Connect with us

Kabar

Adjib Hamzah dalam Kenangan

Published

on

Jayakarta News – Tanggal 28 Juli 2019, bertempat di ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, Studio Pertunjukan Sastra (SPS) kembali menggelar acara “Bincang-Bincang Sastra”.  Acara yang rutin digelar setiap sebulan sekali, sudah memasuki edisi 166. Tentu ini merupakan kegiatan yang patut diapresiasi dan diberi penghormatan.

Pada beberapa edisi, SPS pernah mengangkat tokoh-tokoh sastra Yogyakarta dan karya-karyanya sebagai tema. Nama, yang barangkali tidak banyak dikenal oleh generasi milenial saat ini. Tentu, mengangkat tokoh lama bukan berarti mau “sok romantis’, tetapi sebagai bentuk penghargaan dan juga belajar dari proses dan karya para seniman masa lalu yang pernah menorehkan karya dan pengabdiannya terutama di wilayah Yogyakarta.

“Ziarah A. Adjib Hamzah: Sosok dan Karya” demikian tema yang diangkat kali ini. Menghadirkan AS Adham (putra Adjib Hamzah) dan Briman HS (Teater Ramadha). Sukandar (SPS), berperan sebagai moderator. Sebelum dialog, dramatic reading atas salah satu karya Adjib Hamzah  digelar oleh Dewan Teater Yogyakarta (DTY).

Para pembicara “Ziarah A. Adjib Hamzah: Sosok dan Karya” (foto” odi shalahuddin)

AS Adham, ketika hendak berbicara, terlihat matanya berkaca-kaca. Ia memerlukan waktu beberapa saat untuk dapat memulai pembicaraan. Kisah masa lalunya saat bersama sang Bapak kemudian mengalir.

Komitmen dan disiplin, merupakan ajaran yang senantiasa diberikan. Tidak hanya sekedar kata-kata tapi dipraktekkan. “Bapak tidak pernah puas dan bisa marah karena pekerjaan yang dipercayakan kepada kami tak kunjung kelar. Bukan tanpa sebab mengapa pekerjaan terbengkelai. Waktu itu, kami punya kebiasaan buruk menunda-nunda pekerjaan,” ujar AS Adham. Saat itu, ia diserahi tugas membuat kaligrafi untuk Majalah “Suara Aisyiah”, dan saudaranya yang lain ada yang ditugaskan untuk membuat ilustrasi cerpen, TTS dan tulisan lain.

“Saya dulu berjanji tidak mau jadi penulis. Ini karena setiap hari merasa dibisingkan oleh suara mesin ketik Bapak yang sepertinya tidak pernah berhenti,” tutur Adham, “tapi sekarang malah jadi penulis. Walau bukan sastra, tapi menulis di media sebagai jurnalis.”

Brisman HS. (foto: odi s)

Brisman HS, yang merasa belajar banyak dengan Adjib Hamzah dan ditugaskan untuk mengelola Teater Ramadha, memandang bahwa beliau adalah sosok guru yang mampu berbicara dengan banyak kalangan. Walaupun tema-nya sama, tapi saat berbicara dengan orang yang lebih muda, teman sebaya atau orang lain, cara berbicaranya berbeda. Ia bicara menyesuaikan dengan lawan bicaranya.

Adjib Hamzah , sangat produktif menulis. “Kita ngobrol-ngobrol tentang sesuatu, esoknya bisa jadi cerpen atau tulisan jenis lain,” cerita Brisman HS

Adjib Hamzah, kelahiran 4 Juni 1938, karya-karyanya bertebaran di berbagai media lokal dan nasional. Pada tahun 1950-1960-an, cerpen-cerpennya banyak termuat di Majalah Mimbar Indonesia dan Majalah Minggu Pagi. Selain cerita pendek, ia juga menulis novel, naskah drama panggung dan naskah TV dan naskah sandiwara radio.

Beberapa karyanya juga mendapatkan sejumlah penghargaan, seperti “Pembela Keadilan” menjadi pemenang pertama dalam Sayembara Besar Mengarang PN Balai Pustaka, dan diterbitkan tahun 1968. “Tabah si Anak Laut” menjadi pemenang pertama sayembara yang diselenggarakan oleh Harian Kedaulatan Rakyat, dan kemudian diterbitkan tahun 1971.

Pada acara ini, tampak hadir para seniman Yogya yang pernah mengenal, berinteraksi dan berproses bersama seperti Liek Suyanto,  Mustofa W Hayim, Edo Nurcahyo, Daning, Iman Budhi santoso, Wahyana Giri, dan para anggota SPS. (odi shalahuddin)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *