Connect with us

Entrepreneur

Ali Masrum: Jadi Pebisnis Harus Kuat Mental

Published

on

Setiap orang bisa saja punya niat untuk terjun ke dunia bisnis. Tapi bagaimana dengan kesiapan mentalnya? Memiliki mental baja memang adalah syarat mutlak dan utama untuk bisa terjun ke dunia ini. Karena perjalanan bisnis tidak akan selalu mulus sesuai rencana. Karenanya mental kuat sangat dibutuhkan.

Ali Masrum, misalnya. Meski darah pedagang mengalir deras dalam tubuhnya, maklum bapak-ibunya adalah pebisnis, namun sejak usia dini ia telah melatih mentalnya. Maka tak heran ketika dia mendapat berbagai tantangan, jatuh-bangun bahkan sempat tertimpa ‘badai’,  ia masih bisa eksis.  Terus memperkuat sikap optimis dan pantang menyerah, itulah yang jadi prinsip Ali ketika menekuni bisnis.

“Menekuni bisnis pasti banyak tantangannya. Banyak hal bisa terjadi yang kadang tidak sesuai harapan, tapi tidak boleh menyerah. Saya telah menekuni/mencoba  banyak bisnis. Saya memulainya sejak  SMP dan tetap bertahan sampai sekarang. Alhamdulilah,” ungkap Ali Masrum yang telah puluhan tahun menekuni bisnis kerajinan kayu jati.

Namanya bisnis, lanjut ayah dua anak ini, ada naik-turunnya, macam-macam problemnya. Tapi kalau tetap tekun dan selalu optimis pasti bisa bertahan. “Seperti saya, wah kalau cerita, selama puluhan tahun selain kisah suka juga banyak kisah duka. Saya juga pernah mengalami ‘badai’ semua aset saya disita bank.”

“Tapi saya pantang menyerah. Saya tetap tidak takut berbisnis. Saya punya banyak minat, banyak yang sudah saya coba. Ibaratnya dari 100 bisnis yang saya coba, pasti ada beberapa atau salah satu yang pas,” tutur sarjana hukum yang memilih menekuni bisnis ketimbang menjadi praktisi hukum.

Ketika masih muda, kata Ali, minatnya pada bisnis sudah terlihat menonjol. Saat kelas 3 SMP misalnya, dia sudah berani berbisnis beras. “Dulu, ayah saya punya perusahaan penggilingan padi. Pada masa itu kan usaha pemotongan padi, khususnya di daerah saya, Blora Jawa Tengah,  masih langka. Nah saat saya SMP  sudah coba-coba ikutan bisnis dengan membeli padi dari petani kemudian digiling dan itu terus berlanjut sampai saya SMA,” ungkapnya.

Usaha tersebut terus berkembang, malah ketika  SMA dia sudah berani menyewa menyewa 20 hektar sawah untuk kemudian ditanami berbagai macam tanaman. “Saat kelas 1 SMA saya sudah pegang perusahaan padi. Saat itu saya sudah bisa memperkirakan dari sekian hektar lahan padi berapa banyak padi bisa saya beli. Jadi saya sudah berani. Ya memang dalam berbisnis tidak selalu jalan saya mulus, ada juga masalahnya bahkan merugi, dll. Tapi saya tetap saja. Jiwa saya sudah di sini,” ungkapnya.

Menyinggung tentang pendidikannya yang berlatar belakang sarjana hukum, Ali yang saat itu didampingi istrinya Sofi Rafi’ah menyebut, bukan hal yang istimewa. Keinginan kadang berubah-ubah, itu hal yang biasa.

“Saat saya belia, saya ingin jadi dokter. Kemudian ketika sedikit besar, ingin jadi tentara. Ketika lulus SMA, saya tertarik mempelajari bidang hukum, makanya saya kuliah di fakultas hukum. Kemudian saya tertarik masuk IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Namun pada akhirnya ketertarikan saya lebih kepada bisnis dimana akhirnya selulusnya dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saya pun terjun ke bisnis. Itu sekitar tahun 1990,” tuturnya.

Tahun 1994, lanjutnya, adalah pertamakali dia ‘bersentuhan’ dengan bisnis kerajinan kayu jati. Awalnya, kata Ali, dia ditawari temannya untuk membuka cabang  di Jakarta. Tawaran itu lantas diterimanya, apalagi sang teman membantu dengan men-support modal.

“Jadi awalnya produk-produk kerajinan kayu jati itu saya beli di sentra kerajinan di Blora, kemudian saya jual ke Jakarta. Sasaran saya adalah kalangan menengah-atas. Gerai pertama saya adalah di Pasar Raya, kemudian berkembang ke mal Sarinah Jl Thamrin,” katanya.

Ternyata respon masyarakat terhadap kerajinan kayu jati luar biasa. Khususnya, kalangan menengah-atas dan ekpatriat yang sangat suka sekali dengan kerajinan jati Indonesia. Jadilah usahanya berkembang pesat. Pada masa itu tahun 1994, modal Rp5 juta dengan cepat berkembang menjadi Rp16 juta.

“Bagi saya itu kemajuan signifikan. Saya pun lantas menambah gerai di sejumlah mall di Jakarta seperti Kelapa Gading, Pluit, Blok M, dll. Saya rajin pameran. Pelanggan dari ekpatriat adalah terbanyak, banyak hotel juga memesan produk dari saya,” katanya.***

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *