Connect with us

Feature

Demi Upah Lima Ribu Rupiah

Published

on

Buyar Winarso dan istri, Ninik Yuliani, difoto ‘wefie’ oleh Wininda, putri keduanya. (foto: ist)

JAYAKARTA NEWS – Menurut Anda, pikiran apa yang menari-nari di benak bocah belasan tahun, saat meninggalkan desa di pegunungan Alian, Kebuman menuju kota sebesar Bandung? Entah apa jawaban Anda, tapi Buyar Winarso hanya berpikir satu hal, “Kota besar adalah peluang mengais rezeki.”

Tentang mengapa kota Bandung yang menjadi tujuan merantau, Winarso tidak punya alasan khusus. “Sederhana saja… di Bandung kan ada paman. Jadi bisa nebeng. Itu saja,” ujarnya.

Meski keranjang rumput belum penuh, Winarso bergegas pulang. Hanya untuk sesaat, ia berdiri dan memandang padang rumput luas di sekitarnya. Ia memandang arit dan keranjang rumput barang sekilas. Dalam batin ia berkata, “Saya harus meninggalkan kalian… meninggalkan padang rumput, meletakkan arit, menyingkirkan keranjang. Saya harus ke kota, mencari penghidupan yang lebih baik.”

Winarso pun berjalan pulang. Sesampai di rumah, ia lekas mengutarakan niatnya kepada sang nenek yang hanya menatap keheranan, tetapi toh akhirnya mengangguk, tanda setuju. Begitu pula ketika ia mendatangi ibunya, dan mengutarakan niat yang sama seperti yang ia sampaikan kepada nenek. Ibunya merestui, meski dengan berat hati.

Tiba pada perhitungan hari baik, Buyar Winarso berpamitan menuju Bandung. Segenap keluarga melepas kepergiannya dengan pancaran seribu-rupa. Ada rupa berat hati, ada wajah penuh harap, ada raut belas kasih…. Di atas semua wajah itu, tampak jelas ada sejumput doa yang dipanjatkan bagi kelancaran niat mulia Winarso menyabung nasib di Kota Kembang.

Buyar Winarso, santai di peternakan sapinya di bilangan Widoro, Kebumen. (foto: ist)

Pelayan Restoran Padang

Paris van Java masih berselimut kabut, ketika kereta api ekonomi yang dinaiki Winarso tiba. Dengan menumpang becak, ia tiba di rumah paman. Pamannya tengah bersiap berangkat kerja di salah satu rumah sakit. Melalui perbincangan singkat, sang paman pun mengetahui “angin” apa yang membawa keponakannya sampai ke Bandung.

Sejurus kemudian, rumah sepi, dan Winarso bisa beristirahat barang sesaat. Lepas dhuhur, Winarso melangkahkan kaki keluar rumah. Tujuannya cuma satu: Mencari pekerjaan. Ia menapaki trotoar kota Bandung. Di antara pandangan kagum akan hiruk-pikuk kota besar, mata Winarso tak pernah luput memelototi bangunan demi bangunan yang dilewati, demi menemukan kata “Lowongan”.

Winarso berkisah, area yang ia telusuri, tak jauh dari rumah tinggal paman. “Umur saya baru sekitar 13 tahun. Saya takut nyasar… jadi saya berkeliling di jalan-jalan sekitar saja,” katanya, mengenang hari-hari pertama di kota Bandung.

Suatu saat, langkahnya terhenti, demi melihat di seberang jalan, tampak ada aktivitas pembangunan sebuah restoran Padang. Ketika itu, para pekerja sedang melakukan kerja finishing, memasang etalase, menata-atur meja kursi, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang Winarso terjemahkan sebagai, “rumah makan itu pasti tidak lama lagi buka. Maka besar kemungkinan butuh tenaga. Tidak ada salahnya saya bertanya.”

Winarso masih ingat, rumah makan yang dia maksud, terletak di Jalan Dipati Ukur, tak jauh dari kampus Universitas Padjajaran (Unpad). Setelah mengumpulkan semua sisa tenaga dan keberanian, ia pun menyeberangi jalan itu, menuju bangunan restoran yang ia incar.

Santun ia bertanya, di mana ia bisa jumpa pemilik restoran. “Ada apa dik?” sapa sang pemilik ramah. Dengan lancar, Winarso mengutarakan niatnya untuk bekerja di restoran itu. Gayung bersambut. Lamaran lisan dan kilat itu, langsung diterima. Ya, Buyar Winarso diterima bekerja di restoran Padang.

Pada hari yang ditentukan pemilik, Winarso datang ke rumah makan itu. Itulah hari pertama ia menjadi pekerja. Ia bahkan sudah diberi tahu, pada akhir bulan, akan menerima upah lima ribu rupiah. “Sekitar tahun 1977, uang lima ribu sebenarnya cukup. Tapi saya sungguh tidak memikirkan nilai upah. Yang ada di pikiran saya, saya bisa bekerja dan tidak tergantung orang lain,” ujarnya.

Jenis pekerjaan apa yang membuatnya digaji lima ribu rupiah per bulan? Winarso menyeringai dan menjawab, “wah… saya mengerjakan apa saja. Mulai dari mencuci piring, mengepel, beres-beres, sampai melayani pembeli.”

Hari-hari pertama, dirasa begitu berat. Maklumlah, seberapa besar kekuatan fisik anak 13 tahun? Sementara yang harus dia kerjakan begitu banyak dan beragam. Akan tetapi, Winarso menekuninya dengan baik. Lelah tak dirasa, letih tak digubris. Sebulan berlalu, dan ia menerima upah lima ribu rupiah.

Ia simpan baik-baik gaji pertamanya. Hatinya sama sekali tidak punya keinginan untuk membelanjakannya, meski hanya sekadar membeli sepotong baju baru atau celana baru. Tidak. Ia simpan baik-baik gaji itu. “Saya bisa menyimpan utuh uang gaji. Bagaimana tidak? Urusan makan, sama sekali tidak masalah, karena saya bekerja di rumah makan. Sedangkan untuk tinggal, saya tidak harus bayar uang kos, karena tinggal di rumah paman,” ujarnya.

Bahkan, ia tidak perlu keluar ongkos transportasi, karena untuk bekerja, ia cukup jalan kaki. “Waktu itu, saya merasa, jarak rumah paman ke tempat kerja, tidak jauh. Belakangan baru saya tahu, bahwa jarak rumah ke tempat kerja, sekitar empat kilometer…. ha…ha…ha…. Lumayan juga yaaa…. Tapi saya jalan kaki. Berangkat pagi, masih segar, dan pulang malam, sudah dingin. Jadi tidak melelahkan. Dengan berjalan, saya tidak perlu keluar uang,” kata Winarso disusul tawa lebarnya.

Tak terasa, bulan kedua berlalu, dan lagi… lima ribu rupiah masuk ke pundi-pundi uang pribadinya. Uang yang ia dapat dari jerih payahnya sendiri. “Seingat saya, tidak ada kejadian aneh-aneh selama saya bekerja. Majikan tidak pernah memarahi saya. Saya pun, boleh dikata tidak pernah melakukan kesalahan fatal. Jadi, semua baik-baik saja,” kenangnya.

Lewat bulan ketiga, maka tabungan Winarso sudah berjumlah Rp 15 ribu. “Sungguh, untuk ukuran tahun 70-an, uang segitu saya anggap sangat besar,” kata Winarso bangga.

Ketika uang terkumpul Rp 15 ribu, hasil kerja keras tiga bulan di rumah makan Padang, suatu malam, menjelang tidur, nalarnya menari-nari di langit-langit kamar. Sebuah nalar logis, tentang pilihan jalan yang bisa ia lakukan. Sebuah pilihan, memanfaatkan uang Rp 15 ribu sebagai modal dagang, atau tetap bekerja sebagai pegawai restoran.

Langit-langit kamar penuh dengan berbagai bayangan. Yang muncul ketika itu adalah, bayangan suram tentang sebuah fakta, bahwa dengan gaji Rp 5 ribu per bulan, sulit baginya untuk menggapai mimpi-mimpi besarnya. Di sisi lain, terhampar sebuah bayangan menggoda, yakni sebuah ilustrasi success story memanfaatkan tabungan untuk berdagang.

“Saya berkesimpulan, dengan pendapatan lima ribu per bulan, toh saya tidak bisa bersekolah. Apakah akan menjadi pegawai restoran sampai tua, lantaran hanya berijazah SD?” sebuah tanya memenuhi rongga kepala. Keputusan pun diambil sebelum tengah malam. Bahwa ia harus memanfaatkan tabungan itu untuk berdagang. Dengan berdagang, ia bisa mendapatkan keuntungan. Dengan keuntungan, modalnya akan semakin besar. Jika dagang berjalan lancar, maka keuntungan pun semakin besar. Maka, ia bisa menggaji orang untuk menjalankan dagangannya, sementara ia kembali ke bangku sekolah.

Mantap hati Winarso untuk beralih-profesi, dari pekerja rumah makan menjadi pedagang. Pilihan dagangan, ia putuskan berjualan rokok. Maka, setelah melewati tahap perenungan yang dalam, serta meminta pertimbangan paman dan teman, ia pun memutuskan mengundurkan diri dari tempatnya bekerja, dan bertekad menyabung nasib dengan berdagang.

Pilihan rokok, menurut nalar Winarso yang remaja, adalah pilihan simple. Selain modal yang dibutuhkan tidak banyak, ia sudah lama mengincar tempat strategis untuk berjualan, yakni di depan Gedung Sate, tepatnya di depan kantor Telkom. Selain banyak karyawan PNS Pemprov Jawa Barat, juga pegawai Telkom dan masyarakat yang lalu-lalang di lokasi yang memang sangat ramai itu. “Pasti laris,” batinnya.

Alhasil, seluruh uang tabungannya ia kuras untuk keperluan berdagang, mulai dari membuat lapak dari kayu, belanja rokok aneka merek, serta jualan penunjang lain seperti korek api, permen, dan lain-lain.

Bismillah,” Buyar Winarso remaja pun memulai berjualan rokok. Persis seperti yang ia perkirakan. Tanpa promosi, tanpa cuap-cuap, para pembeli berdatangan. Ada yang beli rokok per bungkus, ada yang beli rokok per batang. “Zaman itu, orang beli rokok sebatang-dua-batang itu lumrah. Jadi saya layani saja,” ujarnya.

Pelan tapi pasti, usahanya berjalan dengan baik. Kerja kerasnya menampakkan sinar terang. Winarso pun mulai mendapatkan pelanggan tetap, yakni para PNS kantor gubernuran (Gedung Sate) dan para karyawan di sekitarnya. “Pembukuan? Ah, kalau ditanya pembukuan, yaaa ngerti apa sih anak lulusan SD. Modalnya cuma cermat. Saya hitung, saya catat,” ujarnya.

Pencatatan menjadi hal penting, manakala satu-dua pelanggan mulai berutang. Winarso mengaku, awalnya sempat khawatir, bagaimana kalau tidak dibayar? Bisa rugi nanti. Pada saat bersamaan, Winarso juga meyakini, para pelanggannya baik dan jujur, ditambah mereka adalah pegawai negeri. Dengan begitu, ia pun mulai membuka catatan bon-bonan rokok alias catatan utang rokok dari para pelanggan.

Alhamdulillah lancar. Saya tidak mengalami utang macet. Mereka yang berutang rokok, selalu bayar setiap tanggal 1 atau sehabis gajian. Benar-benar lancar. Usaha saya makin berkembang, bahkan kemudian saya bisa memiliki kios permanen. Barang dagangan pun lebih beragam,,” ujar Winarso, seraya memungkasi penuturannya, “saya juga berjualan minuman dan aneka snack.”

Kurang dari tiga tahun Winarso menekuni profesi penjual rokok, sampai tahun 1980. Saat itu, bagi anak seusia dia, uang sudah tidak lagi menjadi persoalan. Tiba saatnya ia memutuskan pulang ke Kebumen, melanjutkan sekolah. Bisnis rokoknya, diyakini bakal mengalirkan biaya pendidikannya nanti.

Jika Anda berpikir, itulah akhir cerita dan akhir derita Buyar Winarso, keliru…. (Roso Daras – Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *