Connect with us

Feature

Bung Karno yang Menggagas, Joko Widodo yang Bertugas

Published

on

Bung Karno yang menggagas, Joko Widodo yang bertugas. (grafis: jayakartanews)

Jayakarta News – Menyoal –apalagi menentang– pemindahan ibukota negara adalah upaya melawan laju sejarah. Selain bukan isu baru, hikayat bahkan mencatat, pemerintah di periode awal kemerdekaan telah beberapa kali memindahkan ibukota negara dengan berbagai alasan.

“Singkirkan dulu ego sektoral ataupun interest yang lain. Samakan dulu persepsi, bahwa tidak ada satu pun yang bisa membantah, bahwa pemindahan ibukota negara ini adalah salah satu upaya percepatan dan pemerataan pembangunan. Muaranya pada kesejahteraan masyarakat yang lebih luas,” ujar peneliti LIPI, Prof (Ris) Hermawan Sulistyo kepada Jayakarta News, baru-baru ini.

Bahkan Kikiek –begitu ia akrab disapa— meyakini, bentang sejarah pemindahan ibukota negara yang sudah lalu, sedikit-banyak berlatar belakang itu, meski dengan pengertian yang lebih luas. Ia menunjuk pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Alasannya, kondisi Jakarta tidak kondusif.

Sekutu yang diboncengi tentara Belanda telah menebar teror keamanan bagi negara yang baru lahir. Presiden Sukarno bahkan pernah mengalami hidup berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain, demi menghindari usaha pembunuhan tentara bayaran Belanda. “Lebih dari sekadar pemerataan dan percepatan pembangunan serta isu-isu kesejahteraan, latar belakang peristiwa itu memiliki muatan hidup dan matinya republik. Apa jadinya kalau republik bubar sebelum berkembang?” tandas profesor yang menyandang sabuk Dan IV Inkai itu.

Prof (Ris) Hermawan Sulistyo. (foto: jayakartanews)

Lalu, agresi Belanda kedua akhir 1948 yang berujung pada penangkapan dan pembuangan presiden ke Bangka, memaksa Presiden Sukarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan begitu, ibukota negara pun pindah dari Yogyakarta ke Bukittinggi, Sumatera Barat, dengan sosok Sjafruddin Prawiranegara sebagai acting presiden. Itu terjadi 18 Desember 1948. “Sekecil apa pun peran PDRI, ia menjadi sekrup vital dalam rangkaian berdirinya NKRI hingga sekarang,” tandasnya.

Sjafrudin Prawiranegara (tengah) bersama Bung Karno. (foto: ist)

Sekitar tujuh bulan beribukota di Bukittinggi, ibukota negara kembali dipindah ke Yogyakarta, menjelang berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS), tepatnya 6 Juli 1949. Di akhir tahun, Sukarno diambil sumpahnya di Sitihinggil Keraton Yogyakarta sebagai Presiden RIS. Satu-bulan-sebelas-hari kemudian, tepatnya 17 Agustus 1949, Bung Karno membubarkan RIS dan kembali kepada negara kesatuan RI dan kembali menempati kota Jakarta sebagai ibukota negara.

Sampai di titik ini, tambah Hermawan Sulistyo, setidaknya ibukota negara sudah empat kali pindah dari Jakarta. Pertama ke Yogyakarta, kedua ke Bukittinggi, ketiga ke Yogyakarta, dan keempat ke Jakarta.

Nah, sejak tahun 1949 hingga 2019 pun kita mengalami beberapa kali diskursus pemindahan ibukota negara. Yang pertama adalah Bung Karno, ketika tahun 50-an berkunjung ke Kalimantan Tengah, sekaligus meresmikan kota Palangkaraya sebagai ibukota provinsi yang baru dibentuk.

Perlu waktu 36 jam bagi Presiden Sukarno untuk bisa menginjakkan kakinya di desa terpencil di pedalaman Kalimantan Tengah bernama Pahandut. Selama 36 jam pula, presiden pertama Republik Indonesia itu terapung-apung di atas joli-joli (sejenis perahu layar kecil), menyusuri hampir tiga-per-empat panjang Sungai Kahayan yang hampir 600 kilometer. Peristiwa bersejarah itu terjadi tanggal 17 Juli 1957.

Hingga Bung Karno lengser tahun 1967, cita-cita memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya tak terwujud. Lalu selama hampir tiga dasawarsa kepemimpinan Presiden Soeharto, wacana itu muncul sekali di tahun 1997, dengan menunjuk daerah Jonggol sebagai pilihan. Jonggol adalah sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor, sekitar 55 kilometer tenggara kota Jakarta. Hingga Pak Harto lengser setahun kemudian, wacana itu pun menguap.

“Lepas dari saya tidak setuju ibukota negara pindah ke Jonggol, tetapi harus dipahami, bahwa jika itu terjadi tahun 1997, maka bisa dipastikan pembangunan di Jonggol dan sekitarnya sangat maju. Dengan sendirinya, tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar Jonggol juga pasti meningkat. Persoalannya kan, itu lagi-lagi terjadi di Jawa. Ini yang ketika itu saya tidak sepakat,” ujar Kikiek yang tahun 1988 terlibat aktif pada aksi-aksi penurunan Pak Harto.

Di era reformasi, sejumlah kota pun disebut-sebut sebagai calon ibukota negara pilihan. Hampir semua ibukota provinsi di Kalimantan termasuk yang disebut-sebut. Sedangkan di luar Pulau Kalimantan, ada yang mengusulkan Palembang, Lampung, dan Mamuju – Sulawesi Barat. Usulan terakhir datang dari Wapres Jusuf Kalla yang asal Watampone, Sulawesi Selatan.

Presiden Joko Widodo bersama dengan jajaran terkait kembali melakukan pembahasan mengenai rencana pemindahan ibu kota negara. Pembahasan hal tersebut dilakukan dalam rapat terbatas yang digelar di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/8). (foto: BPMI Setpres)

Akhirnya, melalui rapat terbatas pemerintah tanggal 29 April 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan memindahkan ibukota negara ke luar Pulau Jawa. Pemindahan ibukota ini pun lantas dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Finalnya, tanggal 26 Agustus 2019, presiden mengumumkan lokasi ibukota negara yang baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Itulah keseluruhan kisah yang melingkupi hal-ihwal pemindahan ibukota negara.

Harmoni Suku Dayak

Kesepakatan pandang, bahwa pemindahan ibukota negara dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan di Indonesia, serta bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat, tinjauan pun perlu dikembangkan ke aspek historis-sosiologis. Untuk itu, Jayakarta News mewawancarai Juni Thamrin, Ph.D, seorang ahli kebijakan publik dan tata kelola pembangunan.

“Aspek lain dari pemindahan ibukota negara adalah menyiapkan social-engineering agar keseluruhan prosesnya menjadi smooth,” ujar Thamrin yang seorang Master of Science di bidang Pembangunan Sosial (MSc. Soc.Dev) lulusan the Ateneo de Manila University, Filipina.

Hal menarik dari terpilihnya Kalimantan Timur menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia ke depan, adalah keberadaan suku Dayak. Di sini, Presiden Jokowi berkesempatan mengharmonisasikan suku-suku asli dan pendatang.

Juni Thamrin, Ph.D. (foto: ist)

Sejarah kelam konflik antarsuku (Dayak dan Madura) yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah awal tahun 1997 dan 1999, kata Thamrin, harus menjadi pelajaran penting. Juga peristiwa serupa di Sampit tahun 2001. “Dari data yang ada, konflik tahun 1999 menewaskan sedikitnya 114 orang, dan tahun 2001 merenggut nyawa hingga 4.000 orang. Kita tidak ingin konflik serupa terjadi,” imbuh peraih Ph.D dari Universiti Sains Malaysia (USM) Penang, itu.

Menurutnya, konflik yang terjadi, awalnya adalah antara orang-orang Melayu dan Madura. Akan tetapi, sebagian orang Melayu yang terlibat, menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi. Thamrin bahkan mengutip keterangan seorang Dayak dari Suku Bidayuh yang mengatakan, di sana hal-hal mistis masih terjadi. Contohnya, ramuan penciri orang Madura, mandau terbang, dan lain-lain.

Lebih jauh ke belakang, Juni Thamrin berbicara tentang sejarah tahun 1407, saat pertama kali orang-orang Melayu dari Kerajaan Sriwijaya memasuki Borneo. Sejak itu, etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas. Bisa dipahami, sebab pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu Kieng (Palembang) maupun ke Majapahit (Jawa Timur).

Akan tetapi, tambah Thamrin, sumber konflik ketika itu lebih pada sensitifitas warga asli yang menaruh curiga kepada pendatang. Ditambah, konflik keyakinan. Di tengah penyebaran agama Nasrani, mereka menengarai akan mengoyak kepercayaan leluhur yang disebut kaharingan. “Konflik selanjutnya bukan lagi atas dasar SARA, tetapi perang antarkerajaan,” ujar Juni Thamrin yang cukup lama menempati pos sebagai tenaga ahli kebijakan publik di Sekretariat Negara RI.

Satu hal yang pasti, tambahnya, ofensif dan agresif bukanlah watak asli suku Dayak. Sejatinya, mereka ramah bahkan memiliki tingkat solidaritas dan persaudaraan yang tinggi, tidak hanya kepada sesama anggota suku Dayak, tapi juga pendatang. “Bahkan dalam banyak hal, suku Dayak cenderung pasif dan mengalah. Mereka baru bereaksi ketika sudah tidak ada lagi area untuk mundur dan mengalah. Ketika batas-batasnya sebagai komunitas dan pribadi dilanggar,” terang Thamrin seraya menambahkan, “justru yang harus diwaspadai adalah sikap agresif pendatang.”

Suku Dayak. (foto: kaltimprov.go.id)

Dalam kaitan penyebaran suku Dayak dan karakteristiknya, Juni Thamrin bahkan memuji pilihan pemerintah menunjuk Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai dua kabupaten yang “adem”. Secara penyebaran, Dayak merata di seluruh pulau Kalimantan, dari pedalaman hingga pesisir. “Kebetulan, wilayah Kalimantan Timur, khususnya di daerah pesisir, mayoritas pendatang, sehingga potensi konflik terbilang paling minim,” ujar tenaga ahli yang pernah bekerja di JICA (Japan International Cooperation Agency).

Bersaman proses pembangunan ibukota negara yang baru, Juni merekomendasikan untuk terlebih dulu menyiapkan social-engineering. Hormatilah kearifan lokal, sama seperti masyarakat di Jawa atau di mana pun yang juga ingin agar adat-istiadatnya dihormati pendatang.

Diingatkan pula, bahwa selain suku Dayak, di Kaltim masih ada satu suku yang disebut suku Kutai. Suku ini merupakan suku asli Melayu Kalimantan Timur. Awalnya mereka mukim di pesisir Kalimantan Timur. Dulu ada dua kerajaan Kutai di sana, Kutai Martadipura dan Kutai Kartanegara. Pada satu waktu, Kutai Kartanegara menaklukkan Kutai Martadipura, lalu penyebutannya berubah menjadi kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Kerajaan ini menguasai wilayah yang luas di daerah Kalimantan Timur (bila ditinjau sekarang meliputi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kota Bontang, dan sebagian kecil Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara), dimana setiap raja dan juga keturunannya bergelar Aji, hingga sekarang.

Belakangan, suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar terdiri dari Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Munut, Klemantan, dan Punan. Rumpun Dayak Punan, merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan. Sementara rumpun Dayak yang lain, merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak Punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Kondisi sosiologis seperti itulah yang terbayang, ketika kita menyebut ibukota negara yang baru nanti.

Fenomena Dunia

Kembali ke topik pemindahan ibukota negara. Jayakarta News melakukan riset sederhana terkait benchmarking pemindahan ibukota di seluruh dunia. Beberapa sumber yang dirujuk antara lain dari kantor berita Amerika Serikat AP (Associated Press), Urban Gateway, dan Wikipedia.

Menurut catatan Urban Gateway, sekarang ada lebih dari 40 negara yang sedang dalam proses memindahkan ibukotanya. Tidak hanya negara-negara berkembang bahkan negara maju seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan pun sedang mewacanakan pemindahan ibukota.

Kota London yang disetting sebagai ibukota negara sejak zaman Romawi. (foto: ISOPP)

Fenomena pindah ibukota, tercatat, sudah terjadi sejak zaman Romawi Kuno. Seperti kota London yang dirancang oleh pemerintah Romawi sebagai ibukota provinsi yang baru, keluar dari kota Colchester. Salah satu tujuannya agar terhindar dari konflik politik antarsuku di Inggris, zaman itu.

Ada pula ibukota yang sejak semula dirancang sebagai ibukota. Misalnya; Konstantinopel yang oleh Kaisar Romawi dibangun sebagai ibukota baru menggantikan Roma. Kemudian Baghdad di Irak, Kyoto oleh Kaisar Jepang, Kairo di Mesir, Seoul di Korea Selatan (setelah Perang Korea) dan banyak ibukota lain, termasuk Washington DC di Amerika Serikat.

Pembelajaran penting dari riset Urban Gateway adalah lokasi sangatlah vital bagi kelestarian atau keberlangsungan sebuah negara. Ibukota yang letaknya berdasarkan kompromi tata ruang geografis lengkap dengan inklusifitas rakyat bangsa itu memberi kontribusi penting bagi kelestarian negara. Jika ibukota dibangun di kawasan yang kurang keberagamannya –terlalu terpusat pada suku tertentu atau agama tertentu– kurang berhasil jadi perekat bangsa dibandingkan tempat yang dipandang netral.

Akan halnya Jakarta. Sebagai ibukota, ia sudah terlalu ‘berat’ ke Jawa. Selain kurang merepresentasikan keberagaman Indonesia, posisinya pun terlalu ke sisi Barat.

Riset menemukan fakta, bahwa sejumlah negara memindahkan ibukota karena isu seperatisme, invasi negara asing, atau karena kebijakan penjajah. Namun saat ini terlihat lebih berat karena isu separatisme; misalnya, Nigeria karena gerakan di kawasan Biafra. Juga di Kazakhstan karena potensi separatisme masyakarat beretnis Rusia di bagaian utara negeri itu. Di Myanmar ada suku Karen, Shan, dan gerakan suku-suku di pegunungan. Pertanyaannya, apakah pemindahan Jakarta ke Kalimantan juga ada sisi untuk mengurangi isu separatisme?

Penyebab lain pemindahan ibukota adalah urbanisasi. Ibukota jadi magnet kuat bagi penduduk di sebuah negara untuk mengadu nasib, memperbaiki kesejahteraan keluarga. Satu contoh, Manila saat ini dihuni oleh 11,9 juta jiwa dan kepadatan serta kemacetan luar biasa jadi sebab munculnya isu pemindahan ibukota. Sekalipun, ada Makati yang sejak awal disetel sebagai pusat bisnis. Di Amerika Latin dan negara-negara Afrika sudah hampir 25% populasi kota berada di ibukota.

Faktor urbanisasi juga menjadi penyebab kepadatan penduduk di ibukota-ibukota negara. Akibat lain adalah kemacetan lalu-lintas. Pada era modern ini kedua alasan ini jadi pemicu utama upaya memidahkan ibukota atau pusat pemerintahan sebuah negara. Hal inilah yang harus dikaji untuk jangka panjang.

Era digital juga menjadi alasan tepat pemindahan ibukota negara, demi kecepatan pelayanan publik. Kecepatan bergerak —di antaranya industrialisasi digital 4.0– juga jadi dorongan agar birokrasi bergerak lebih cepat dan lincah serta adaptif terhadap perkembangan global.

Isu lain adalah kesenjagan ekonomi. Laporan Urban Gateway menyebutkan sebanyak 20% PDB (Produk Domestik Bruto) ada di ibukota. Jadi isu upaya pengurangan kesenjangan ekonomi penting untuk dikedepankan. Selain itu, ada argumentasi memangkas potensi kolusi antara penguasa dan pengusaha.

Khusus di Indonesia, isu bencana alam menjadi isu strategis untuk memperkuat kepindahan ibukota negara. Ibukota seperti Teheran, Kathmandu, Dhaka, Caracas, Lima Dushanbe, Accra, Nairobi, Managua, Welington, Manila, termasuk Jakarta adalah ibukota-ibukota negara yang rawan banjir. Semua negara itu sekarang sedang berupaya memindahkan ibukotanya.

Jakarta dilanda banjir. (foto: kumparan.com)

Di lingkungan ASEAN dan Asia, ada beberapa negara yang sudah memindahkan ibukotanya; Malaysia memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya tahun 1999. Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw pada pertengahan tahun 2000. Kota ini sangat luas sampai enam kali luas New York. Kota ini bahkan punya jalan utama sampai 20 jalur dan sangat dibanggakan karena memperlihatkan replika Pagoda Shwedagon.

Pakistan memindahkan pusat pemerintahannya dari Karachi ke Islamabad, yang memang dirancang sebagai ibukota, pada era 1960-an. Ibukota baru ini dirancang oleh arsitek Yunani dan dikenal sebagai kawasan hijau dengan penduduk kelas menengah atas.

Kazakhstan juga membangun ibukota baru, yang tadinya bernama Astana menjadi Nursultan (nama mantan presiden) sejak 1987. Ibukota pindah dari Almaty ke Nursultan (Astana). Kota dirancang oleh arsitek Jepang dan terkenal dengan gedung-gedung bergaya futuristik.

Sedangkan, saudara kita di selatan, Australia, sudah memindahkan ibukotanya ke Canberra, yang dirancang khusus sebagai pusat pemerintahan pada tahun 1920-an. Pemindahan ini menjadi kompromi atas persaingan Sydney dan Melbourne. Populasi ibukota ini juga relatif kecil hanya sekitar 400 ribuan.

Di Afrika, ada Nigeria yang memindahkan ibukota dari Lagos ke Abuja, yang dibangun tahun 1980-an. Brasil juga menindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasillia pada era 1960-an.

Tanpa mengurangi pentingnya aspek-aspek lain, seperti sistem pertahanan dan ekonomi makro, maka kepindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur adalah sebuah keputusan yang patut didukung segenap rakyat Indonesia. Keputusan yang akan menjadi peristiwa bersejarah bagi bangsa dan negara kita. Bung Karno yang menggagas, Joko Widodo yang bertugas. (roso daras)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *