Connect with us

Feature

“Gathering” tanpa Ja-Im

Published

on

Penulis (Ratu Elty) berpose di salah satu spot Candi Prambanan. (foto: dok pri)

JAYAKARTA NEWS –  Rasulullah SAW bersabda:

” مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ, وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maha hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi”.

Sengaja aku kutip hadits di atas, untuk menegaskan dua hal….. Pertama, betapa mulianya silaturahmi. Bahkan masih banyak keutamaan lain, seperti tertuang dalam hadits Nabi SAW. Kedua, sebagai pengantar ihwal keseharianku, setelah peristiwa PHK massal Harian Jayakarta tahun 1998.

Di Jayakarta dulu, aku menjadi Sekretaris Pemred, Bapak Suryohadi. Teramat banyak kenangan bersama teman-teman. Namun seiring perjalanan waktu, pasca PHK, kami tak lagi bersua dalam keseharian. Bahkan untuk sekian lama, aku tak terhubung sama sekali. Kukira, aku dengan kesibukanku, yang lain pun sibuk dengan kesibukannya.

Sampailah aktivitasku mengalir menuju ke arah yang –menurutku—benar. Sejak tahun 2010, aktif di majelis taklim, bahkan kemudian menjadi Ketua Majelis Taklim se-Komplek Puspa Raya Cibinong. Sesekali mengajar ngaji, bahkan memberi tausyiah. Selain itu juga menjadi Ketua Komite Sekolah, dan dalam berbagai kegiatan acap didapuk menjadi ketua acara, termasuk acara di sekolah anak maupun acara ziarah ke luar kota bersama anggota majelis taklim.

Sampai tahap ini, kiranya bisa terbayang, keseharian seperti apa yang aku jalani. Karenanya, saya hanya senyum-senyum saja ketika jumpa teman-teman lama Jayakarta yang spontan menyambut, “Assalamu’alaikum bu haji… bu ustadzah…..” Ada rasa geli, karena yang mengucapkan adalah teman-teman Jayakarta yang kukira belum habis berpikir, bagaimana aku bisa sampai pada keseharianku yang sekarang.

Alhasil, aku harus mengucapkan terima kasih kepada mas Sumarno, wartawan Jayakarta, teman lama, yang suatu hari berjumpa tak sengaja (kalau tidak salah ingat di stasiun kereta api, sama-sama menunggu commuter line). Lewat dialah kemudian aku dimasukkan ke Grup WA Jayakarta, dan akhirnya bisa bertegur sapa dengan teman-teman yang sudah terpisah lebih dari 20 tahun! Subhanallah.

Sejak itu, bisa dibilang aku memiliki dua kehidupan. Ada beda nuansa, tapi sama-sama menyenangkan. Betapa tidak, di komunitas majelis taklim aku menjadi “tua”…. Maksudku, dituakan. Mungkin karena posisi sebagai ketua. Peran sebagai guru ngaji juga menempatkanku pada posisi yang –selazimnya—dihormati dan disegani.

Sementara di komunitas Jayakarta? Aha! Aku seperti yang paling muda (meski bukan yang termuda)…. Lebih dari itu, dalam banyak hal topik pembicaraan, karakter teman lama, semua seperti menyeretku ke belakang, ke era tahun 90-an saat akrab-akrabnya bersama teman-teman sekantor Jayakarta. Di sini, tentu saja tidak ada penghormatan berlebihan, atau rasa segan berlebihan. Yang ada, kesetaraan sebagai teman.

Kulihat, semua teman pun sama. Tidak ada lagi yang membawa embel-embel status, jabatan, apalagi kekayaan. Ekualitas kehidupan Jayakarta, membuat ada desiran perasaan yang berbeda. Contoh kecil saja…. di komunitas pengajian, apa pun yang kami lakukan, baik berkumpul atau berjalan-jalan ke luar kota, terasa ada “sekat” yang sulit aku lukiskan. Ketika aku berada di posisi ketua, atau guru, maka ada perasaan “wajib menjaga diri”. Orang bilang, ja-im……

Berfoto saat kereta api berhenti di Stasiun Purwokerto. Dari kiri: Irawati, S.R. Handini, Latifah, Ratu Elty, Rina Ginting, Melva Tobing, dan Syahdina. (foto: dok jayakartanews)

Sebaliknya, di Jayakarta, aku merasa lebih lepas. Lebih lepas berbicara…. Lebih lebar tertawa…. lebih ekspresif dalam bergaya (kalau sedang foto-fotoan). Alhasil, ada kenyamanan dan rasa syukur sekaligus bisa berkumpul kembali dengan teman-teman lama. Karena itu, aku tidak menolak ketika ditunjuk menjadi sekretaris panitia.

Menjadi sekretaris panitia gathering “Jayakarta News Goes to Jogja” 2019, tanggal 1 – 4 Februari 2019, antara lain mengurus tiket kereta api pergi-pulang Jakarta – Yogyakarta – Jakarta untuk hampir 30 orang. Tugas ini sungguh menguras banyak energi dan emosi. Bahkan di hari keberangkatan, aku harus menginap di salah satu penginapan dekat Stasiun Senen. Bukan saja supaya bisa tiba di stasiun tepat waktu, tetapi malam itu, nge-print tiket dan mengurus pembatalan tiket sejumlah teman yang batal berangkat, baru tuntas sekitar pukul 23.30.

Meski begitu, ada antusiasme yang bergejolak demi melakoni perjalanan ke Yogya bersama teman-teman Jayakarta. Sudah sangat-sangat lama tidak ke Yogya, apalagi naik kereta. Dulu, kalau ke Yogya hampir tidak pernah naik kereta api. Selalu menggunakan pesawat atau mobil pribadi, bersama keluarga kecilku. Karenanya, perjalanan ke Yogya naik kereta, bersama teman-lama pula, menjadi sangat istimewa.

Meski usia kami rata-rata di atas 50 tahun, tapi percayalah tidak satu pun di antara perserta yang merasa seusia itu. Sepanjang perjalanan, bercanda. Setiap berhenti di stasiun besar, kami turun dan berfoto-foto….. Kami merasa sweet-seventeen…..

Perjalanan sekitar delapan jam kami tempuh tanpa rasa lelah yang terlalu. Lelah sewajarnya. Buktinya, setiba di Wisma Ainard, Jl Miliran Yogyakarta, masih ada yang sempat jalan-jalan, meski hanya di sekitar penginapan. Bahkan malamnya, kami langsung menggelar acara rapat kerja. Plus sharing silaturahmi dengan Bapak Aqua Dwipayana hingga dinihari (aku sendiri tidak ikut, karena sudah tidur).

Sabtu (2/2/19) adalah acara jalan-jalan ke Candi Prambanan dan Kaliurang. Jadwalnya pukul 06.00 sudah berangkat dari penginapan. Alhasil, adzan subuh saya sudah bangun, dan langsung mengetuk pintu kamar teman-teman. Bukan saja waktunya sholat subuh, tapi biar bisa berangkat on-time.

Cerita tentang indahnya Candi Prambanan, sudah diceritakan teman-teman. Aku hanya membenarkan. Langit biru pagi hari itu, benar-benar biru bersih. Jepretan foto dari HP, tak perlu diedit untuk menampakkan kualitas gambar yang sekelas post-card. Pendek kata, indah sekali.

Penulis (Ratu Elty) berfoto di bumper jip yang membawanya menikmati Merapi Lava Tour. (foto: dok pri)

Perjalanan wisata pun berlanjut ke Kaliurang. Aku ikut rombongan Merapi Lava Tour, dan dilanjut memenuhi undangan Bapak Aqua Dwipayana makan siang di Resto Jejamuran. Sungguh pas sekali. Kebetulan, saya penyuka menu jamur. Alhasil, perut lapar terisi dengan makanan favorit. Klop.

Berfoto bersama Dr Aqua Dwipayana di Resto Jejamuran. (foto: dok pri)

Dalam moment ramah tamah, Pak Aqua sempat memberi sambutan singkat. Sangat mengena. Sebagai seorang yang pintar dan sukses, Dr Aqua berbagi semangat silaturahmi dengan tutur kata yang rendah hati, santun, dan mudah dimengerti. Masih terngiang kiat sukses Dr Aqua, sebuah kiat yang sejatinya sederhana, meski butuh komitmen dan konsistensi untuk menjalaninya. Bahwa sukses itu diawali dari pikiran positif, suka menolong, gemar bersilaturahmi. Bersyukur, saya sempat meminta foto bersama beliau, semoga saya bisa menyerap dan melaksanakan apa yang disampaikannya.

Kembali ke Wisma Ainard, dalam kondisi lelah tetapi puas. Ada yang langsung istirahat, tapi tidak sedikit yang melanjutkan ngobrol dan bercanda. Beberapa yang lain bahkan ada yang keluar Wisma, entah jalan ke mana, entah untuk keperluan apa. Acara berikut memang baru berlangsung malam hari, pukul 19.00. Tumpengan syukuran Jayakarta News ke-2.

Usai acara, kami bergegas memenuhi undangan (lagi) dari pak Aqua, makan malam (makan malam kedua setelah tumpengan), di Angkringan Gadjah, Jl. Kaliurang. Spotnya tidak seperti angkringan kebanyakan yang berupa gerobak dengan tenda biru dan mangkal di pinggir jalan. Angkringan ini tergolong mewah (sebagai angkringan). Di beberapa pojok, terdapat spot selfie yang juga menarik. Jadilah kami bergaya-ria di sana.

Minggu, acara bebas. Saya dan sejumlah teman memilih jalan-jalan ke Malioboro. Belum sah ke Yogya kalau belum ke Malioboro. Selain untuk berfoto-foto, juga sekaligus membeli oleh-oleh bapkia ke pabriknya.

Malam harinya, Melva mengajak jalan-jalan menikmati Tugu Yogya dan Malioboro lewat tengah malam, yang ternyata memang sangat eksotik. Kami pun sempat berfoto-foto di Tugu yang legendaris itu dan makan mie ceker di kafe ujung jalan Malioboro dekat Satsiun Tugu. Dilanjut foto-foto di trotoar dan jalan Malioboro. Di saat jalanan sepi kendaraan, aku pun bisa berpose di tengah jalan Malioboro, dan diabadikan oleh mas Roso. Sebuah pengalaman langka, kukira.

Ya Allah, nikmat apa yang bisa kudustakan dari manfaat silaturahmi. Semoga, kebersamaan ini berlanjut dalam ridho dan keberkahan Illahi. Amin. (ratu elty)

Penulis (Ratu Elty) berfoto di Malioboro. (foto: dok pri)

Penulis (Ratu Elty) berpose dengan latar belakang Candi Prambanan dan birungan langit Yogyakarta. (foto: dok pri)

Penulis (Ratu Elty) berfoto di tengah-tengah Jalan Malioboro, lewat tengah malam. (foto: dok pri)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *