Connect with us

Feature

Dilema Pengungsi Tsunami: Apa Boleh Buat, Pisang Mentah pun Dimakan

Published

on

SUARA kapal kayu pecah di luar rumah Maskah (39) pada Sabtu malam tanggal 23 Desember 2018, membangunkannya dari tidur warga Desa Sukaraja di Kabupaten Lampung Selatan tersebut.

“Saya tahu itu adalah tsunami, jadi saya berlari ke jalan di sebelah rumah saya dan lari sekencang mungkin  ke arah pegunungan,” kata Maskah. Dalam situasi darurat seperti itu, ia sama sekali tidak mengingat membawa apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya. “Saya  tidak membawa apa-apa, hanya pakaian yang kupakai.”

Penduduk desa lainnya juga mengikuti langkag Maskah. Mereka banyak yang membawa anak kecil. Mereka bergegas ke arah pegunungan dengan menyusuri  jalan berlumpur di Gunung Rajabasa. Mereka berusaha menuelamatkan diri dengan mencari ruang terbuka yang lebih tinggi.  Kebun Damos nama tempat itu.

Malam itu, sejumlah keluarga warga sedesa dengan Maskah, rela  menghabiskan malam dengan meringkuk bersama di bawah pohon dan tidur di atas daun pisang. “Hujan deras dan kami semua basah kuyup,” tutur  Maskah  berkisah.

Drama penyelamatan diri itu terjadi setelah tsunami dahsyat melanda provinsi Banten dan Lampung pada Sabtu malam.  Letusan gunung berapi Anak Krakatoa di Selat Sunda, sejauh ini dianggap menjadi penyebab utama terjadinya gelombang besar.

Sedikitnya  16.000 orang kini mengungsi, tidak terkecuali warga  dari desa Sukaraja, yang selama ini menetap di  dekat dengan garis pantai. Pada umumnya, mereka masih takut pulang, karena mengkhawatirkan terjadinya tsunami susulan yang akan menghantam desa mereka lagi.

 

 

Takut Serangan Gelombang
Pagi pasca terjadinya  tsunami, Maskah dan keluarga lainnya kembali ke rumah mereka untuk mengumpulkan pakaian dan barang-barang pribadi lainnya, sebelum kembali ke lokasi penyelamatan diri di  lereng gunung Raja Basa. Para warga benar-benar merasa takut  kalau-kalau Anak Krakatau kembali  meletus. Mereka terlalu trauma untuk pulang sampai saat ini.

“Suara itu di kejauhan bukan guntur,” kata Ruminah, 32, yang bertenanggaan dengan Maskah di  Sukaraja.

“Ini gunung berapi yang bergemuruh dan semakin keras. Anak Krakatau masih aktif.  Jadi kita harus waspada,” ujar Ruminah menambahkan.

Situasi di kamp pengungsian memang tidak nyaman, serba kekurangan. Tapi, bagi mereka, tempat itulah yang terbaik saat ini untuk lebih terjaminnya keamanan dan keselamatan para warga. Makanan, sejauh pengakuan warga, masih langka.  Hingga hari Rabu kemarin, para warga desa tersebut  belum menerima bantuan yang memadai dari pemerintah.

Para warga pun membangun tenda dengan bergotong royong dengan memanfaatkan  terpal dan kelambu yang ada di mereka. “Pada  malam hari, kita tidak bisa tidur,” kata Ruminah.

“Kami khawatir tentang ular dan laba-laba. Tadi malam, seekor kelabang besar masuk ke dalam tenda kami,” Ruminah bercerita.

Menurutnya, para warga sangat membutuhkan uluran bantuan dari pemerintah  untuk segera mengirimkan tenda yang tepat,  selimut dan peralatan memasak. Saat ini, mereka membuat api dari kayu yang dapatkan  di hutan untuk menyiapkan makanan mereka.

Masyarakat Lampung yang tidak terdampak bencana tsunami, sudah turun tangan dengan  menyumbangkan kerupuk, mie instan, dan air. Tapi, sumbangan yang datang dari warga sedesa dan tetangga desa itu masih belum mencukupi, mengingat kelompok pengungsi dari Sukaraja jumlahnya lebih dari 100 orang.

Para keluarga yang kehilangan tempat tinggal, tampaknya juga  telah mencoba untuk melengkapi makanan mereka dengan makanan yang diambil dari hutan di sekitarnya. Dalam situasi seperti sekarang ini, mereka bahkan mengkonsumsi pisang yang belum  matang dengan mereka rebus terlebih dahulu agar dapat dimakan.

Kesulitan Memberikan Bantuan
Seperti penduduk desa lainnya, Maskah dan Ruminah sangat kritis terhadap respons pemerintah terhadap bencana. Mereka menilai bahwa apa yang terjadi  sungguh  “mengecewakan”, karena bantuan belum menjangkau mereka.

Rabu (26/12/2018), Jarco, perwakilan dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), sebuah organisasi pemerintah non-struktural yang melapor kepada presiden, tiba di Kebun Damos untuk mencatat dan menilai  kebutuhan penduduk yang dipindahkan.

Menurut Jarco,  respons pemerintah yang lamban adalah karena masalah penyaluran logistik untuk mendapatkan bantuan ke daerah-daerah terpencil tersebut.

“Aksesnya sulit. Kami telah menawarkan warga kesempatan untuk berlindung di gedung sekolah menengah setempat, tetapi mereka tidak mau,” katanya.  Sejauh ini, bantuan warga lain  telah berusaha untuk mengisi kekosongan ini.

Hari Purnomo, seorang warga dari desa tetangga Rajabasa, sedang mengoordinasikan respons masyarakat setempat terhadap para warga  desa yang dipindahkan, sambil  mereka menunggu bantuan pemerintah tiba.

Selain kamp pengungsi di Kebun Damos, ada beberapa kamp pengungsi lainnya dari desa-desa lain yang tersebar di sekitar Gunung Rajabasa.

Hari Purnomo pun  mengumpulkan sumbangan untuk dibawa ke kamp. Dalam amatannya, Pemda setempat  hanya fokus pada distribusi bantuan di sepanjang pantai, sementara daerah yang lebih jauh ke pedalaman, terabaikan. Menurutnya,  sulit untuk memberikan bantuan kepada sekelompok yang lebih dari 1.000 orang itu dari wilayah pantai di Lampung Selatan, dimana mereka berlindung lebih jauh ke pedalaman di sepanjang lereng gunung.

“Saya sudah mencoba berbicara dengan mereka dan meminta mereka untuk datang sedikit lebih jauh ke bawah gunung,” katanya.

“Sangat sulit bagi kita untuk membantu mereka dan membawa makanan atau persediaan lain, karena tidak ada jalan di sini. Kita harus datang dengan sepeda motor dan kemudian berjalan kaki.” Masalahnya, warga desa Sukaraja, masih belum bersedia karena khawatir saat diminta ke lokasi yang lebih rendah.

Sulit Dijangkau
Otoritas setempat yang memberikan bantuan medis juga berusaha mengatasi hambatan serupa. Minak Wardan, sekretaris klinik kesehatan pusat di kabupaten Rajabasa, yang termasuk desa Sukaraja, mengatakan bahwa otoritas kesehatan telah mendirikan serangkaian klinik keliling yang telah mendorong ke daerah pegunungan untuk mendistribusikan obat-obatan.

Meskipun telah melakukan tiga perjalanan sejak tsunami, klinik-klinik tersebut belum dapat mencapai semua kamp karena kesulitan dalam mendapatkan akses.

Seperti Purnomo, Wardan telah mencoba berunding dengan warga. “Saya sudah berbicara dengan mereka dan meminta mereka untuk mempertimbangkan untuk turun, tetapi mereka tidak mau,” katanya  menjelaskan. “Mereka trauma.”

Maskah dan Ruminah sejauh ini belum punya  rencana untuk kembali ke rumah mereka di desa Sukaraja. Mereka mengatakan akan tetap berada di hutan sampai ancaman meletusnya Anak Krakatau yang memicu tsunami mematikan lainnya sudah tidak ada lagi.

Kepala Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi Indonesia, Dwikorita Karnawati telah meminta orang-orang untuk menghindari daerah pantai karena cuaca badai dan ombak tinggi terus mengganggu daerah tersebut.

“Semua kondisi ini berpotensi menyebabkan tanah longsor di tebing kawah ke laut, dan kami khawatir hal itu dapat memicu tsunami,” katanya.

Sebelas warga dari desa Sukaraja hilang dan diduga meninggal. Penduduk yang dipindahkan merasa bahwa kemungkinan terjadinya erupsi dan tsunami lain adalah tinggi.

“Petir di sekitar gunung berapi semakin buruk,” kata Maskah. “Di sini dingin dan berangin, tapi kami tidak ingin pulang. Kami takut laut.” (Aljazeera)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *