Connect with us

Feature

Catatan Atas Catatan, “Closing Report to Yogya”

Published

on

Sebagian peserta Jayakarta Tour de Jogja, Februari 2019. (foto: dok jayakarta news)

JAYAKARTA NEWS – Hampir semua awak Jayakarta yang tur ke Yogya akhirnya menulis. Menumpahkan pelbagai pengalaman dan kesan, serta kenangan yang didapatnya. Sejak berangkat hingga kembali ke Jakarta.

Bukan hanya teman-teman redaksi yang menuangkan letupan-letupan pikirannya maupun torehan rasa dalam laporan  “Tur ke Yogya”. Namun semua orang yang selama ini mengurus keuangan, iklan, sirkulasi, kesekretariatan, dan lainnya menulis juga. Dan menarik. Bahkan banyak hal yang baru saya ketahui.

Tentu yang saya maksud tentang konten sajiannya. Lucu, unik, dan menyentak.  Kadang membuat kita terperangah, atau diam merenung, dan bisa jadi terpingkal-pingkal sendiri.

Sekretaris kita, si Ratu Elty, misalnya, atas pengakuannya yang ditumpahkan dalam tulisannya, kini bisa tampil apa adanya dalam komunitas Jayakarta. Selama ini ketua majelis taklim di komplek tempat tinggalnya, kawasan Bogor Selatan ini menjadi orang yang jaim (jaga image).

Maklum bukan?! Sebagai ketua majelis taklim, yang kadang dipanggil ustadzah, tentu harus menjaga wibawa di depan anggotanya, meskipun barangkali ibu-ibu itu lebih tua usianya, atau mungkin sudah nenek-nenek. Tak hanya dalam perkumpulan pengajian, tapi juga ketika sedang bepergian bersama, seperti wisata ziarah  ia kudu kendalikan jaimnya.

Elty juga pernah menjadi ketua komite di sekolah anak-anaknya. Semua ini mengubah dan membentuknya menjadi Elty yang lain. Konsekuensi “jabatan”! Namun akhirnya ia pun mengaku ketika kembali ke habitatnya, bersama teman-teman Jayakarta, maka tanggallah upaya-upaya jaimnya itu. Lepaslah beban “jabatan” yang memasung geraknya, dan membelenggu “pikirannya”. Kini ia bisa bercandaria dengan teman-temannya, baik perempuan maupun laki-laki.

Di sini tak ada sekat memang, kendati anggota Perkumpulan Jayakarta  -wadah baru dari eks Harian Jayakarta– yang setelah keluar pernah menyandang pelbagai status/posisi. Ada Abah (Achmad Fachrudin), pengamat politik, ada mantan Pemred, seperti Edi Koko dan Roso Daras, ada pengusaha parkir -Ridwan Maga, calon pendeta -si ito Melva Ulido Tobing. Namun jika bertemu kita tetap seperti teman  “satu aliran dan seperguruan”: Jayakarta “ Arus”.

Tentang mbak Ira, juga banyak yang tak menduga akan senekat itu. Perempuan yang keibuan banget ini tiba-tiba naik sepeda gantung di Taman Wisata Candi Prambanan. Bargaya pula, dan melambaikan tangan. Tak kusangka, bunda! Dan ternyata, dia sendiri juga tak mengira punya nyali seperti itu. Lho…?

Entah ya, karena suatu kondisi, situasi, atau dorongan apa pun, kita pada suatu saat dan momen tertentu, kadang seperti berhadapan dengan diri sendiri. Bertanya-jawab tentang keakuan diri. Saya kok bisa begitu, aku kok bisa tersenyum…., padahal sehariusnya marah, dan lain-lain hal  yang bisa jadi kita sendiri tak paham. Atau, seperti  di luar kemampuan, kita justru bisa raih dan genggam apa yang sebelumnya dianggap tak mungkin.

 

Teropong Nina

Nah, terkait hal ini kita bisa tengok juga tulisan Nina Ernaningtyas, yang sepertinya meneropong kedirian kita dari jauh. Sungguh dari jauh. Tak hanya dipisahkan jarak antara Yogya dan Jakarta. Tapi juga  jarak waktu. Kita lama tak bersua, kendati jarak itu bisa ditempuh satu jam dengan pesawat terbang. Tapi jarak situasi tetap tak pernah mempertemukan kita dan Nina.

Dia merasa kecele. Dikiranya langkah-langkah kita sudah melambat seiring bertambahnya usia. Ternyata, di luar bayangannya. Dalam beraktivitas teman-temannya tak berubah jauh. Aktif, dinamis, dan…. gaya urakannya tak berubah. Tapi tetap santun tentunya.

Profesi  jurnalistik ini, Nina cukup tahu. Enam tahun dia berada di dalamnya. Termasuk risiko yang mesti dihadapi. Bagaimana perburuan wartawan mengejar narasumber, dan pelbagai peristiwa yang terjadi. Semua itu dilakukan dengan mobilitas tinggi dan senantiasa berpacu dengan waktu di tengah situasi Jakarta yang acap disergap kemacetan lalulintas.

Banyak yang terus bergulat, dan tak sedikit pula yang mundur dan berganti profesi. Jadi PNS, wirausaha, atau karyawan swasta. Mereka termasuk orang-orang yang “bertobat”. Ya bertobat, pinjam istlah Aqua Dwipayana, mantan wartawan Jawa Pos, menyebut dirinya sendiri ketika berhenti jadi wartawan, lalu melanjutkan studi dan beralih profesi, hingga menjadi motivator beken.

Saya selalu ingat kata-kata wartawan The Washington Post yang pernah mendapat hadiah Pulitzer, penghargaan tertinggi untuk jurnalis di Amerika Serikat. Mengingat kerja wartawan yang seperti tak kenal batas waktu, dan “kegilaannya” bekerja, serta sepak terjang dan pelbagai risiko. Sang jurnalis tersebut mengatakan,  bahwa hanya orang gila yang mau jadi wartawan. Gila panggilan profesi tentunya!

 

Yang Tercecer

Pengalaman yang agak mendebarkan dialami Nanang S dan beberapa teman ketika hendak berangkat. Mereka nyaris ketinggalan kereta api. Konon, jelang stasiun, hanya punya waktu lima menit yang sangat menentukan. Jika tidak terkejar tentu akan lain cerita. Mereka bertiga mungkin urung pergi. Kalaupun berangkat harus ganti transportasi. Tiket kereta sudah ludes. Satu-satunya bus. Pesawat? Entahlah.

Sebetulnya kami (di antaranya saya, Diana, Melva, dan Rina Ginting) juga mulai tak tenang mendekati keberangkatan kereta. Pasalnya, Elty yang bawa tiket belum datang. Kami hanya meggerutu. Padahal Elty dan beberapa teman yang rumahnya cukup jauh pilih tidur di penginapan dekat stasiun. Jadi, kami yang datang awal pun sempat dag dig dug.

Namun, perasaan kesal segera sirna begitu Elty muncul, lalu kami memasuki kereta. Lega, bahkan segera mengeluarkan bekal makanan. Sarapan. Lalu mulai jeprat-jepret, berfoto-ria. Rombongan Jayakarta paling ramai cuap-cuapnya dalam gerbong di antara penumpang lain. Begitulah catatan yang masih tercecer.

Selain itu, di acara tukar kado, terselip juga romantika. Saya dapat sendal jepit batik. Lumayan nyaman dipakai di dalam rumah. Yang dapat handuk kecil, tampak senang juga, malah berkata,  “oh, tahu aja  ini, aku mau beli handuk.“

Lalu ada teman yang memperoleh kado cukup bagus, lukisan dari seorang bocah berbakat. Yang spesial pun ada. Bukan karena harganya yang kutaksir “bagus”, tapi manfaatnya pun bernilai abadi. Yang beruntung si Elty.

Apa isi kado itu? Ia tunjukkan kepadaku sambil berlalu. Selembar sajadah halus warna coklat. Elegan. Elty tersenyum. “Semoga bermanfaat,“ ujarnya. Dalam hati kudoakan pula, semoga nanti dilengkapi mukena dan tasbih. Biar dapat kusebut seperangkat alat shalat. Closing Report….! (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *