Connect with us

Feature

Catatan Tersisa di Puncak Kosakora

Published

on

Penulis (Monang Sitohang) di Tebing Sunglon. Dari atas tebing ini, pemandangan Pantai Drini tampak lebih indah. (foto: dok pri)

JAYAKARTA NEWS – Apa lagi yang tersisa dari perjalanan Jayakarta News ke Yogyakarta, 1 – 4 Februari 2019? Rasanya semua sudah dituang dalam lebih dari 20 tulisan ringan yang menghibur. Entah mengapa, ada dorongan kuat untuk menulis lagi, meski peristiwa itu sudah sebulan berlalu. Kenangan indah di Yogya, seperti tak mau enyah dari benak.

Baiklah, aku mulai dari jauh sebelum jadwal keberangkatan ke Yogya. Sekitar delapan bulan sebelumnya, WA Group Jayakarta sudah ramai bahasan acara ke Yogya, untuk Rapat Kerja sekaligus Perayaan Ulang Tahun ke-2 Jayakarta News. Seketika hatuku berkata, “Aku akan ikut.”

Sebagai koresponden yang bertugas di Medan, sangat jarang mendapatkan kesempatan kumpul bareng teman-teman Jayakarta News secara lengkap. Itulah alasan pertama mengapa ada dorongan kuat untuk ikut.

Alasan kedua, sejak pertama menginjak bumi Yogya tahun 2013, sejak itu pula tahun berganti tahun terhimpun kerinduan yang makin besar untuk bisa kembali datang ke sana. Saya sangat terkesan dengan keindahan pantai-pantai yang ada di wilayah selatan Yogyakarta.

Hari itu pun tiba. Tanggal 30 Januari saya berangkat dari Medan menuju Jakarta. Menyisakan dua malam sebelum tanggal keberangkatan 1 Februari 2019. Malam pertama saya gunakan menginap di rumah adik. Malam kedua, saya dan sejumlah teman menginap di hotel melati dekat stasiun, menjamin tidak ketinggalan kereta yang dijadwal berangkat pukul 06.15 WIB.

Sore sebelumnya, saya sudah berkomunikasi dengan Agus Sundayana, bendahara perkumpulan Jayakarta 98, dan janji temu pukul 20.00 di stasiun UI Depok. Tidak sampai satu jam kemudian, kami sudah tiba di penginapan yang sudah dipesan sebelumnya. Di sana sudah ada Latifah, Nanang, Herdy, dan Irawati. Sedangkan, Elty, malam itu tiba di penginapan hampir tengah malam, seusai mengurus pencetakan tiket para peserta.

Usai makan durian yang saya bawa dari Medan, kami ngobrol sebentar sebelum masuk kamar. Niatnya istirahat, biar besok pagi menjalani perjalanan dengan fresh. Tiba-tiba Agus berkata, “Bang Monang, saya susah tidur kalau di tempat yang baru. Apalagi pakai kipas angin. Kipas angin belum hidup, rasanya sudah masuk angin duluan….”

Aku tertawa mendengarnya. Kujawab singkat, “Sama pak Agus. Saya juga.”

Aku mencoba tidur. Kukira Agus juga. Suasana malam menampakkan jati dirinya. Hening. Hanya sesekali terdengar deru knalpot kendaraan di kejauhan sana.

Sudah kucoba, tapi gagal. Ya, gagal untuk tidur. Jika kemudian tertidur, aku yakinkan waktu tidurku tidak lebih dari satu jam, ketika terbangun pukul 05.00. Kami toh harus bersiap-siap.

Latifah mengajak kami semua sarapan di rumah adiknya, tak jauh dari hotel tempat kami menginap. Episode kami tergopoh-gopoh nyaris tertinggal kereta, sudah diceritakan Nanang di tulisan ini: https://jayakartanews.com/lima-menit-lagi-ah-ah-ah/

Tepat pukul 06.35 ketika sang masinis menjalankan “Semboyan 35”, yang artinya menghidupkan klakson menandai keberangkatan sepur. Jug-ijag-ijug-ijag-ijug…. kereta berangkat menuju kota Yogya. Sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan. Gerbong kereta bertabur tawa-canda.

Jam terus bergulir, roda kereta terus berputar, lokomotif terus menderu, kereta Fajar Utama Yogyakarta itu pun tiba. Di sana, sudah ada sepasang mata bola menunggu. Bola-mata Gde Mahesa, wartawan Jayakarta News yang bertugas di Yogya. Ia sudah membawa mini bus untuk mengangkut kami menuju Wisma Ainard, Jl Miliran, tempat kami menginap.

Usai mengikuti serangkaian acara yang disusun panitia, tibalah hari Minggu (3/2), hari di mana peserta bebas mengeksplore kota Yogya. Jadilah sejumlah teman ke Solo, ada yang wisata Malioboro, ke Mataram kuno, dan lain-lain. Kami memilih wisata pantai, dipandu Laksmi Wuryaningtyas, wartawan senior Jayakarta, yang kebetulan asli Gamping, Yogyakarta.

Sebelum berangkat, rombongan “Anak Pantai” berfoto di depan Wisma Ainard, Jl Miliran Yogya, dengan Toyota Hi Ace yang dikemudikan Mas Bowo. (foto: dok jayakarta news)

Pukul 10.30, mobil Toyoga Hi-Ace berkapasitas 16 orang sudah tiba. Kami menyempatkan berfoto-foto sambil membentangkan banner Jayakarta Goes to Jogja. Rombongan kami terdiri atas saya sendiri, Agus S, Ridwan Maga, Gatot S, Nanang S, Martua Silalahi, Laksmi dan Aliefien.

Laksmi memintaku duduk di depan, di samping mas Bowo, sang sopir. Ini sungguh menyenangkan. Pengalaman melihat pemandangan langsung perjalanan Yogya ke Gunung Kidul, melalui Piyungan, Patuk, Wonosari dan Pantai Baron serta objek wisata pantai lainnya.

Mas Bowo sungguh sopir pariwisata yang profesional. Selain mahir mengemudikan kendaraan, ia juga berpengetahuan luas tentang objek-objek yang akan kami kunjungi. Bahkan ia bisa menjawab dan menjelaskan apa pun pertanyaan kami. Jadilah perjalanan 1,5 jam itu kami tempuh dengan tanpa rasa lelah sama sekali. Ketika mas Bowo menginjak pedal rem dan menghentikan kendaraan, di depan sana terhampar pemandangan indah Pantai Drini.

Di atas Drini, terdapat Puncak Kosakora. Dari atas sana, konon mata manusia bisa laksana mata dewa…. melihat ke segala penjuru dengan indahnya. Apa daya, untuk menuju puncak Kosakora, perlu napas yang cukup, stamina berlebih, dan nyali yang tangguh. Bayangkan, naik ke puncak. Ukuran normal, dibutuhkan waktu 20 menit untuk mencapai puncak. Ukuran “tidak-normal” bisa 30 menit, satu jam, atau batal melanjutkan pendakian….

Yang terjadi pada rombongan kami adalah, urung mendaki Puncak Kosakora. Alasannya, siang itu sinar matahari sangat terik membakar bumi. Tapi sesungguhnya, kami orang-orang yang sadar usia….. Dan akhirnya, kami memilih menikmati indahnya Pantai Drini.

Kami berjalan menelusuri tepi pantai. Tak jauh dari bibir pantai terlihat banyak gazebo, boat, payung dan lainnya yang siap untuk disewa. Dari jauh maupun dari dekat, air laut Pantai Drini begitu jernih terlihat biru. Tak jauh dari kami berdiri, tampak petani rumput laut sedang memanen hasil jerih payahnya. Di ujung mata, tampak sebuah pulau kecil seperti Tanah Lot di Bali.

Untuk mendapatkan spot-spot yang Indah, maka rombongan “Anak Pantai” menuju tangga yang terbuat dari bambu menempel dinding karang. Pengunjung dikenakan Rp 5.000 untuk menaiki tangga itu sampai ke puncak. Saat semua peserta sudah di atas, ada satu yang belum kelihatan, Gatot. Kami sempat panik, mengira dia hilang…. Apalagi ketika ponselnya tidak aktif.

Syukurlah, di tengah kepanikan tiba-tiba dia nongol dengan langkah gontai. Tidak jelas, apakah karena lelah, atau takut jatuh. Yang pasti, setelah ngumpul, kami pun berfoto-foto.

Puas berwisata pantai, kami melanjutkan perjalanan melintas jalan Daendels (JJLS-Jalan Jalur Lintas Selatan) menuju Panggang – Pantai Teras Kaca – Jembatan Siluk – Imogiri dan akhirnya sampai kembali ke kota Yogyakarta. (Monang Sitohang)

Kelompok “Anak Pantai” berfoto di Pantai Drini, Yogyakarta. (foto: dok jayakarta news)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *