Connect with us

Kabar

Elite Jakarta di Balik Proklamasi Kemerdekaan Republik Federasi Papua Barat

Published

on

KEDAULATAN NKRI di wilayah Provinsi Papua kebobolan, kata Alumnus Lemhanas RI Rahman Sabon Nama, Jumat siang (3/8), memerhati segelintir kelompok masyarakat orang asli Papua (OAP) memproklamirkan berdirinya sebuah pemerintahan sementara yang disebut Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB).

Proklamasi (declaration of freedom) diselenggarakan di areal kampus Universitas Cendrawasih Abepura-Jayapura, Ibukota Provinsi Papua pada Selasa 31 Juli kemarin sekitar pkl.10.00 WIT.

Proklamasi dikumandangkan oleh Yoab Stafle, yang menyebut dirinya sebagai Perdana Meneri, Kepala Pemerintahan Sementara NRFPB, dihadiri oleh sekitar 50 orang.

Rahman mempertanyakan, kenapa begitu leluasa proklamasi disintegrasi bangsa itu digelar, notabene di wilayah almamater perguruan tinggi, tanpa terdeteksi sebelumnya oleh intelijen negara.

“Ini benar-benar keterlaluan. Fungsi intelijen negara kita lemah, kurang berfungsi maksimal dan sungguh mengecewakan. Lalu, di mana BIN, Badan Intelijen Negara itu?” tanya Rahman sesal.

Kebobolan intelijen semacam itu, menurut Rahman, punya dampak politik serius. “Kita tidak ingin, kejadian berdimensi intelijen negara juga berdampak politik bagi Presiden Jokowi. Baik politik di dalam maupun luar negeri.”

Rahman menjelaskan, peristiwa seperti Proklamasi NRFPB oleh hanya segelintir orang itu kerap kali dieksploitasi oleh kelompok teroris dan separatis untuk menarik perhatian dunia Internasional untuk menunjukan eksistensi mereka.

Analis politik ini mengatakan pada April 2015, menjelang 52 tahun lahirnya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang jatuh pada 1 May 2015 di Merauke, ada yang memanfaatkan momentum ini.

“Ketika itu saya beri masukan kepada Presiden Joko Widodo bahwa untuk meredam keinginan merdeka sekelompok orang Papua dan tetap berada dalam pangkuan NKRI, maka semua tahanan politik orang Papua yang seringkali dicap sebagai separatis, dapat dibebaskan.”

“Selain itu, untuk membangun Papua dengan memahami keinginan dasar secara kejiwaan dan rasa dari suku bangsa Papua, maka saya juga usulkan kepada Presiden Jokowi, agar dibentuk Staf Khusus Presiden Urusan Papua. Alhamdulilah usulan-usulan itu diterima dan diwujudkan oleh Presiden.

Rahman mengatakan perhatian Presiden Jokowi terhadap Papua sangat spesial. Baik terkait dengan pembangunan fisik maupun kemanusiawiannya. Ini yang membuat masyarakat OAP merasa dekat dengan Presiden ketujuh ini.

Itu sebabnya, Rahman menduga kejadian  Proklamasi NRFPB, ada elite Jakarta ikut bermain. “Kejadian ini ada hubungannya dengan rivalitas Cawapres pendamping Jokowi. Saya menduga ada yang mendesain dan manfaatkan kejadian itu menjelang pendaftaran Capres dan cawapres Agustus ini. Ini politik penyanderaan,” kata Rahman.

Rahman yang suka menulis dan memerhati masalah Papua mengatakan bahwa kelompok yang bergabung dalam NRFPB punya relasi dengan kelompok bersenjata di Papua.

Persekongkolan makar dan pemberontakan itu dapat diketahui. Mereka berasal dari kelompok 19 Oktober 2011 yaitu Yabosembut dan Edison Waromi.

“Mereka itu juga bagian dari kelompok yang menyandera warga Mimika Nopember 2017 lalu yaitu Sabinus Waker kelompok bersenjata dari Tembagapura dan Tony Kwalik,” beber Rahman.

Mencermati situasi Polhukam terkini di Papua dan daerah perbatasan lainnya, Rahman mengatakan sebaiknya Presiden Jokowi fokus menangani seperatis Papua dengan menjadikan BAIS TNI berperan ganda di samping sebagai intelijen perang.

“Bila perlu Bainstranas (Badan Instalasi Strategi Nasional) Kemenhan dapat difungsikan menjadi Badan Intelijen Pertahanan untuk fokus pada daerah rawan konflik seperti Papua, Aceh dan daerah pinggiran perbatasan Kalimantan, Maluku dan NTT yang menjadi incaran imigran gelap asal RRC,” kata Rahman.

Hal itu menurut Rahman dapat dilakukan apabila Presiden Jokowi enggan mengganti Kepala BIN, karena nampaknya BIN tidak berfungsi maksimal, efektif, mengamankan kebijakan pemerintahan Jokowi dalam melaksanakan kepentingan  negara, bangsa dan rakyat.

Rahman membeberkan bahwa informasi yang dia peroleh, Proklamasi NRFPB dipicu oleh tujuh landasan politik selain dugaan manuver politik elite Jakarta: (a) Konvensi Montevideo 26 Desember 1933. (b) Piagam PBB 1 Januari 1942. (c) Aturan dan Prosedur Majelis Umum PBB. (d) Kongres Rakyat Papua Pertama 1961. (e) Kongres Rakyat Papua Kedua 2000. (f) Kongres Rakyat Papua Ketiga 2011. (g) Pembukaan UUD 45 Alinea Pertama.

Selain itu segelintir kelompok proklamator itu mengklaim bahwa mereka juga mendapat mandat  dari rakyat Papua melalui Kongres Rakyat Ketiga 19 Oktober 2011 hingga  31 Juli 2018.

Terhadap kejadian yang mengganggu kedaulatan itu, Rahman Sabon mengatakan, Presiden, melalui Menkopolhukam Jend (Pur) Wiranto sebaiknya segera mengusut tuntas dan mengungkap siapa dalang dan aktor intelektual di baliknya.

Pengusutan dan pengungkapan itu perlu, bahkan harus dilakukan, agar kejadian itu tidak digoreng-goreng oleh elite domestik maupun organisasi internasional yang senantia usil terhadap masalah Papua.

Terhadap kelompok itu, Rahman juga mendesak pemerintah mengambil tindakan hukum. Terutama elite dalam kelompok Proklamasi NRFPB. Tindakan hukum terhadap kelompok ini menurut Rahman, tidak dilakukan sebagaimana terhadap kelompok separais OPM. Tetapi terhadap kelompok pelaku kriminal dan teroris bersenjata di Papua. – Leste

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *