Connect with us

Feature

Dionysus, Mitologi Yunani Rasa Kabuki

Published

on

Pementasan Dionysus, kolaborasi teaterawan Jepang dan Indonesia, persembahan Suzuki Company of Toga (SCOT) dan Bumi Purnati Indonesia, di Candi Prambanan, baru-baru ini. Foto: Gde Mahesa

Kalau harus dipuji, adalah prakarsanya. Lebih dari itu, pementasan Dionysus oleh Suzuki Company of Toga (SCOT) dan Bumi Purnati Indonesia, perusahaan yang berorientasi pada pengembangan seni budaya Indonesia di dunia internasional itu, biasa-biasa saja. Sedikit mengecewakan, bahkan. Begitu pendapat Gde Mahesa, salah seorang pelaku teater Yogyakarta.

Pementasan Dionysus di altar Candi Prambanan, Yogyakarta Minggu (30/9) malam pun berlangsung “garing”. Diawali opening musik bergaya etnik jepang dengan dentuman suara bedug/gendang mengiringi 7 orang dengan kostum dan make up putih, berjalan bagai sedang dalam acara ritual.

Warna Jepang tampak terasa, dan cukup mencengangkan ketika salah seorang prolog memakai bahasa Jawa. Menyusul kemunculan pelakon lain dengan pakaian ala samurai lengkap dengan pedangnya, berdialog memakai bahasa Jepang.

Lakon Dionysus, drama yang mengangkat mitologi Yunan. Foto: Gde Mahesa

Prakarsa memadukan bahasa Jepang dengan bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah lain (Rejang, Madura, Batak, Manado, dan Sunda) setidaknya patut diapresiasi. Menjadi persoalan ketika penonton yang tidak menguasai semua bahasa yang digunakan di atas panggung. Terlebih, tidak semua penonton mendapatkan synopsis atau booklet. Tak heran jika lebih dari separuh penonton tampak “plonga-plongo”.

Masih ada “gangguan” lain ketika menikmati Dionysus malam itu. Sutradara sepertinya tidak menghitung faktor lebar altar Prambanan, embusan angin, serta deru pesawat usai take-off maupun yang approach landing di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Tak pelak, vokal para pemain sesekali saja terdengar jelas, selebihnya terdengar sayu tertiup angin, atau sekadar tampak mulut membuka dan mengatup tetapi yang singgah di telinga adalah deru mesin pesawat.

Sekitar 30 menit pertama, pementasan Dionysus, sebuah lakon tragedi dalam mitologi Yunani itu, terasa menjemukan, monoton. Dialog meluncur tanpa ada emosi dan ruh. Blocking minimalis bahkan simetris serta miskinnya akting para pemain, melengkapi jenuhnya menyaksikan acara yang berlangsung kurang lebih 1,5 jam itu.

Celakanya, pemilihan lokasi di altar candi Prambanan ternyata tidak dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, ekostisme latar belakang candi Prambanan yang begitu indah dan megah, tak lebih bak tempelan lukisan di dinding. Belum lagi soal tata cahaya.

Penggunaan satu tone warna barangkali dimaksudkan agar objek di panggung tampak lebih mencolok. Tetapi di sisi lain, dengan lemahnya blocking dan akting para pemain, warna satu tone justru membuat keseluruhan pementasan menjadi flat. Tidak ada estetika emosi yang terbangun dari sebuah pementasan.

Penulis hanya menebak-nebak, barangkali sutradara menerapkan konsep teater minimalis. Minim warna, minim gerak, minim bentuk, minim karakter, minim ilustrasi musik…. Hasilnya memang minim pujian.

Dionysus mencari identitas?

Prof Dr Yudiaryani MA

Lain lagi pendapat Prof Dr Hj. Yudiaryani, MA, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta yang juga berkesempatan menonton malam itu. Prof Yudi menilai, pementasan Dionysus di Prambanan merupakan pertunjukan teater kolaborasi yang menarik yang dilakukan oleh seniman teater Indonesia, Cina, dan Jepang.

Tampaknyà metode training Tadashi Suzuki berhasil ditransfer kepada aktor-aktor Indonesia, Cina,  dan Jepang tentunya. Training yang berat dan lama dengan metode Suzuki sesuai dan pas bagi para aktor.

Tidak mudah bagi aktor-aktor muda untuk berjalan dengan halus tanpa bunyi langkah. Seolah kaki menggelinding seperti roda. Bak berjalan di elevator. Wajah pucat tanpa ekspresi.

Di adegan awal selama 30 menit para aktor diam dengan berdeklamasi mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Jawa, Jepang, dan lain-lain.

Tanpa latihan fisik yang teratur, ketat, dan disiplin, kehalusan inner acting mereka tidak akan terwujud. Untuk hal itu, bisa dibilang luar biasa!!

Penonton pun menyaksikan dengan diam dalam suasana hening. Running text membantu penonton memahami cerita. Musik memperkuat suasana agung sekaligus misteri.

Setting, tampak sangat minimalis dan efektif hanya 6 kursi bagaikan dewan para dewa penentu nasib Dionysus. Manusia kah dia?

Masih menurut Prof Yudi, kerja kolaboratif interkultur seperti Dionysus membayang kembali konvensi pertunjukan teater di akhir abad ke-20 yang berlanjut hingga saat ini. Indonesia memiliki banyak etnis yang dapat ditawarkan dalam bentuk kolaborasi dengan negara manapun. Sebanyak 17.000 pulau yang ada di Indonesia  memiliki bahasa dan adat sebanyak itu pula.

Mulai dari Mahabharata Brook, Oidipus Sang Raja Rendra, hingga I la Galigo Wilson, Hamlet Melayu Azwar, Karno Tanding ISI Yogya -Jepang. Pertunjukan interkultur semacam itu selalu menunjukkan pros-cons. Kekuatan kapital atau modal mewujud dalam wujud-wujud  diskriminasi dan ketidaksetaraan. Siapa memiliki modal dia akan tampil di depan. Begitulah Dionysus.Tidak ada lagi perbedaan mana aktor Indonesia, Cina, dan mana aktor Jepang. Semua aktor adalah “Jepang”. Mereka menampilkan cita rasa Kabuki.

Namun demikian, melalui seni kita tidak lagi mengenal batas. Kita tidak perlu konflik. Kita tidak lagi berbeda. Kita adalah satu. Pertanyaannya adalah: dimanakah identitas kita? Apakah era globalisasi membutuhkan identitas?

Jika memang identitas dibutuhkan di era globalisasi, maka seniman selayaknya mendudukkan unggulan tradisinya berhadapan dengan unggulan tradisi yang lain. Dan silang budaya yang terjadi menghasilkan kesetaraan dalam wujudnya. Begitu harapan Prof Yudiaryani. (gde mahesa)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *