Connect with us

Kolom

Akal-Akalan dalam Kasus Meikarta Mulai Tersingkap

Published

on

Oleh Abdul Hakim

Di tengah desakan kencang di DPR untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK, masyarakat yang melek hukum kini sedang menguji apakah lembaga antirasuah ini serius dan berani menuntaskan kasus korupsi dalam proyek Meikarta yang dimiliki oleh konglomerat James Riady.

James Riady sendiri telah dimintai keterangannya oleh KPK, bahkan rumahnya di Karawaci telah diinvestigasi oleh penyidik KPK, namun dengan tegar ia isyaratkan bahwa dirinya tak mengetahui terjadinya praktik suap terhadap bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin yang kini mendekam dalam penjara.

Namun demikian, dari rekaman sadapan yang dilakukan oleh KPK, terbukti secara terang-benderang bahwa sejumlah petinggi Lippo memang mengetahui rencana pertemuan James dengan Neneng, bahkan merekalah yang terlibat secara aktif untuk mengaturnya.

Menurut jaksa KPK, Yadyn, ada pembicaraan antara Bartholomeus Toto (BT) dengan Edi Dwi Soesanto (EDS) tentang niat James Riady dan Billy Sindoro (BS) untuk bertemu dengan mantan bupati Bekasi itu. Pembicaraan selama 21 menit itu disadap pada 6 Januari 2018.

Isi rekaman sadapan sangat jelas menunjukkan bahwa baik BT, EDS, dan BS sama-sama mengetahui akan diadakannya pertemuan antara James Riady dan mantan bupati Bekasi tersebut.

Anehnya, yang terjadi sekarang adalah strategi akal-akalan dan tumbal-tumbalan. Setelah BS masuk penjara, para (mantan) petinggi Lippo Group lainnya kini mulai saling mengancam dan saling menjatuhkan. Apakah ini bagian dari strategi bumper yang bertujuan untuk menyelamatkan korporasi dan pimpinan tertingginya?

Tiba-tiba saja EDS yang tadinya pasif, mulai menuduh BT sebagai pihak yang terlibat dalam penyerahan uang suap Rp10,5 miliar kepada mantan bupati Bekasi itu. Anehnya, dari semua terdakwa yang terlibat, hanya EDS-lah yang menyeret nama BT dalam dugaan suap tersebut. Kenapa hal ini tidak digali oleh KPK untuk mengetahui siapa sutradara di balik senetron bisnis ini?

Lebih aneh lagi, menurut kuasa hukum BT, Supriyadi, sesuai Berita Acara Pemeriksaan dan fakta-fakta pesidangan, diketahui bahwa KPK menjadikan BT sebagai tersangka hanya berdasarkan pernyataan memojokkan yang dikemukakan oleh EDS selaku Land Permit & Permit Divison Head di PT. Lippo Cikarang. Kenapa pernyataan ini tidak dikonfrontir langsung dengan pihak yang dituduh?

Itulah sebabnya maka pada hari Selasa (10/09/2019), melalui kuasa hukumnya, Supriyadi, BT akan melaporkan EDS ke Polda Jawa Barat atas  “keterangan palsu” bahkan ‘fitnah’ yang telah disampaikan EDS terhadap dirinya dalam sidang pengadilan kasus Meikarta ini. Sampai di sini tampak jelas bahwa BT yakin dengan posisi hukumnya dalam kasus ini.

“Sesungguhnya, pengakuan EDS tentang BT tersebut adalah fitnah belaka dan tidak ada dasar sama sekali. Tidak diketahui apa sesungguhnya motif EDS membuat pernyataan tertulis bahwa BT terlibat. Sehingga BT ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus gratifikasi Meikarta,” ungkap Supriyadi.

Yang mencurigakan dalam akal-akalan ini adalah adanya pengakuan dari EDS bahwa ia terpaksa harus menyeret nama BT sebagai pemberi uang suap itu karena, “kalau saya tidak melibatkan BT maka  rumah saya mau disita,” kata Supriyadi menirukan ucapan EDS.

Sampai di situ KPK tutup mulut lagi. Padahal semestinya dicaritahu, siapa gerangan yang mengancam akan menyita rumah EDS apabila ia tidak menyeret nama BT ke dalam dugaan suap itu agar dapat menjadikan BT sebagai tumbal. Pastilah bukan orang sembarangan yang mengeluarkan ultimatum  itu.

Orang awam pun dapat menyimpulkan bahwa tentulah pemberi ultimatum itu adalah seorang yang posisinya jauh di atas posisi presiden direktur yang pernah diduduki oleh BT di PT. Lippo Cikarang, sehingga ia berkuasa mengancam akan menyita  rumah seorang kepala divisi dalam Lippo Group.

Aneh bin ajaib, kenapa KPK terdiam sampai di sini, padahal tali-temali kasus ini sudah terang benderang berdasarkan hasil sadapan itu. Biasanya KPK sangat gencar mencecar para terduga dan tersangka korupsi ketika sudah ada rekaman sadapan, sebab sadapan itu tak bisa dibantah kebenarannya.  Ada apa dengan KPK kali ini? Sudah patahkah taringnya KPK yang selama ini dikenal tajam dan tak kenal kompromi dalam pemberantasan korupsi itu?

Penjelasan jaksa KPK sudah sangat jelas bahwa pertemuan James Riady dengan Neneng Hassanah Yasin bukan suatu kebetulan. Ia katakan, “di sana ada proses di mana mereka memperlihatkan gambar-gambar terkait proyek Meikarta.”

Ia juga mengatakan bahwa pertemuan ini “sudah direncanakan,” karena “Toto menghubungi Edi Soes. Edi Soes menghubungi EY Taupik, EY Taupik menghubungi Marpuah, Marpuah menghubungi ajudan, ajudan menghubungi Neneng Hassanah Yasin, itu alurnya.”

Kalau benar demikian alur ceritanya, maka mestinya KPK mencaritahu, titik awal permintaan untuk bertemu dengan mantan bupati Bekasi itu dari mana? Sebab jika rekaman sadapan itu asli, maka tidak mungkin BT mau menelepon EDS tentang rencana pertemuan James  Riady dengan mantan bupati Bekasi itu, apabila ia tidak mendapat perintah langsung dari atasannya. Siapakah atasan dari seorang presiden direktur dalam Lippo Group?

Tak mungkin pula seorang presiden direktur, di perusahaan manapun, berani mengeluarkan uang siluman yang off-balance sheet sebanyak Rp10,5 miliar tanpa memberitahukannya kepada pemilik perusahaan. Jadi, kenapa sekarang BT terkesan sedang direkayasa untuk dijadikan tumbal agar dapat menyelamatkan yang lain? 

Pembaca yang secara teliti mengikuti kasus ini akan bertanya apakah James Riady telah memberikan keterangan yang benar dalam persidangan pada 6 Februari silam. Karena di situ ia membantah telah mengadakan pembahasan mengenai proyek Meikarta dengan mantan bupati tersebut.

Akan tetapi jaksa KPK menegaskan bahwa keterangan James itu bisa dipatahkan karena “Neneng Hassanah dalam persidangan sebelumnya menjelaskan bahwa di sana ada proses di mana mereka memperlihatkan gambar-gambar terkait proyek Meikarta.”

Karena adanya perberdaan antara penjelasan James Riady dan penjelasan dari jaksa KPK, maka hakim perlu mengkonfrontir kedua belah pihak agar jelas siapa yang berdusta. Sebab memberikan kesaksian palsu di persidangan diancam dengan hukuman penjara selama 7 tahun sesuai ketentuan pasal 242 KUHP.  [*]

Abdul Hakim, SH, MH, pemerhati penegakan hukum dan HAM yang bermukim di Bandung, dapat dihubungi via email di alamat: adulhakim696@gmail.com

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *