan menentukan ke mana kemudi diarahkan. Begitu sekilas gambaran, bagaimana seorang Buyar Winarso bersungguh-sungguh dalam melaksanakan niat dan hajatnya.

Ia bahkan tidak peduli, jika selama empat bulan masuk-keluar pedesaan, pegunungan, pesisir, persawahan, berat badannya turun enam kilogram. (Roso Daras/Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *