Connect with us

Feature

“Diplomasi Negarawan” Sunda, ala Dubes Yuddy Chrisnandi

Published

on

Dubes RI untuk Ukraina, Georgia, dan Armenia, Prof Dr Yuddy Chrisnandi, ME saat bersilaturahmi ke sesepuh Sunda, Solihin GP yang akrab isapa Mang Ihin. (foto: ist)

JAYAKARTA NEWS – Waktu seminggu di Tanah Air, dimanfaatkan Yuddy Chrisnandi untuk “berdiplomasi negarawan”. Sebuah istilah untuk menggambarkan status Yuddy yang Dubes RI untuk Ukraina, Georgia, dan Armenia, dan kiprahnya yang concern terhadap “kampanye negarawan”.

Pulang ke Indonesia pertengahan Januari 2019, Yuddy tidak duduk bermalas-malasan di rumah guna melepas lelah. Ia menyambangi kolega, senior, dan rekan media yang ada di Bandung, kota kelahirannya. Di samping, kota-kota lain seperti Cirebon, Bogor, dan tentu saja Jakarta.

Di kantor redaksi harian Pikiran Rakyat, Jl. Asia Afrika Bandung beberapa waktu lalu, Yuddy mengajak diskusi tentang perkembangan situasi politik yang memanas, jelang Pemilu serentak 17 April 2019. Statemen dia jelas dan tegas, “Indonesia terlalu banyak politisi yang hanya memprioritaskan kepentingan partai. Padahal, yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah negarawan.”

Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Reformasi Birokrasi (Men-PAN-RB) kelahiran Bandung 29 Mei 1968 itu, menilai kondisi masyarakat yang sangat dikotomis saat ini, harus dikendalikan. Jika tidak, bisa berpotensi rawan konflik. “Satu-satunya cara untuk meredam adalah mempertemukan dua calon presiden: Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo,” ujar Yuddy.

Dubes Yuddy Chrisnandi di kantor redaksi Harian Pikiran Rakyat, Jl. Asia Afrika, Bandung (foto: Pikiran Rakyat)

Yuddy yang merupakan bagian dari Paguyuban Pasundan mengusulkan adanya tokoh Sunda yang tampil merangkul dan mempertemukan kedua capres. “Konsep negarawan harus dikedepankan. Mulailah dengan menginsyafkan kedua capres, bahwa menang atau kalah, mereka harus saling bantu untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan makmur. Siapa pun yang kalah, terimalah dengan jiwa besar. Siapa pun yang menang, jangan jumawa,” tambah Dubes yang terkenal dengan langkah-langkah diplomasi budaya yang menonjol.

Ihwal Pasundan, Yuddy mengingatkan bahwa suka-tidak-suka, bangsa ini harus mengakui bahwa Bandung adalah salah satu kawah candradimuka negarawan Indonesia. Ia menyebut, Bung Karno melakukan gerakan kebangsaan-negarawan dari Bandung. Di Kota Kembang itu pula, Bung Karno memimpin buletin-buletin perjuangan kebangsaan seperti Fikiran Ra’jat, Suluh Marhaen, dan lain-lain. Bahkan, pledoi hebat “Indonesia Menggugat” lahir di Bandung.

Mengapa sejarah itu patut dan perlu dicatat. Sebab, kata Yuddy, Sunda memiliki filosofi kearifan lokal yang tepat. “Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna.”

Yuddy lalu menerjemahkan, “Artinya, Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya,” kata Yuddy.

Dalam kesempatan lain, Yuddy Chrisnandi meyakini, banyak tokoh Paguyuban Pasundan, organisasi yang didirikan sejak 1913 dan masih eksis itu, yang bisa tampil menjadi tokoh pemersatu kedua capres. Tokoh Paguyuban Pasundan harus ada yang tampil mempertemukan keduanya, agar mendinginkan suasana. Agar memastikan rivalitas Pilpres tidak akan mengoyak kerukunan bangsa.

Sejak era Bung Karno, Bandung telah memiliki banyak negarawan. Sebut misalnya Otto Iskandar Dinata yang dijuluki Si Jalak Harupat. Ada Iwa Koesoemasoemantri, Juanda, dan banyak lainnya. Tokoh-tokoh lain, Ada Umar Wirahadikusumah, Ali Sadikin, Solihin GP, Ginanjar Kartasasmita, Yogie SM, dan masih banyak lainnya. Tidak heran jika Yuddy pun menyempatkan diri untuk beungeut atau sowan ke Mang Ihin, panggilan akrab Solihin GP, salah satu sesepuh Sunda. “Siapa pun tokoh Sunda yang tampil mendinginkan tensi panas politik Indonesia dengan mempertemukan dua capres, yang penting dia haruslah seseorang yang berjiwa besar, nasionalis dan patriotik,” tuturnya.

Yuddy Chrisnandi dan Egy Massadiah. (foto: ist)

Selain bertandang ke Harian Pikiran Rakyat, sowan Mang Ihin, Yuddy juga berjumpa kolega dan kawan-kawan lain di Cirebon, Bogor, dan Jakarta. “Bersyukur, saya berkesempatan jumpa Dubes Yuddy dan berdiskusi. Memang benar, beliau concern betul dengan situasi politik Tanah Air yang memanas jelang Pemilu 2019,” ujar Egy Massadiah, salah satu sahabat Yuddy yang berprofesi jurnalis sekaligus budayawaan asal Sulawesi Selatan.

Eggy Massadiah, magister komunikasi Paramadina Graduate School itu sangat terkesan dengan konsep negarawan Yuddy yang disandarkan pada nilai-nilai kearifan lokal Sunda, sebuah tradisi yang membesarkannya. “Saya menjadi paham, mengapa sikap negarawan Dubes Yuddy sangat kental. Sebab, ia memegang teguh falsafah Sunda kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balareya. Itulah filosofi negarawan yang ia anut. Artinya kurang lebih, harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermufakat kepada kehendak rakyat. Sungguh luhur ajaran itu,” ujar Eggy. (rr)

Continue Reading
Advertisement
1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: “Diplomasi Negarawan” Sunda, Ala Dubes Yuddy Chrisnandi – Sulawesi Pos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *