Connect with us

Kolom

Berkah Tren Ngopi

Published

on

Joko Intarto

Oleh: Joko Intarto

Ngopi sudah menjadi gaya hidup baru kaum milenial. Di kota-kota besar, coffee shop alias warung kopi bukan lagiu tempat nongkrong. Warung kopi sudah menjadi tempat kerja. Untuk meeting dengan kolega bisnis.

Di seputar kampus, para mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah di warung kopi merupakan pemandangan biasa.

Saking ngetrennya, teman saya menyulap lobi kantornya menjadi warung kopi. Ada barustanya pula. Karyawan yang meeting bisnis boleh bayar pakai voucher. Non karyawan harus bayar tunai.

Tren gaya hidup ngopi memberi berkah buat petani kopi. Gara-gara tren ini, banyak orang muda yang baru tahu: Indonesia ternyata surganya kopi.

Jenis kopinya memang hanya dua: Arabica dan Robusta. Tapi beragam citarasanya. Bergantung tempat tumbuhnya. Maka dikenallah nama-nama baru untuk kopi lokal: Blue Lintong, Java Preanger, Java Raung, Blue Mountain Wamena dan masih banyak lagi.

Ada tren lain lagi dalam ngopi: proses penyeduhannya. Sepuluh tahun lalu, Starbuck memperkenalkan cara baru menyeduh kopi dengan mesin listrik. Mesin penyeduh kopi itu harganya puluhan hingga ratusan juta rupiah per unitnya.

Setahun terakhir, Starbuck mulai membuat layanan baru: menyeduh kopi secara manual. Tanpa mesin. Disebut manual brew.

Warung kopi berjaringan internasional itu sepertinya menyadari tren baru: semakin banyak konsumen yang menyukai manual brew.

Manual brew umumnya menggunakan kopi murni dari satu galur tanpa campuran atau single origin. Dengan cara inilah penggemar kopi tahu betapa banyaknya rasa kopi asli Nusantara. Bikin ketagihan. Seperti saya.

Alat penyeduh kopi manual brew cukup sederhana: kompor, panci, teko leher angsa, mokapot dan drip atau filter alias penyaring v60. Khusus untuk drip, ada yang berbahan metal. Ada yang berbahan kertas saring.

Nah kertas saring itu membutuhkan wadah. Namanya cone coffee drip. Umumnya terbuat dari plastik atau metal. Tapi akhir-akhir ini muncul cone jenis baru: terbuat dari bambu yang diangam dengan bentuk seperti kukusan. Alat masak tradisional untuk menanak nasi.

Munculnya cone yang terbuat dari anyaman bambu bisa menjadi peluang bisnis baru. Khususnya bagi masyarakat desa yang selama ini hidup dari usaha kerajinan berbahan bambu.

Jos Gandos, pengusaha warung kopi “Tukang Seduh” di Bekasi, punya cerita menarik tentang bamboo cone coffee drip itu. “Konsumen tidak hanya menyukai kopinya. Tapi juga membeli kukusannya,” cerita alumni ISI Jogja itu, saat berkunjung ke kantor saya, Sabtu lalu.

Apakah orang membeli kukusan itu karena unik saja? Belum tentu. “Bisa jadi, karena tahu rahasia ini: kukusan bambu mengandung senyawa silika yang bersifat antitoksin. Kopi yang diseduh menggunakan kukusan bambu menjadi lebih sehat untuk tubuh,” kata Anab Afifi, penulis buku, mengutip hasil penelitian Djumadiarto, peneliti dari Wonogiri.

Pendapat Anab Afifi mengingatkan pada sebuah desa di Kabupaten Bandung Barat. Desa ini dulu menjadi salah satu sentra kerajinan bambu. Penduduk desa menguasai teknik menganyam bambu secara turun-temurun.

Dulu, mereka memproduksi aneka peralatan masak dalam jumlah besar. Salah satunya: kukusan untuk menanak nasi.

Modernisasi membuat semua berubah. Peralatan masak berbahan bambu tergeser plastik. Perajin bambu di desa itu tak sanggup bertahan. Satu generasi kemudian, mereka menjadi kelompok warga sangat miskin.

Saya mengunjungi desa itu dua kali, atas permintaan Bank Indonesia, tahun 2017 lalu. Misinya: mencari peluang untuk meningkatkan pendapatan para perajin bambu. Terus terang, misi ini tidak mudah. Selekasnya saya akan ke Kabupaten Bandung Barat lagi: memberi pelatihan membuat kukusan mini khusus untuk ngopi. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *